Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Kota itu tampak lebih bising dari biasanya. Para lelaki dewasa dan pemuda-pemuda hilir-mudik dengan bergesa-gesa. Sedangkan para perempuannya menampakkan wajah cemas dan tegang. Burung-burung yang biasanya betah bermain lama-lama di jalan-jalan tanah kering kota itu seperti enggan untuk sekedar menancapkan kuku-kuku kakinya di permukaan tanah. Mereka lebih memilih hinggap di pohon-pohon atau tempat yang tinggi sambil mengawasi keadaan kota dari sana. Tidak jauh dari dermaga pantai di pusat kota, sebuah komplek istana besar yang angkuh berdiri dengan tenang seolah tak peduli dengan aktivitas yang terjadi di dekatnya. Ratusan Pria berseragam keprajuritan berdiri di setiap sudut komplek itu, sudut yang dianggap penting dan perlu untuk dijaga. Semuanya tampak menyeramkan dan tak berpikir panjang untuk bertindak tegas pada siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan komplek istana itu. Komplek istana itu tepatnya mempunyai beberapa bangunan. Bangunan utamanya a
Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?Menilik dari namanya, ia adalah seorang laki-laki. Apakah ia seorang yang berbadan tegap layaknya para pahlawan pada umumnya? Bermata tajam bagai elang yang tak gentar menghadapi siapapun musuhnya? Berwajah rupawan yang menggetarkan hati para wanita? Menggunakan senjata kokoh dan tajam sebagai perisai ketangguhannya?Kalaupun Ampu Estungkara serius, entah kekuatan hebat yang seperti apakah yang dimiliki oleh Ganendra Aryasathya itu. Dan kenapa harus orang dari dunia awam? Dunia-nya sendiri sepertinya belum kekurangan para pahlawan dan ksatria tangguh untuk diberikan takdir sebagai pemilik sesuatu yang berharga itu.Pusaka itu sendiri sudah lama menjadi sengketa dan objek rebutan para penguasa lainnya. Ia adalah seuntai kalung permata yang konon dikabarkan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat walaupun hingga saat ini belum pernah ada yang bisa membuktikan hal itu. Kalung Gajahsora namanya. Kalung Gajahsora merupakan pusak
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangann
“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.“Sudah makan kau?”Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan,