Share

Pemangsa Jiwa datang dengan Senja

Author: OhmyTwizz
last update Last Updated: 2025-08-18 05:15:55

Senja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.

Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya.

Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?”

“Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.”

Kael menggerutu, menggenggam kantung racun di pinggangnya. “Pemangsa Jiwa,” katanya, lidahnya mengecap udara. “Burung iblis yang disegel di surga ke-7. Mereka melepaskannya.”

Granny Mei menatap Long Yichen. Bayi itu—walaupun baru berusia empat hari—menatap kembali, mata merah delima menunjukkan kilas balik yang tidak dimilikinya. Di telapak tangan kanannya, rune pedang berdenyut pelan, seolah mengingatkan: “Pedangku belum selesai.”

Granny Mei menekan telunjuknya ke dahi bayi. “Dengar, Yichen. Malam ini kau akan merasakan kutukan kedua. Tapi kau tidak sendiri.”

Di luar gua, senja akhirnya tenggelam. Langit gelap. Lima kristal hitam di tangan Fang Yu bersinar terang, membentuk pilar cahaya ungu yang menembus tanah. Pilar itu membelah batu, menarik sesuatu dari dalam perut bumi: sosok besar berlapis sayap batu, berkepala burung elang, bertaring naga—Pemangsa Jiwa. Makhluk itu membuka mata merah menyala, mengeluarkan raungan yang memecahkan kristal stalaktit di gua tiga kilometer jauhnya.

Fang Yu mengangkat tongkat rune, menunjuk ke arah Gua Rune Tua. “Pergi. Hancurkan bayi itu. Ambil fragmen jiwa. Kembalikan kepada kami.”

Pemangsa Jiwa mengepakkan sayap batu—setiap kepakan menimbulkan angin topan. Ia meluncur ke udara, meninggalkan jejak api ungu di mana-mana. Di belakangnya, lima penyerbu berseragam emas menyusul, berlari di udara seolah jalan surgawi terbentang di bawah kaki mereka.

Di dalam gua, Granny Mei berdiri di tengah kolam darah kristal. Ia menempatkan Long Yichen di atas batu rune, lalu memotong telapak tangannya sendiri—darahnya mengalir ke kolam, membuat darah kristal mendidih lebih cepat.

“Ritual pembela,” katanya, suaranya tegas. “Kita buat perisai tiga lapis. Lapisan pertama: darah Granny. Lapisan kedua: darah naga tua. Lapisan ketiga: harapan yang tidak pernah padam.”

Lin Hu meletakkan tangan di atas bahu Granny Mei. “Aku akan menjadi dinding pertama.”

Mei Xue menempatkan batu rune di sekeliling kolam. “Aku akan menjadi jaring kedua.”

Kael meneteskan racun hijau ke tanah. “Aku akan menjadi racun ketiga—untuk memperlambat mereka.”

Granny Mei menatap Long Yichen. “Kau akan menjadi pusatnya. Ingat, Yichen. Ketika mereka datang, kau tidak menangis. Kau menatap. Dan kau ingat bagaimana cara berdiri.”

Pemangsa Jiwa tiba di depan gua.

Satu kepakan sayap batu, batu rune luar gua hancur. Dua kepakan, tanah retak membentuk jurang. Tiga kepakan, asap hitam di langit berputar menjadi pusaran topan. Pemangsa Jiwa menatap ke dalam gua, mata merah menyala—seolah melihat langsung ke dalam jiwa bayi.

Di dalam gua, Granny Mei mengangkat tangan. Darahnya mengalir ke tanah, membentuk dinding darah transparan setinggi tiga meter. Dinding itu berdenyut seperti jantung.

Pemangsa Jiwa menggeram, menyerang dinding dengan cakar batu. Dinding bergetar, tapi tidak pecah. Dari belakang, lima penyerbu berseragam emas muncul, mengangkat pedang energi. Mereka menyerang bersamaan—cahaya ungu menyatu menjadi pilar yang menembus dinding.

Dinding bergetar lebih keras. Retakan kecil mulai terbentuk.

Lin Hu melompat keluar, berubah menjadi serigala hitam besar—setinggi tiga meter. Ia menggeram, menyerang Pemangsa Jiwa dengan cakar tajam. Pemangsa Jiwa menangkis dengan sayap batu, mengeluarkan percikan api ungu. Lin Hu terguling mundur, tapi segera bangkit lagi—bekas luka di dada berdenyut hijau, racun Kael mulai bekerja.

Mei Xue menari di belakang Lin Hu, melemparkan batu rune ke udara. Batu-batu itu meledak menjadi jaring kristal, menjerat kaki Pemangsa Jiwa. Namun makhluk itu terlalu kuat—ia menarik jaring, membuat Mei Xue terhuyung mundur.

