Ledakan cahaya putih itu memekakkan telinga. Udara bergetar seperti ditarik dari segala arah, dan tanah di bawah kaki Li Yuxian pecah membentuk jurang kecil yang menyebar cepat. Xu Liang dan Gadis Tombak menutup wajah mereka dengan lengan, berusaha bertahan di tengah tekanan yang nyaris membuat paru-paru mereka berhenti bekerja.
Yuxian berdiri di tengah pusaran, tubuhnya bergetar hebat. Pedang biru keperakan di tangannya bergetar seolah-olah sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Dari bilah pedang itu, muncul percikan kecil cahaya biru yang melesat ke arah langit, menembus kabut tebal dan menggetarkan seluruh hutan purba.
“Energi ini tidak sama seperti sebelumnya,” kata Xu Liang dengan suara gemetar. “Seolah ada sesuatu yang terbangun di dalamnya.”
Gadis Tombak menatap ke arah pusat pusaran. “Bukan hanya terbangun. Energi itu sedang berevolusi.”
Yuxian menggertakkan gigi, menahan arus kekuatan yang mulai menelan tubuhnya. Suara gemuruh memenuhi udara ketika pusaran itu semakin membesar. Cahaya putih menyebar menjadi untaian energi yang mengalir seperti sungai di udara, menari liar mengelilingi Yuxian dan sosok misterius yang kini semakin jelas bentuknya.
Tubuh sosok itu berwarna merah menyala, dengan urat-urat energi biru yang berdenyut di bawah kulitnya. Matanya memancarkan cahaya tajam seperti bara api. Suaranya berat ketika berbicara, setiap kata menggema di kepala Yuxian.
“Kau pikir bisa menantang inti kosmik, manusia lemah?”
Yuxian menatap tajam. “Aku tidak menantangmu. Aku hanya menolak untuk tunduk.”
Seketika, gelombang energi keluar dari tubuh sosok itu, menghantam Yuxian dan menghancurkan tanah di sekitarnya. Batu-batu terlempar, pohon-pohon tersapu, dan udara berubah menjadi medan energi berlapis. Namun pedang Yuxian tetap tegak.
Pedang biru keperakan mulai bersinar terang, menyalurkan kekuatan yang tersisa di dalam tubuh Yuxian. Ia mengayunkan pedang itu dengan gerakan yang begitu cepat hingga udara di sekitarnya tampak bergetar.
Cahaya biru menembus pusaran, menciptakan aliran energi spiral yang melawan tekanan putih di sekelilingnya. Tubuh Yuxian perlahan terselubung oleh aura bercahaya, perpaduan antara energi kosmik dan kekuatan rohnya sendiri.
Xu Liang berteriak dari kejauhan. “Yuxian, hentikan! Tubuhmu tidak akan mampu menahan tekanan sebanyak itu!”
Namun Yuxian tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah inti pusaran. “Jika aku mundur sekarang, energi ini akan menghancurkan seluruh lembah.”
Sosok misterius tertawa keras. “Kau ingin menyelamatkan dunia kecil ini? Maka buktikan dengan nyawamu.”
Serangan berikutnya datang dalam bentuk gelombang energi berlapis. Tiga pusaran merah menghantam ke arah Yuxian dari tiga arah sekaligus. Setiap lapisan energi memiliki kekuatan penghancur yang mampu meledakkan batu menjadi debu.
Yuxian menguatkan pijakannya, memutar tubuh, lalu mengayunkan pedangnya membentuk lingkaran penuh. Cahaya biru meledak dari bilahnya, menahan dua gelombang dan memantulkan sebagian energi ketiga ke udara. Namun dampaknya luar biasa. Tubuhnya terpental ke belakang, darah menetes dari ujung bibirnya.
