Dokter Virgolin dibantu Tabib Cole dan anak muridnya mulai melakukan operasi ringan. Dengan pengarahan yang diberikan Dokter Virgolin, operasi akhirnya berhasil.
"Selesai!" Dokter Virgolin menarik napas panjang setelah jahitan terakhir untuk menutup luka sayatan berhasil dilakukan.Raja dan Pangeran Pisceso langsung datang mendekat untuk melihat keadaan Ratu Eleanor."Kenapa ibuku belum sadar?!" tanya Pangeran Pisceso penuh kecurigaan. Dokter Virgolin menghela napas sebelum menjawab. "Kamu pikir, setelah ibumu selesai aku jahit lukanya, beliau ini akan langsung sadar dan sembuh?! Yang benar saja!""Yang Mulia, jangan khawatir. Yang Mulia Ratu akan segera sadar kembali dan sembuh seperti semula," ucap Tabib Cole. "Kalian ini aneh! Luka yang dialami oleh ratu kalian itu sangat membahayakan nyawanya, masih untung ratu kalian bisa bertahan sampai sejauh ini. Sabarlah, tunggu beberapa saat lagi, ratu kalian akan tersadar dari tidur panjangnya itu!" Dokter Virgolin kemudian berdiri. "Tugasku sudah selesai! Sekarang, kembalikan aku ke tempat asalku!"Raja dan Pangeran Pisceso saling melihat, apa yang dikatakan Dokter Virgolin memang benar. Sesuai perjanjian setelah mengobati Ratu Eleanor, tabib agung dari langit akan dikembalikan ke tempat asalnya, tapi bagaimana dengan ratu yang belum siuman juga?"Kenapa diam saja?!" seru Dokter Virgolin pada Pangeran Pisceso. "Ayo! Kembalikan aku ke tempat asalku!" Tas tangannya di pegang erat bersiap akan pergi."Ayah ,,,," Pangeran Pisceso seakan minta keputusan apa yang harus diambilnya. "Kamu sudah berjanji akan mengembalikan tabib dari langit ke tempat asalnya setelah mengobati ibumu, sekarang pergilah! Antarkan kembali ke tempat asalnya.""Tapi ayah ,,,,"Dokter Virgolin dengan cepat memotong kalimat Pangeran Pisceso. "Hai! Apa maksudmu tapi, hah?! Kau jangan melanggar janjimu padaku!""Pergilah putraku!" seru raja.Tabib Cole langsung angkat bicara. "Maafkan hamba Yang Mulia, bukan hamba ingin menghalangi kepulangan tabib sakti dari langit, tapi melihat kondisi ratu yang masih belum sadarkan diri, apa mungkin tabib sakti diijinkan pulang ke tempat asalnya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Ratu Eleanor?!"Dokter Virgolin membulatkan kedua matanya mendengar apa yang dikatakan Tabib Cole. "Apa kau bilang?! Kenapa jadi aku yang bertanggung jawab atas kesembuhan ratu kalian ini, hah?! Kau sebagai tabib istana yang seharusnya bertanggung jawab! Enak saja kalau bicara!"Tabib Cole tidak menggubris omongan Dokter Virgolin, kembali bicara seakan keberatan kalau Dokter Virgolin pergi meninggalkan mereka semua untuk kembali ke tempat asalnya."OMG!" geram Dokter Virgolin, "lebih baik gue pulang sendiri!" kemudian pergi dengan membawa tasnya menuju pintu cahaya langit yang semakin meredup. "Astaga, pintunya! Pintunya, kenapa jadi mengecil?!"Semua orang melihat pada pintu cahaya langit. Sinar yang membias di sekitar cahaya terlihat meredup dan angin yang berada di seputaran pintu juga tidak terlalu kencang."Tidak! Jangan sampai ini tertutup!" Wajah ketakutan langsung menghiasi wajah Dokter Virgolin. "Kamu!" Melihat pada Pangeran Pisceso. "Cepat! Antarkan aku kembali ke tempat asalku!"Pangeran Pisceso bagai tersadar dari keterpakuannya langsung mendekati Dokter Virgolin. "Baiklah, sesuai janji, aku akan mengantarmu pulang!"Tabib Cole langsung angkat bicara dengan suara keras. "Menurutku, tabib dari langit jangan pergi! Bukankah Yang Mulia Ratu Eleanor belum tersadar dari tidur panjangnya?!""Apa kau bilang?!" Dokter Virgolin kaget.Tabib Cole kembali bersuara lantang. "Bukankah, tabib dari langit akan dikembalikan setelah Yang Mulia Ratu Eleanor sembuh, tapi lihat sekarang?! Ratu Eleanor masih belum tersadarkan diri! Belum