Share

3. Kembalinya Melisa

Tanpa buang-buang waktu lagi, Alina menggeledah rumahnya sendiri untuk mencari keberadaan Melisa. Jelas sekali ia mendengar suara Melisa saat ia membuka pintu. Kini kursi bahkan di posisi terbalik karena Alina menariknya.

”Di mana kamu, Melisa! Awas aja kalo kamu ketemu!” gerutunya.

(Teteh, aku di sini.)

Suara itu kembali terdengar bagai bisikan di telinga Alina. Gerakan Alina semakin kasar, ia melangkah menuju lantai dua untuk mencari keberadaan Melisa. Sesampainya di depan kamar Melisa, Alina segera menendang pintu bercat coklat itu hingga membentur tembok.

Namun begitu sampai, ia tidak menemukan apapun, hanya saja posisi kamar itu tidak sama seperti biasanya. Seprai menghambur ke mana-mana, sedangkan boneka beruang milik Melisa sudah terpotong menjadi dua bagian.

Mata Alina membelalak. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, kini tubuhnya mulai bergetar. Agaknya ada yang ingin bermain-main dengan dirinya, karena shower di kamar mandi Melisa terdengar ke telinga.

Braak!

Pintu kamar tertutup dengan sendirinya, sedangkan pintu kamar mandi terbuka perlahan hingga menimbulkan derit panjang yang memekakkan. Alina mundur, nalurinya berkata untuk meninggalkan kamar Melisa.

(Teh, aku di dalam.)

”Diam!”

Mendengar suara halus itu membuat separuh kesadaran Alina menghilang, ketika ia panik, ia akan mengalami sesak napas. Kini dirinya tengah duduk di lantai sambil berusaha menenangkan diri, sedangkan suara shower masih terdengar disertai bunyi air dari closet.

Alina tertatih menggapai handle pintu. Setelah terbuka ia segera keluar sambil mengaduk isi tas untuk mengambil kunci mobil. Tujuannya kini adalah Dipta, pikirannya yang waras membantunya untuk melihat keadaan adik tirinya agar rentetan kejadian yang baru saja ia alami bisa disimpulkan dengan baik.

Ban mobilnya berdecit saat meninggalkan pekarangan rumah, sesak napasnya mulai bisa ia atasi. Alina memusatkan pandangannya ke depan agar tidak terjadi apa-apa selama mengemudi. Ia tidak berniat menelfon Dipta, karena yang ada Dipta akan pergi jika memang ada yang disembunyikan.

Tin! Tin!

Klakson Alina berbunyi nyaring, ia sudah sampai di halaman rumah Dipta Prakoso. Seorang ibu-ibu berpakaian ala kadarnya menghampiri Alina.

”Cari siapa, ya, Mbak?” tanyanya.

”Dipta ada di dalam?” Alina turun dari mobil, tanpa menunggu jawaban dari ibu-ibu tadi. Ia segera mendobrak pintu yang memang tidak terkunci. Mata Alina membesar melihat Dipta tengah bercanda dengan beberapa kawannya di ruang tengah.

”Di mana Melisa!”

Tanpa aba-aba, Alina segera bertanya pada Dipta yang memandangnya kaget.

”Mana Melisa!” ucapnya lagi, suaranya meninggi.

”Ngapain lo ke sini, Lin? Perjanjian kita itu sebulan. Adek lo udah gue sewa sebulan. Kalau lo minta adek lo balik sebelum waktunya, itu artinya uang gue balik,” tandas Dipta.

”Gue nggak minta adek gue balik, gue cuma mau lihat dia!” Alina bersikukuh.

”Balik! Adek lo lagi tidur.”

Alina yang bebal tak mengindahkan ucapan Dipta, ia justru menaiki tangga menuju kamar Dipta berada. Alina segera membuka pintu, dan terlihat seorang wanita berperawakan seperti Melisa tengah berbaring di posisi menyamping ke arah jendela. Alina bersiap mengayun langkahnya untuk melihat wajah adik tirinya, tapi Dipta justru menghalangi.

”Sekarang udah lihat adek lo, puas?! Pulang sekarang atau gue minta duit gue balik!” ancamnya.

”Gue bakal dateng ke sini 10 hari lagi,” ucap Alina, kemudian menghentakkan kakinya seraya pergi dari kamar dan rumah Dipta. Setidaknya hati dan pikiran Alina sudah lega karena keadaan Melisa masih baik-baik saja, dan yang terpenting, gadis itu masih hidup.

”Gue kira udah jadi setan,” gumam Alina.

***

Pukul 7 malam, Alina baru sampai di rumahnya. Melihat motor suaminya sudah terparkir di sana membuatnya lega karena ada seseorang yang menemani di rumah. Ia segera membuka pintu, matanya lagi-lagi membesar melihat seorang gadis yang dibawa oleh Ardan.

