Mag-log inSurga yang Berdarah: Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang Di puncak Alam Sembilan Surga, Kaisar Langit Xue Feng pernah menjadi lambang keadilan—hingga pedang saudara-saudaranya sendiri menikam punggungnya. Dalam satu malam penuh darah dan api, surga yang harusnya suci runtuh; kepercayaan, persaudaraan, bahkan namanya sendiri dihapus dari sejarah. Sebelum napas terakhirnya padam, ia bersumpah: “Surga yang meneteskan darahku akan kembali menjerit dalam api dendam.” Namun kematian hanyalah gerbang baru. Arwah Xue Feng terperangkap di Alam Tiga Sunyi—dimensi terlarang tempat jiwa-jiwa pemberontak dibekukan selamanya—hingga kepingan Inti Jiwa yang tersebar memberinya kesempatan kedua. Ia bereinkarnasi sebagai Long Yichen, siluman naga hitam terbuang di dunia paling rendah, tanpa ingatan, tanpa kekuatan, hanya membawa luka emosional yang tak bisa dipadamkan. Dengan setiap fragmen Inti Jiwa yang ia kumpulkan kembali, Long Yichen mengingat pengkhianatan yang lebih keji: tujuh saudara kandungnya kini memegang tahta tujuh surga, sedangkan ibu kandungnya—yang tak pernah ia kenal—menjadi otak di balik rencana pemusnahannya. Menyelinap dari surga ke surga, ia harus memilih: apakah dia akan membalaskan dendam seribu kali lipat, ataukah menembus rahasia keberadaannya sendiri dan menyelamatkan surga yang kini dipenuhi darah? Perjalanan balas dendam ini bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan tentang siapa yang berhak menentukan takdir langit. Karena mati adalah anugerah, tetapi tetap hidup dalam kenangan kebencian adalah kutuk yang harus dipecahkan… sebelum seluruh Alam Sembilan Surga benar-benar tenggelam dalam surga yang berdarah.
view moreDarah tidak pernah seharusnya menetes dari langit ke-9.
Namun malam itu, awan putih yang biasanya berkilau bagai mutiara tiba-tiba memerah—seperti gumpalan daging segar yang dipotong di atas piring marmer surgawi. Tetesan merah—bukan merah biasa, melainkan cairan emas bercampur merah delima—jatuh satu per satu, membasahi lantai Istana Tian Qiong yang sejak dulu dijaga oleh seribu patung iblis giok. Di bawah kaki para dewa, marmer putih mulai menyerap warna darah, sehingga bebatuan itu menyerupai jantung yang baru saja dicabut dari dada makhluk raksasa. Xue Feng berdiri di puncak tangga seribu anak tangga. Di depannya, sungai cahaya biasanya mengalir tenang, menandakan kedamaian Sembilan Surga. Kini sungai itu mendidih, gelembung-gelembung cahaya meletus seperti kaca yang dilempar ke dalam api. Udara berubah panas, menusuk kulit, seolah matahari sendiri menurunkan suhu tubuhnya ke dalam ruangan. Napas Xue Feng terasa berat; setiap hembusan keluar berupa kristal emas kecil yang segera menguap di udara. Di belakangnya, pintu gerbang utama istana terbuka lebar. Tujuh sosok berseragam emas mengeluarinya. Jubah mereka berkibar tanpa angin, dijahit benang merah yang kini berubah gelap—bukan karena malam, melainkan karena darah. Keenam pria dan satu wanita itu memegang pedang surgawi yang kini menerangi wajah mereka dengan cahaya putih yang terlalu terang—cahaya yang biasanya menyembuhkan, kini terasa seperti sengatan maut. “Kalian…” suara Xue Feng keluar pelan, hampir berbisik, tapi menggema di seluruh ruangan luas. “Kalian datang menemuiku dengan pedang terhunus?” Tidak ada jawaban langsung. Wanita di tengah—kakak tertuanya, Xue Lian—mengangkat wajahnya. Matanya yang biasanya lembut kini menatap kosong, seolah menatap ke arah Xue Feng tetapi tidak benar-benar melihat adiknya. Bibirnya bergerak pelan. “Kau terlalu kuat, Feng’er.” Nada datar, tanpa emosi. “Dan kau mulai bertanya-tanya dari mana asalmu. Surga tidak butuh Kaisar yang punya masa lalu.” Xue Feng tertawa kecil. Suara tawanya bergema, penuh ironi. “Maka kalian datang untuk menghapus masa laluku?” Keenam pria di belakang Xue Lian mengangkat pedang mereka serentak. Cahaya tujuh pedang menyatu, membentuk formasi Segi Tujuh Surgawi—formasi legendaris yang hanya digunakan sekali dalam sejarah kosmos, untuk memusnahkan makhluk yang dianggap mengancan keberadaan Sembilan Surga itu sendiri. Cahaya putih menyilaukan melesat turun, membentuk lingkaran di sekitar kaki Xue Feng. Setiap batu marmer yang terkena cahaya langsung retak, mengeluarkan asap hitam berbau belerang. Xue Feng mengangkat tangan. Darah emas mengalir dari sisi tubuhnya yang terluka—luka