LOGINSenja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.
Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya. Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?” “Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.” Kael menggerutu, menggenggam kantung racun di pinggangnya. “Pemangsa Jiwa,” katanya, lidahnya mengecap udara. “Burung iblis yang disegel di surga ke-7. Mereka melepaskannya.” Granny Mei menatap Long Yichen. Bayi itu—walaupun baru berusia empat hari—menatap kembali, mata merah delima menunjukkan kilas balik yang tidak dimilikinya. Di telapak tangan kanannya, rune pedang berdenyut pelan, seolah mengingatkan: “Pedangku belum selesai.” Granny Mei menekan telunjuknya ke dahi bayi. “Dengar, Yichen. Malam ini kau akan merasakan kutukan kedua. Tapi kau tidak sendiri.” Di luar gua, senja akhirnya tenggelam. Langit gelap. Lima kristal hitam di tangan Fang Yu bersinar terang, membentuk pilar cahaya ungu yang menembus tanah. Pilar itu membelah batu, menarik sesuatu dari dalam perut bumi: sosok besar berlapis sayap batu, berkepala burung elang, bertaring naga—Pemangsa Jiwa. Makhluk itu membuka mata merah menyala, mengeluarkan raungan yang memecahkan kristal stalaktit di gua tiga kilometer jauhnya. Fang Yu mengangkat tongkat rune, menunjuk ke arah Gua Rune Tua. “Pergi. Hancurkan bayi itu. Ambil fragmen jiwa. Kembalikan kepada kami.” Pemangsa Jiwa mengepakkan sayap batu—setiap kepakan menimbulkan angin topan. Ia meluncur ke udara, meninggalkan jejak api ungu di mana-mana. Di belakangnya, lima penyerbu berseragam emas menyusul, berlari di udara seolah jalan surgawi terbentang di bawah kaki mereka. Di dalam gua, Granny Mei berdiri di tengah kolam darah kristal. Ia menempatkan Long Yichen di atas batu rune, lalu memotong telapak tangannya sendiri—darahnya mengalir ke kolam, membuat darah kristal mendidih lebih cepat. “Ritual pembela,” katanya, suaranya tegas. “Kita buat perisai tiga lapis. Lapisan pertama: darah Granny. Lapisan kedua: darah naga tua. Lapisan ketiga: harapan yang tidak pernah padam.” Lin Hu meletakkan tangan di atas bahu Granny Mei. “Aku akan menjadi dinding pertama.” Mei Xue menempatkan batu rune di sekeliling kolam. “Aku akan menjadi jaring kedua.” Kael meneteskan racun hijau ke tanah. “Aku akan menjadi racun ketiga—untuk memperlambat mereka.” Granny Mei menatap Long Yichen. “Kau akan menjadi pusatnya. Ingat, Yichen. Ketika mereka datang, kau tidak menangis. Kau menatap. Dan kau ingat bagaimana cara berdiri.” Pemangsa Jiwa tiba di depan gua. Satu kepakan sayap batu, batu rune luar gua hancur. Dua kepakan, tanah retak membentuk jurang. Tiga kepakan, asap hitam di langit berputar menjadi pusaran topan. Pemangsa Jiwa menatap ke dalam gua, mata merah menyala—seolah melihat langsung ke dalam jiwa bayi. Di dalam gua, Granny Mei mengangkat tangan. Darahnya mengalir ke tanah, membentuk dinding darah transparan setinggi tiga meter. Dinding itu berdenyut seperti jantung. Pemangsa Jiwa menggeram, menyerang dinding dengan cakar batu. Dinding bergetar, tapi tidak pecah. Dari belakang, lima penyerbu berseragam emas muncul, mengangkat pedang energi. Mereka menyerang bersamaan—cahaya ungu menyatu menjadi pilar yang menembus dinding. Dinding bergetar lebih keras. Retakan kecil mulai terbentuk. Lin Hu melompat keluar, berubah menjadi serigala hitam besar—setinggi tiga meter. Ia menggeram, menyerang Pemangsa Jiwa dengan cakar tajam. Pemangsa Jiwa menangkis dengan sayap batu, mengeluarkan percikan api ungu. Lin Hu terguling mundur, tapi segera bangkit lagi—bekas luka di dada berdenyut hijau, racun Kael mulai bekerja. Mei Xue menari di belakang Lin Hu, melemparkan batu rune ke udara. Batu-batu itu meledak menjadi jaring kristal, menjerat kaki Pemangsa Jiwa. Namun makhluk itu terlalu kuat—ia menarik jaring, membuat Mei Xue terhuyung mundur. Kael melemparkan kantung racun—racun hijau melesat, mengenai mata Pemangsa Jiwa. Makhluk itu menggeram keras, menutup mata sejenak. Namun racun hanya bertahan tiga detik—Pemangsa Jiwa membuka mata lagi, kini lebih merah. Di dalam kolam darah kristal, Long Yichen menatap semua ini—mata merah delima menunjukkan kilas balik yang semakin jelas: pedang yang menembus dadanya, formasi Segi Tujuh yang menghancurkannya, dan… sebuah janji. Janji yang tidak terucapkan. Bayi itu mengepalkan tangan kecilnya. Rune pedang di telapak tangan kanannya mulai berdenyut lebih cepat. Fang Yu—pemimpin lima penyerbu—menatap ke dalam kolam darah kristal. Ia melihat bayi itu mengepalkan tangan kecilnya. Ia tahu bahwa fragmen kedua mulai bangkit. Ia tahu bahwa jika mereka gagal malam ini, seluruh rencana mereka akan runtuh. Fang Yu mengangkat tongkat rune, menunjuk ke arah kolam. “Serang pusatnya!” Pemangsa Jiwa mengepakkan sayap batu lebih keras—angin topan melesat, memecahkan dinding darah Granny Mei. Dinding itu runtuh, darah kristal menyembur ke udara, membentuk hujan merah. Granny Mei terhuyung mundur—darah mengalir dari mulutnya. Namun ia tetap berdiri, menatap bayi. “Yichen, sekarang.” Bayi itu menatap Fang Yu—mata merah delima menunjukkan kilas balik terakhir: wajah Fang Yu sendiri, berdiri di atas pilar cahaya, menatapnya dengan tatapan kosong. Bayi itu mengepalkan tangan kecilnya lebih keras. Rune pedang di telapak tangan kanannya melesat keluar—berubah menjadi pedang energi kecil berwarna emas, seukuran lengan bayi. Pedang itu berdenyut, menunjukkan getaran yang membuat seluruh gua bergetar. Fang Yu mengangkat alis. “Pedang? Seukuran itu?” Namun sebelum ia bisa menertawakan, pedang emas kecil itu melesat—mengarah langsung ke dada Fang Yu. Fang Yu menangkis dengan tongkat rune—pedang kecil itu memantul, namun meninggalkan retakan kecil di tongkat. Retakan itu menyebar seperti jaring laba-laba. Fang Yu menatap retakan itu—mata lebar. “Ini… adalah pedang Kaisar yang Terbuang.” Di dalam kolam darah kristal, bayi itu menatap Fang Yu—dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyuman bayi yang tidak tahu apa-apa, namun sekaligus senyuman Kaisar yang baru saja mengingat bagaimana cara menikam. Di langit lembah, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen kedua baru saja bangkit, dan kali ini tidak akan ada ampun.Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da
Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak
Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu
Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan
Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom
Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m