Gadis itu tengah duduk membelakanginya, karena gadis berambut sebahu itu duduk di kursi yang menghadap dapur. Ardan melihat Alina dengan senyum mengembang, berbeda dengan pikiran Alina saat ini yang tak menyuruhnya tersenyum.

”Si-siapa dia, Mas?” tanyanya gugup.

Ardan menepuk kursi di sebelah gadis itu yang belum menoleh ke arah Alina. ”Ke sini, Sayang.”

Sikap Ardan yang menjanjikan itu membuat Alina semakin bergetar akan rasa penasaran. Batinnya mengatakan hal yang tidak mungkin jika itu Melisa, karena ia saja baru pulang dari rumah Dipta memakan waktu satu jam karena terhalang macet. Otaknya mengajak berpikir positif, tapi tidak bisa, karena Ardan pun anak tunggal. Jadi ... siapa gadis yang dibawa suaminya?

Alina duduk perlahan di kursi yang tadi ditepuk oleh suaminya, menoleh ke wajah gadis itu.

”Me-melisa?”

Jantungnya berdetak begitu cepat. Wajah gadis di samping Alina memang Melisa.

”Bu-bukannya kamu ...,” ucapannya menggantung saat melihat bibir tipis Melisa terangkat ke atas, membentuk senyum sinis.

”Aku harus cabut laporan ke polisi karena Melisa ternyata udah pulang. Maaf, ya, Sayang udah berburuk sangka ke kamu,” ucap Ardan.

Alina mereguk ludah dengan susah payah. ”Laporan ke polisi?” gumamnya lirih, tapi agaknya masih terdengar oleh Ardan.

”Iya, Alina. Aku melapor ke polisi kalau Melisa hilang, tapi sepertinya besok aku harus ke sana buat cabut laporannya.”

Ardan mengambil piring Melisa yang sudah kosong untuk dibawa ke wastafel. Alina masih berada di kondisi bingungnya, matanya tak luput dari wajah Melisa yang tampak pucat dan semakin kurus. Bahkan di bagian bawah matanya menghitam seperti berhari-hari tidak tidur.

”Mas, kok bau busuk sih,” ujar Alina sambil menutup hidung

Ardan menghampiri, ”Dari aku pulang emang udah bau begini, Lin. Coba besok aku cari deh, kali aja emang ada bangkai tikus di atas.”

Karena malam semakin larut, Ardan menggandeng lengan istrinya ke kamar dengan Melisa yang berjalan pelan di belakang. Hati Ardan lega karena adik iparnya sudah ketemu dan pulang sendiri ke rumah.

Braak.

Alina menoleh ke pintu kamar Melisa yang ditutup, lampunya dimatikan dari dalam. Alina mempercepat langkah dan menarik Ardan agar segera masuk ke kamar. Ardan tersenyum melihat aksi istrinya.

”Tumben kamu agresif gini?”

Alina duduk di bibir ranjang, ”Mas, kok kayak ada yang beda dari Meli? Dari tadi aku nggak denger dia ngomong.”

”Kamu yang nggak denger kali, orang dari tadi becanda sama aku.”

Alina menganga, padahal dari tadi ia di bawah tidak mendengar apapun yang diucapkan oleh adik tirinya. Sedangkan secara pendengaran, ia baik-baik saja.

”Mas--” Alina menoleh, ternyata Ardan sudah terlelap. Alina tidak baik-baik saja sekarang, karena ia masih penasaran terhadap adik tirinya itu. Hal pertama yang ia lakukan saat ini adalah mengganti bajunya dulu, Alina melengang ke kamar mandi.

Ia mengambil handuk kecil yang berada di belakang pintu, kemudian menghadap cermin untuk menghapus sisa make up di wajah. Matanya menyipit melihat wajahnya di cermin karena yang ia lihat seperti bukan dirinya ...

Aaaakkkk!

”Ada apa, Yang! Ada apa.”

Ardan segera berlari menuju kamar mandi karena terbangun mendengar pekikan istrinya.

”Hantu, Mas. Ada hantu! Itu di cermin!”

Ardan berdecak. ”Jangan kebanyakan minum kamu, jadi nggak ngigo terus bawaannya.”

”Yakin, Mas. Aku nggak bohong. Aku lihat ada wajah Melisa berbelatung di sana!”

Ardan menarik tangan istrinya kencang, kemudian membawa Alina keluar seraya membuka pintu kamar Melisa.

”Gimana bisa Melisa jadi hantu sedangkan dia masih hidup?! Lihat!”

Derit panjang terdengar saat Ardan membuka pintu, Alina tak membuka mata ketika Ardan justru mengajaknya masuk ke ruang gelap pribadi Melisa.

”Di-dia ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status