Rasa sakit menjalar dari telapak tangannya hingga ke seluruh tubuh. Otot-ototnya menegang, tulangnya berderak. Tetapi di dalam rasa sakit itu, Yuxian merasakan sesuatu yang lain: denyut halus dari energi pedang yang merespons setiap dorongan hatinya. Pedang itu seakan hidup. Ia bukan lagi sekadar senjata, melainkan bagian dari dirinya.
“Jadi, begini rasanya menyatu dengan energi kosmos,” bisiknya dengan suara parau.
Ia menutup mata sejenak, membiarkan suara dunia menghilang. Di balik kegelapan itu, Yuxian merasakan irama samar, seperti detak jantung alam semesta. Energi mengalir ke tubuhnya dengan lembut, tidak lagi memaksa. Ia mulai memahami pola di balik kekacauan.
Ketika membuka mata kembali, pandangannya berubah. Sosok misterius di depannya tampak melambat, setiap pergerakan menjadi lebih jelas. Ia bisa melihat arah gelombang energi sebelum benar-benar dilepaskan.
“Aku mengerti sekarang,” kata Yuxian pelan. “Kau bukan hanya energi. Kau adalah bagian dari keseimbangan alam ini.”
Sosok itu berhenti sejenak. Matanya menyipit. “Keseimbangan? Manusia bodoh, aku adalah kehancuran itu sendiri.”
Yuxian mengangkat pedang biru keperakan, dan kali ini aura yang keluar jauh lebih stabil. Cahaya biru berubah menjadi untaian tipis seperti pita yang mengelilingi tubuhnya. Ia melangkah ke depan, satu langkah yang mengguncang udara.
Pusaran energi kembali meluap, tapi Yuxian kini tidak mundur. Ia menebas ke depan, menggabungkan seluruh kekuatan pedang dengan aliran energi yang baru ia pahami.
Suara benturan terdengar seperti petir yang menghantam bumi. Gelombang biru dan merah saling menelan, memecah udara menjadi retakan tak kasat mata. Angin menghantam Xu Liang dan Gadis Tombak dengan keras, memaksa mereka berpegangan pada batu besar agar tidak tersapu.
“Dia melakukannya lagi,” ujar Gadis Tombak terengah. “Dia benar-benar melawan energi itu secara langsung.”
“Bukan hanya melawan,” sahut Xu Liang pelan. “Dia sedang mengendalikannya.”
Untuk sesaat, dunia tampak berhenti. Lalu cahaya biru dan merah itu meledak bersamaan, menciptakan gelombang kejut yang menyebar sejauh mata memandang. Burung-burung berhamburan dari langit, pepohonan tumbang berderak, dan tanah di bawah mereka terangkat beberapa meter sebelum kembali jatuh.
Ketika debu mulai mengendap, sosok Yuxian berdiri di tengah kawah besar. Tubuhnya berlumuran darah, namun matanya masih menyala dengan sinar biru terang. Pedang biru keperakan itu bergetar lembut di tangannya, seolah hidup dan bernapas bersamanya.
Namun sesuatu berubah. Dari balik kabut cahaya, sosok misterius itu muncul lagi, kali ini tanpa bentuk jelas. Tubuhnya terurai menjadi serpihan cahaya putih dan merah yang berputar mengelilingi Yuxian. Suara bergaung keluar dari setiap arah, bergema di kepala semua orang.
“Kau mungkin telah menahan satu inti. Tapi di kedalaman bumi ini, masih ada tujuh yang lain.”
Xu Liang menatap Yuxian dengan wajah pucat. “Tujuh lagi? Kau dengar itu, Yuxian?”
Yuxian menatap ke arah pusaran yang mulai tenang, napasnya berat, tangan gemetar. Namun cahaya di matanya tidak padam. Ia menggenggam pedang lebih erat.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “aku akan menaklukkan semuanya.”
Tiba-tiba, tanah di bawahnya bergetar hebat. Cahaya merah menyembur dari celah bumi, lebih besar dan lebih gelap dari sebelumnya. Suara gemuruh menggelegar dari bawah tanah, dan aura kehancuran yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya mulai bangkit.