Kael melemparkan kantung racun—racun hijau melesat, mengenai mata Pemangsa Jiwa. Makhluk itu menggeram keras, menutup mata sejenak. Namun racun hanya bertahan tiga detik—Pemangsa Jiwa membuka mata lagi, kini lebih merah.

Di dalam kolam darah kristal, Long Yichen menatap semua ini—mata merah delima menunjukkan kilas balik yang semakin jelas: pedang yang menembus dadanya, formasi Segi Tujuh yang menghancurkannya, dan… sebuah janji. Janji yang tidak terucapkan.

Bayi itu mengepalkan tangan kecilnya.

Rune pedang di telapak tangan kanannya mulai berdenyut lebih cepat.

Fang Yu—pemimpin lima penyerbu—menatap ke dalam kolam darah kristal. Ia melihat bayi itu mengepalkan tangan kecilnya. Ia tahu bahwa fragmen kedua mulai bangkit. Ia tahu bahwa jika mereka gagal malam ini, seluruh rencana mereka akan runtuh.

Fang Yu mengangkat tongkat rune, menunjuk ke arah kolam. “Serang pusatnya!”

Pemangsa Jiwa mengepakkan sayap batu lebih keras—angin topan melesat, memecahkan dinding darah Granny Mei. Dinding itu runtuh, darah kristal menyembur ke udara, membentuk hujan merah.

Granny Mei terhuyung mundur—darah mengalir dari mulutnya. Namun ia tetap berdiri, menatap bayi. “Yichen, sekarang.”

Bayi itu menatap Fang Yu—mata merah delima menunjukkan kilas balik terakhir: wajah Fang Yu sendiri, berdiri di atas pilar cahaya, menatapnya dengan tatapan kosong.

Bayi itu mengepalkan tangan kecilnya lebih keras.

Rune pedang di telapak tangan kanannya melesat keluar—berubah menjadi pedang energi kecil berwarna emas, seukuran lengan bayi. Pedang itu berdenyut, menunjukkan getaran yang membuat seluruh gua bergetar.

Fang Yu mengangkat alis. “Pedang? Seukuran itu?”

Namun sebelum ia bisa menertawakan, pedang emas kecil itu melesat—mengarah langsung ke dada Fang Yu.

Fang Yu menangkis dengan tongkat rune—pedang kecil itu memantul, namun meninggalkan retakan kecil di tongkat. Retakan itu menyebar seperti jaring laba-laba.

Fang Yu menatap retakan itu—mata lebar. “Ini… adalah pedang Kaisar yang Terbuang.”

Di dalam kolam darah kristal, bayi itu menatap Fang Yu—dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyuman bayi yang tidak tahu apa-apa, namun sekaligus senyuman Kaisar yang baru saja mengingat bagaimana cara menikam.

Di langit lembah, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen kedua baru saja bangkit, dan kali ini tidak akan ada ampun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Nama yang Terucap, Bayang yang Datang

    Fajar di Hutan Bambu Qi Xian terasa dingin seperti air es yang menetes dari urun daun. Kabut putih naik perlahan, membawa bau tanah basah dan asap unggun tipis. Di gubuk kayu tua, Long Yichen duduk di atas tikar anyaman, matanya merah delima menatap api kecil yang berkobar. Di dalam api, bayangan pedang berkelok-kelok, seolah menari mengikuti irama detak jantungnya yang baru saja berkata: “Feng…”Granny Mei berlutut di sampingnya, menekan telunjuk ke dahi bayi. “Namamu adalah Xue Feng. Tapi kau Long Yichen sekarang. Ingat dua nama—karena dua dunia menuntutmu.”Bayi itu mengejutkan: ia mengangguk. Perlahan, tapi pasti.Di luar gubuk, Lin Hu mengawasi langit. Telinganya bergerak-gerak, menangkap desing angin yang membawa aroma api ungu. “Burung api pengintai,” desisnya. “Tiga ekor. Jarak lima kilometer, kecepatan tinggi.”Mei Xue muncul dari balik pohon bambu, membawa selembar kristal tipis. “Sinyal resonansi pecahan inti—kuat. Mereka mengunci posisi kita.”Kael melempar kantung racun k

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Portal Darah dan Nama yang Terlupakan