sembuh!""OMG! Bicara apa orang tua gila itu, kenapa menahanku dengan alasan ratu? Sialan!" Dokter Virgolin kemudian melihat pada pintu cahaya langit. "Lebih baik aku pulang sendiri! Mati jauh lebih baik daripada aku terkurung di tempat gila seperti ini."Setelah itu, Dokter Virgolin berlari menuju pintu cahaya langit yang ukurannya hampir sama dengan ukuran tubuhnya.Seet!Tiba-tiba tubuh Dokter Virgolin bagai terbang, bukan mendekat dan masuk ke pintu cahaya langit, tapi malah menjauh dari pintu cahaya langit. Kedua bola mata Dokter Virgolin melebar begitu menyadari tubuhnya telah berpindah. "Apa yang kau lakukan?!" teriak Dokter Virgolin, ketika menyadari pinggangnya dipeluk tangan kekar. "Lepaskan!""Kau tidak bisa pulang!" "Apa maksudmu?!" bentak Dokter Virgolin kaget."Ibuku belum tersadar dari tidur panjangnya, jadi kau belum bisa pulang?!"Habis sudah kesabaran Dokter Virgolin dalam menghadapi orang-orang yang ada di hadapannya. "Hei, Pangeran Pisceso putra mahkota dari negri antah berantah, dengarkan aku baik-baik!" ucapnya tajam menatap wajah Pangeran Pisceso yang jauh lebih tinggi. "Aku, Virgolin Asteria, tidak punya kewajiban untuk mengurus ibumu itu! Tugasku sudah selesai! Aku sudah menjahit luka yang ada di tubuh ibumu itu! Jadi, minggir sekarang dari hadapanku!" bentaknya galak.Pangeran Pisceso tidak bergeming. "Minggir!" sekali lagi Dokter Virgolin berteriak. Salah satu prajurit tiba-tiba berteriak. "Lihat! Pintu cahaya langit akan tertutup."Semua orang melihat ke arah pintu cahaya langit yang kian meredup dan mengecil serta angin yang bergemuruh semakin memudar.Wuush!Hilang, pintu cahaya langit hilang. Yang nampak sekarang hanya pepohonan ditiup angin di gelapnya malam.Betapa terkejutnya Dokter Virgolin. Tubuh mungilnya melangkah gontai, tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya. "Ma-mana? Mana pintunya? Ke mana pintunya?!" tanyanya tersendat. Semua terdiam, begitu juga dengan Pangeran Pisceso menatap iba pada wanita yang telah diculiknya. Semua perasaan kasihan bercampur aduk di dalam hatinya, tapi ayahnya telah memberi perintah untuk mencegah tabib sakti pergi ke tempat asalnya."Ke mana? Pintu, pintunya mana?!" tanya Dokter Virgolin, tangannya terangkat seolah sedang mencari sesuatu, tapi hanya udara yang bisa dirasa tangannya.Tak lama kemudian, butiran air mata ke luar dari kedua kelopak matanya. "Bagaimana ini?" bisiknya lirih tersendat, tubuhnya terkulai lemas, duduk di atas tanah yang lembab.Tabib Cole datang mendekat. "Tabib agung. Jangan khawatir," ucapnya menenangkan. "Pintu cahaya langit akan terbuka jika Sang Pencinta Alam menghendakinya."Dokter Virgolin tak kuasa menahan tangis. Wajahnya menunduk, membiarkan butiran air mata menyusuri pipi mulusnya. Ingin marah, tapi apa gunanya? Apa dengan marah bisa mengembalikan pintu yang akan membawanya ke tempat di mana dirinya berasal? Tabib Cole berdiri di samping Dokter Virgolin yang terisak. Ikut iba melihatnya. "Jangan menangis tabib agung. Jangan takut!"Tiba-tiba Dokter Virgolin bangun dari duduknya. Mata yang dipenuhi genangan air mata melihat tajam pada Tabib Cole kemudian tatapannya beralih pada Pangeran Pisceso bak sinar laser yang siap membelah. Pangeran Pisceso terkesiap melihat kemarahan yang begitu nyata dalam sorot mata wanita yang telah diculiknya.Dengan langkah tegas, Dokter Virgolin mendekati Pangeran Pisceso. "Kau, kau mengingkari janjimu!" Sungguh di luar dugaan, Dokter Virgolin menarik belati emas dari sarungnya milik Pangeran Pisceso yang selalu tergantung manis di pinggang kiri.Kedua bola mata Pangeran Pisceso melebar ketika merasakan benda asing masuk ke dalam perutnya. Rasa sakit dan perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m