Xu Liang berteriak. “Yuxian, keluar dari sana! Tanahnya akan runtuh!”
Tapi sebelum Yuxian sempat bergerak, cahaya merah itu melesat ke langit dan menyambar tubuhnya, menyeretnya ke dalam jurang yang terbuka. Udara bergetar. Tanah runtuh. Suara Xu Liang dan Gadis Tombak memudar.
Yang tersisa hanyalah cahaya merah yang menyala dari kedalaman bumi, menandakan bahwa sesuatu yang jauh lebih besar telah terbangun.
Ledakan cahaya putih itu memekakkan telinga. Udara bergetar seperti ditarik dari segala arah, dan tanah di bawah kaki Li Yuxian pecah membentuk jurang kecil yang menyebar cepat. Xu Liang dan Gadis Tombak menutup wajah mereka dengan lengan, berusaha bertahan di tengah tekanan yang nyaris membuat paru-paru mereka berhenti bekerja.Yuxian berdiri di tengah pusaran, tubuhnya bergetar hebat. Pedang biru keperakan di tangannya bergetar seolah-olah sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Dari bilah pedang itu, muncul percikan kecil cahaya biru yang melesat ke arah langit, menembus kabut tebal dan menggetarkan seluruh hutan purba.“Energi ini tidak sama seperti sebelumnya,” kata Xu Liang dengan suara gemetar. “Seolah ada sesuatu yang terbangun di dalamnya.”Gadis Tombak menatap ke arah pusat pusaran. “Bukan hanya terbangun. Energi itu sedang berevolusi.”Yuxian menggertakkan gigi, menahan arus kekuatan yang mulai menelan tubuhnya. Suara gemuruh memenuhi udara ketika pusaran
Li Yuxian berdiri di tengah reruntuhan hutan purba, pedang biru keperakan tergenggam erat di tangannya. Gelombang energi yang baru pecah menciptakan pusaran cahaya merah dan biru yang berputar liar, menimbulkan tekanan hebat yang mengguncang tanah. Pohon-pohon runtuh, tanah retak semakin melebar, dan udara dipenuhi debu serta serpihan kayu.Xu Liang dan Gadis Tombak menatap Yuxian dengan mata terbelalak. Tubuh mereka bergetar mengikuti setiap gelombang energi yang menghantam sekeliling mereka.“Yuxian, energi itu semakin liar!” teriak Xu Liang.“Aku tahu,” jawab Yuxian dengan napas berat. “Aku harus menyatu dengan pedang ini dan pusaran energi jika ingin selamat.”Gadis Tombak menunduk, tombaknya membentuk medan pelindung tipis untuk menahan serpihan yang beterbangan. “Kau satu-satunya yang bisa menahan gelombang itu. Aku tidak ingin kehilanganmu.”Yuxian menelan ludah, menatap inti pusaran yang berdenyut semakin cepat. Cahaya biru keperakan dari pedangnya memantul ke gelombang energi
Li Yuxian berdiri di tengah reruntuhan hutan purba, pedang biru keperakan menggenggam erat di tangannya. Cahaya dari pedang itu menembus debu dan serpihan pohon yang beterbangan. Pusaran energi di depan mereka telah pecah menjadi beberapa gelombang besar, masing-masing berdenyut merah dan biru, mengirimkan tekanan yang menghancurkan tanah dan memutar udara di sekeliling mereka.Xu Liang dan Gadis Tombak berdiri di belakangnya, tubuh mereka bergetar mengikuti getaran energi. Mata mereka menatap Yuxian dengan campuran kekaguman dan ketakutan.“Kita belum pernah menghadapi energi seperti ini sebelumnya,” desis Xu Liang. “Setiap gelombangnya bisa menghancurkan kita.”“Aku tahu,” jawab Yuxian. Napasnya berat, tubuhnya bergetar mengikuti denyut energi. “Aku harus menyatu dengan gelombang ini. Jika gagal, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menunduk, tombaknya membentuk medan tipis untuk menahan serpihan pohon yang beterbangan liar. “Kau satu-satunya yang bisa menghadapi ini. Aku tidak ing