    Lorong dalam Gua Rune Tua bergetar seperti tali layang yang ditarik badai. Batu rune di dinding retak satu per satu, melepaskan serpihan kristal yang melayang seperti kupu-kupu berdarah. Portal darah berdiameter tiga meter berdenyut di ujung lorong—permukaannya seperti kaca cair yang dipanaskan dari dalam, kadang memunculkan wajah bayi yang menangis, kadang wajah naga yang menyeram.Granny Mei berlari terhuyung-huyung, Long Yichen di gendongan kain yang diikat di dadanya. Darah dari luka di lengan bawahnya menetes ke tanah, membentuk jejak cahaya merah yang langsung diserap batu—seolah gua sendiri menuntun mereka menuju portal.“Tiga detik lagi!” teriak Mei Xue dari belakang. Ia melempar rune penghalang terakhir—batu rune melebur menjadi dinding kristal setebal satu meter, menutup lorong. Sekejap kemudian, suara dentuman keras bergema: Lei Zhen versi mini Pemangsa Jiwa menabrak dinding, cakar batunya menyisir permukaan hingga terkelupas serpihan kristal seperti kuku kucing.Lin Hu ber

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Jegetan Bayi di Tengah Badai

    Gua Rune Tua, tengah malam kedua.Angin topan dari sayap Pemangsa Jiwa menerobos lorong batu, menyeret abu kristal hingga berkilauan seperti hujan emas. Di depan kolam darah kristal, Long Yichen—bayi berusia empat hari—duduk tegak di pangkuan Granny Mei. Matanya merah delima menatap ke luar: lima siluet berseragam emas melangkah perlahan, di belakangnya bayang-bayang burung batu sebesar rumah.Fang Yu berdiri paling depan, tongkat rune retak di tangan kirinya. “Keluar,” katanya datar. “Aku tahu kau punya pecahan inti. Kami akan mengambilnya—bersama bayi itu.”Granny Mei mengangkat punggungnya. Darah segar mengalir dari luka di telapak tangan—ia meneteskannya ke kolam. Darah kristal mendidih kembali, membentuk lapisan tembus pandang berwarna merah delima di depan mereka.Mei Xue berkata pelan, “Kita punya satu menit sebelum lapisan pecah.”Lin Hu menggeram, taring serigala terlihat. “Satu menit cukup.”Langkah 1 – Bayi menari.Granny Mei meletakkan Long Yichen di atas batu rune datar.

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pecahan Inti Meteor

    Gua Rune Tua, tengah malam.Suara batu yang retak masih bergema di lorong-lorong sempit. Fang Yu menatap retakan halus pada tongkat rune-nya—seperti jaring laba-laba emas yang menyebar dari titik tumbukan pedang bayi tadi. Ia menekan ujung jari pada retakan; aura hangat menusuk kulit, membawa kilas kenangan tujuh abad silam.Kilas itu datang kilat: api ungu yang menjilat langit ke-9, Xue Feng berdiri di puncak awan, pedang putih panjang terhunus di tangan kanan. Di hulu pedang, rune Tian Qiong bersinar terang—rune yang ditulis oleh tangan Fang Yu sendiri, dulu, ketika ia masih berlutut di hadapan Kaisar sebagai “Prajurit Bayangan”.Fang Yu menutup mata, menahan getaran yang menggetarkan tulangnya. Ia tahu persis: pedang bayi itu bukan tiruan. Itulah inti meteor yang seharusnya telah ia hancurkan bersama tubuh Xue Feng.Lima tahun lalu – Istana Tian Qiong, malam pengkhianatan.Fang Yu mengangkat cawan lava surgawi. Di dalamnya, inti meteor berbentuk telur sebesar kepalan tangan berdeny

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pemangsa Jiwa datang dengan Senja

    Senja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya.Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?”“Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.”Kael menggerutu, m

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Hari Pertama Latihan

    Di lembah Artha, fajar tidak pernah benar-benar datang—hanya kabut abu-abu yang menebal, lalu meredup lagi. Namun di dalam kubah tanah liat, cahaya emas di dada Long Yichen tetap berdenyut, menandakan fragmen pertama telah aktif. Bayi itu kini mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan kekuatan yang tidak lazim: ketika ia menendang udara, hembusan angin keluar dari telapak kakinya, menumbangkan botol kosong di sudut ruangan.Granny Mei melihat ke arah Lin Hu, Mei Xue, dan Kael. “Tiga hari. Hari pertama: stabilitas. Hari kedua: mobilitas. Hari ketiga: resonansi fragmen. Kita mulai.”Hari pertama: stabilitas.Latihan stabilisasi inti jiwa dilakukan di tepi jurang batu tajam. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune datar sebesar piring. Jika bayi itu menangis, rune akan menyerap getaran dan menjatuhkannya ke jurang—hanya beberapa meter, cukup untuk membangunkan naluri terbang naga. Jika ia tenang, rune akan menebalkan, memperkuat fragmen.Pertama, bayi itu menangis. Jurang be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status