yang tidak terlihat, namun terasa seperti pedang tajam menusuk tulang belakangnya. Darah itu menebalkan di udara, membentuk rune kuno berbentuk naga. Naga itu melingkar di sekitarnya, menatap tujuh pembunuh dengan mata merah menyala. “Kalau begitu,” katanya, suaranya kini lebih tenang, “biarlah darah ini menetes di seluruh surga.” Formasi Segi Tujuh menyala lebih terang. Cahaya putih menyatu menjadi pilar yang menembus langit-langit istana. Langit-langit marmer putih yang diukir relief iblis dan dewa langsung meleleh, menetes seperti lilin di atas api. Pilar cahaya menurunkan tekanan ke seluruh ruangan—sehingga patung-patung giok di sekitar istana retak satu per satu, hancur menjadi debu. Xue Feng merasakan tulangnya retak. Darah emasnya keluar dari luar tubuh, membentuk lapisan pelindung yang rapuh. Namun cahaya formasi terlalu kuat. Ia merasakan jiwanya terbelah—seperti kertas yang direnggut angin—menjadi delapan kepingan kecil yang segera terbang menjauh, melintas lorong waktu dan ruang. Sebelum kegelapan menyelubungi penglihatannya, ia sempat melihat wajah sang kakak—dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang menyerupai air mata di sudut mata wanita itu. Ketika cahaya reda, tubuh Kaisar Langit Xue Feng runtuh. Matanya masih terbuka, memandang langit yang kini benar-benar merah. Darahnya menetes, menempel di marmer, membentuk pola naga yang melingkar—seolah menandai bahwa kutukan baru saja lahir. Alam Tiga Sunyi tidak memiliki langit. Tidak memiliki tanah. Hanya kehampaan hitam yang dipenuhi titik-titik cahaya dingin—fragmen jiwa para makhluk yang dihapuskan dari siklus reinkarnasi. Di tengah kehampaan, Xue Feng mengambang. Tubuhnya transparan, seperti bayangan. Ia mencoba bergerak, tapi tidak ada kaki yang melangkah. Ia mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Di kejauhan, ia melihat cahaya merah muda—seperti jantung yang berdenyut pelan. Cahaya itu mendekat, membentuk sosok wanita berpakaian putih, wajahnya buram, seolah terbuat dari kabut. “Kau masih ingin hidup?” tanya wanita itu. Suaranya tidak datang dari telinga, melangsung langsung ke dalam jiwa Xue Feng. Xue Feng menatapnya. “Aku ingin… balas dendam.” “Dendam akan memakanmu.” “Aku sudah dimakan.” Wanita itu mengangkat tangan. Cahaya merah muda menebalkan, membentuk spiral yang menyerupai cawan surgawi terbalik. “Maka kuberi kau satu kesempatan. Tapi ingat: setiap fragmen jiwamu yang hilang akan kembali sebagai kutukan. Kau akan melupakan siapa dirimu… sampai kau menemukan kembali seluruh dirimu.” Spiral cahaya menelan Xue Feng. Kegelapan pecah. Ia merasakan dirinya terjatuh—jatuh—jatuh—melewati lapisan langit yang satu per satu memudar, melewati dunia yang tidak pernah ia kenal, melewati api yang tidak terlihat namun terasa membakar kulitnya. Dunia bawah tidak pernah melihat matahari. Di lembah asap hitam, seekor telur naga berukuran sebesar rumah terletak di tengah lingkaran batu rune kuno. Telur itu retak pelan-pelan. Dari dalam, darah emas mengalir—darah yang sama persis dengan darah di Istana Tian Qiong—membentuk pola naga yang melingkar di sekitar telur. Bayi menangis. Tangisan itu tidak seperti tangisan bayi biasa—lebih seperti raungan naga yang terluka, bergema di seluruh lembah. Darah emas mengalir lebih deras, membasahi tanah, sehingga tanah hitam itu menyerupai permukaan laut cairan emas. Seorang wanita tua berjubah sobek berlutut di samping telur. Matanya buta, tapi ia tahu. “Akhirnya… kau kembali, Dewa Naga yang Terbuang.” Di langit—kalau bisa disebut langit—awan merah tiba-tiba menebalkan. Darah menetes lagi, kali ini bukan dari surga, melainkan dari retakan langit dunia bawah. Dan di tempat itu, kisah baru dimulai—kisah tentang seorang kaisar terbuang yang akan membuat seluruh surga menetes darah untuk kedua kalinya. *** Di kejauhan, tujuh cahaya emas menyelinap turun dari celah langit dunia bawah. Mereka bergerak cepat, memburu bayi yang baru lahir—seolah mereka tahu bahwa kutukan baru saja bangkit, dan kali ini tidak akan ada ampun.Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da
Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak
Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu
Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan
Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom
Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments