Jerit kesakitan tertahan ke luar dari bibir bergetar Pangeran Pisceso. Luka yang ada di perutnya sedang dijahit Dokter Virgolin dengan peralatan dan obat yang seadanya.
"Sudah selesai," ucap Dokter Virgolin tersenyum puas melihat luka tusuk yang diakibatkan dirinya telah selesai dijahit. "Otot perutmu sangat kuat dan juga ,,,," Dokter Virgolin menatap kagum wajah Pangeran Pisceso yang penuh keringat. "Kamu sangat luar biasa! Tanpa pembiusan, bisa menahan jarum yang menjahit lukamu. Aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan padamu."Pangeran Pisceso terbaring lemah di tanah. Kedua bola matanya menatap langit. "Lupakan apa yang telah terjadi. Aku anggap hutangku impas padamu.""Maksudnya?!" tanya Dokter Virgolin."Aku telah berjanji padamu akan mengembalikan kamu ke duniamu lagi setelah mengobati dan menyembuhkan ibunda ratu, tapi aku malah melanggar janjiku karena aku tidak punya pilihan lain selain menahanmu di sini sampai ibunda ratu sembuh."Dokter Virgolin menoleh pada tempat di mana pintu cahaya langit tadi berada, tapi yang sekarang terlihat hanya pohon di kegelapan malam."Karena aku, kamu tidak bisa pulang ke duniamu," bisik Pangeran Pisceso lirih."Pintu itu sudah tidak ada, bagaimana aku bisa pulang?!" ucap Dokter Virgolin lirih. "Apa yang harus ku lakukan sekarang?!" Tetes air mata perlahan ke luar dari kelopak mata Dokter Virgolin. "Jika pintu langit itu terbuka kembali, aku janji akan mengantarmu pulang dan selama kamu di sini tetaplah berada di sampingku," ucap Pangeran Pisceso. "Aku akan melindungi dan menjaga mu."Wajah Dokter Virgolin berbinar. "Apa pintu itu akan terbuka kembali? Kapan?!"Pangeran Pisceso terdiam. "Kapan pintu itu akan terbuka kembali?!" Dokter Virgolin mengulang pertanyaannya."Pintu cahaya langit tidak bisa terbuka setiap saat," ucap Tabib Cole."Maksudnya?!" "Pintu cahaya langit akan terbuka disaat terjadi gerhana bulan dan matahari ,,,," ucap Tabib Cole."Hah?!" Dokter Virgolin tercengang. "Itu ,,, itu waktu yang sangat lama. Tidak, tidak, itu tidak mungkin!""Tapi itu kenyataannya," jawab Tabib Cole.Dokter Virgolin geleng-geleng kepala. "Aku ,,, aku ,,," tangisnya pun pecah, memecah kesunyian malam.Pangeran Pisceso menelan saliva, jauh di dalam hatinya merasa tak kuasa dan sangat tersayat mendengar tangisan wanita yang telah diculiknya. "Aku ingin pulang," ucap Dokter Virgolin disela Isak tangisnya. "Ayah ,,, Ibu ,,,!" panggilnya pada kedua orangtuanya. "Tolong aku!"Tangisan Dokter Virgolin mengundang sang ratu untuk menoleh. Sejenak alisnya mengernyit melihat Dokter Virgolin. "Itu wanita yang telah menolongmu," bisik Raja Theodore seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran istrinya. Ratu perlahan bangun. "Bantu aku," lirih bahkan hampir tak terdengar ratu minta tolong pada suaminya."Lukamu belum sembuh," Raja terlihat begitu sangat khawatir. "Jangan terlalu banyak bergerak."Dengan berat hati, raja membantu istrinya berjalan mendekati Dokter Virgolin, selain khawatir dengan kondisi istrinya, raja juga khawatir istrinya mengetahui dengan kondisi putranya yang terluka.Dokter Virgolin mendongak ketika melihat bayangan di tanah dari cahaya bulan. Senyum manis menghias wajah ratu ketika melihat wajah letih dan mata sembab. Dokter Virgolin segera menghapus air mata. Memaksakan tersenyum untuk menutupi kesedihan hati. "Syukurlah, Nyonya sudah siuman."Tatapan ratu kemudian berpindah pada Pangeran Pisceso. "Putraku, kenapa tidur di tanah?!"Sebelum ratu datang, Dokter Virgolin dan Tabib Cole sudah merapikan pakaian yang dikenakan Pangeran Pisceso sehingga baju robek dibagian perut tidak kelihatan. Menahan sakit, Pangeran Pisceso bangun. "Aku hanya sedang meluruskan pinggangku saja.""Kenapa sampai harus berbaring di tanah?!" tegur sang ibunda. Luka di perut, sakitnya luar biasa ketika Pangeran Pisceso mencoba bangun, tapi demi ibundanya yang tidak mau khawatir, Pangeran Pisceso menahan semua rasa sakitnya.Ratu melihat pada Dokter Virgolin. Diperhatikannya dari atas sampai bawah. Tak lama kemudian, senyum simpul terlukis di bibir. "Kamu masih sangat muda. Apa kamu seorang tabib?!" tanyanya penuh kelembutan."I-iya nyonya," jawab Dokter Virgolin. Senyum semakin lebar di bibir Ratu Eleanor. "Kamu juga sangat cantik," pujinya.Tak berselang lama, rombongan Kerajaan Voresham akhirnya melanjutkan kembali perjalanannya pulang ke kerajaan setelah mendapat kabar berita dari prajurit yang selamat kalau para perampok topeng perak telah berhasil ditumbangkan. Selama dalam perjalanan, tak hentinya Dokter Virgolin melihat ke luar jendela dari dalam kereta kuda. "Nyonya, indah sekali pemandangannya," puji Dokter Virgolin duduk di samping Ratu Eleanor. Ratu tersenyum. "Kamu suka?!""Iya, tentu saja aku suka. Di tempatku tidak ada pemandangan hijau seperti ini. Setiap tempat yang terlihat hanya gedung pencakar langit dan kendaran yang hilir mudik," jawab Dokter Virgolin.Ratu Eleanor terdiam, kalimat yang Dokter Virgolin membuatnya bingung bahkan ada beberapa kata yang kurang dipahami. "Tapi ,,,," wajah Dokter Virgolin berubah sendu. "Tempat itu sekarang sangat ku rindukan. Kapan aku bisa melihatnya lagi?!"Raja duduk di depan ratu saling berpandangan seakan ikut merasakan kesedihan yang ada di hatinya Dokter Virgolin. Terjebak di tempat asing tanpa tahu arah jalan pulang."Apa kamu punya keluarga?!" tanya ratu.Dokter Virgolin mengangguk. "Ayah dan ibuku pasti sekarang sedang menunggu aku pulang. Aku sangat merindukan ibuku."Tangan ratu meraih tangan Dokter Virgolin. "Jangan sedih, anggap saja aku ini sebagai ibumu. Jika kamu rindu dengan ibumu, kamu boleh memelukku.""Benarkah, tapi ,,,." Dokter Virgolin melihat pada raja. Senyum yang jarang sekali raja perlihatkan, sekarang terlukis begitu nyata di bibirnya. "Kerajaan akan melindungi sampai kamu pulang kembali ke tempat asalmu. Jadi, nanti kamu akan tinggal di istana bersama kami.""Istana?!" tanya Dokter Virgolin, khayalannya langsung teringat dengan cerita-cerita dongeng yang sering dia baca dan tonton. Sebuah istana besar dengan pakaian yang indah-indah serta para pengeran berkuda putih yang tampan.Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m