Li Yuxian berdiri di tengah hutan purba yang hancur berantakan. Pedang biru keperakan di tangannya berdenyut lebih kuat dari sebelumnya. Angin berputar liar, serpihan pohon dan debu beterbangan memenuhi udara. Di pusat pusaran, sosok misterius yang bersinar merah dan biru bergerak perlahan, mengeluarkan gelombang energi yang menekan seluruh hutan.Xu Liang dan Gadis Tombak menatap dengan mata terbelalak. Mereka tidak pernah menyaksikan energi seperti ini sebelumnya. Tubuh mereka bergoyang akibat tekanan gelombang energi yang terus menghantam.“Yuxian, kau harus berhati-hati,” teriak Xu Liang. “Energi itu… jauh lebih kuat dari bayangan sebelumnya.”“Aku tahu,” jawab Yuxian. Suaranya tegas, napasnya berat. “Pedang ini dan aku harus menyatu dengan energi itu sekarang. Jika tidak, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menekuk lutut, tombaknya membentuk medan pelindung tipis. “Aku tidak ingin kehilanganmu,” gumamnya. “Tetapi kau satu-satunya yang bisa menghadapi ini langsung.”Yuxian menel
Li Yuxian berdiri di tengah hutan purba yang porak-poranda. Pedang biru keperakan di tangannya berdenyut lebih kuat daripada sebelumnya. Debu beterbangan, serpihan pohon terlempar ke udara, dan tanah retak menyebar seperti jaringan sungai yang membelah hutan. Udara terasa panas dan dingin sekaligus, seakan menandakan kekuatan baru yang sedang menunggu untuk dilepas.Xu Liang dan Gadis Tombak berdiri di belakangnya, tubuh mereka tegang. Mata mereka menatap pusaran energi merah dan biru yang berdenyut di pusat retakan.“Apa itu… energi baru?” desis Xu Liang sambil menahan tubuhnya agar tidak terseret gelombang energi.“Sepertinya energi ini bereaksi terhadap pedangmu,” jawab Yuxian. Suaranya mantap, tetapi napasnya terdengar berat. “Jika aku tidak segera mengimbangi ritmenya, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menatap sahabatnya dengan cemas. “Kau harus berhati-hati. Energi itu… jauh lebih liar daripada sebelumnya. Bahkan bayangan gelap yang sebelumnya menyerang kita tampaknya mengan
Li Yuxian terlempar ke udara, tubuhnya berputar beberapa kali sebelum mendarat di tanah yang retak. Debu dan serpihan pohon beterbangan di sekelilingnya. Pedang biru keperakan masih tergenggam erat di tangannya, bersinar terang menahan sebagian gelombang energi yang menelan hutan purba.Xu Liang dan Gadis Tombak berlari ke arahnya, langkah mereka berat karena tanah retak dan serpihan pohon yang berserakan. Wajah mereka dipenuhi kecemasan.“Yuxian, kau baik-baik saja!” teriak Xu Liang.“Aku masih hidup,” jawab Yuxian sambil menggelengkan kepala. “Tapi energi itu… lebih dahsyat dari yang kukira. Aku harus cepat menemukan ritmenya.”Gadis Tombak menatap sahabatnya dengan mata cemas. “Kalau kau gagal memahami energi itu sekarang, tidak ada yang bisa menolong kita.”“Aku tahu,” gumam Yuxian. “Aku harus menyesuaikan diri. Pedang ini dan energi itu harus sinkron, atau kita semua akan hancur.”Yuxian menutup mata sebentar, merasakan denyut energi yang tersisa di tanah, udara, dan inti retakan