Alina mengerjap, adik tirinya memang masih ada di sana tengah berbaring dengan posisi membelakangi. Alina maju beberapa langkah, kemudian melihat adiknya yang memang terlelap, ia menghembuskan napas lega dan bersiap mengayun langkah untuk keluar kamar. Namun ....
”Hah.”Lemari kayu jati yang terdapat kaca besar di depannya itu memantulkan diri Alina yang terkena cahaya lampu rumah tetangganya, Alina mendekat ke arah kaca kemudian ke adiknya.”Ke-kenapa bisa ....” Jantungnya kembali berlarian, keringatnya bercucuran. Tangan Ardan menarik Alina, tapi saat istrinya sudah di luar kamar, istrinya itu tengah mengalami sesak napas.”Alina. Lin,” ucap Ardan. ”Kamu kenapa? Nggak perlu panik atau takut, kan adik kamu baik-baik aja di dalam.”Alina masih dengan wajah pucatnya disertai napas yang tersendat. Ardan membopong tubuh istrinya dan dibaringkan ke kamar.”Minum obat kamu.” Ardan memberikan satu butir obat beserta air putih. Alina segera mengambil obat itu dan menelannya, kemudian meminum air. Berangsur-angsur sesak napasnya berkurang, tapi ia masih syok dengan apa yang ia lihat.”Mas, Melisa itu hantu. Di kaca lemari aku lihat dia nggak ada di ranjang, dia ada di belakang aku dengan wajah mengerikan. Dia mau cekik aku tadi, Mas. Sumpah, aku nggak bohong.”Ardan menempelkan tangannya ke kening Alina. ”Nggak anget, berarti nggak sakit. Tapi kenapa omongan kamu ngelantur? Adek sendiri dikata hantu. Udahlah, aku mau tidur aja.””Jangan matiin lampunya, Mas. Aku takut gelap. Aku takut Melisa ke sini cekek aku,” ucap Alina ketika melihat Ardan hendak mematikan lampu.Ardan geram mendengar ucapan ngelantur istrinya. ”Makanya jangan kebanyakan minum miras, kamu! Pikirannya ngelantur terus! Sebel banget aku dengernya.””Aku udah lama nggak minum! Aku nggak ngelantur, Mas!” Alina jelas tidak terima.”Terserah kamu, aku mau tidur.”Ardan segera membelakangi istrinya kemudian menutupi wajah dengan selimut. Alina membelalak, dan segera masuk ke dalam selimut sambil memeluk suaminya.Keesokan harinya, Alina bangun dengan wajah lesu dan mata merah dengan bawah mata hitam akibat kurang tidur. Ardan sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, sedangkan dirinya masih berada di balik selimut. Semalaman Alina mendengar tangis yang begitu menyayat di kamar mandi, bahkan saat didekati tangis itu berpindah ke belakangnya.Ardan tak mendengar karena semalaman dia tidur dengan telinga disumbat earphone. Bahkan Alina sudah berteriak agar suaminya bangun, tapi tetap saja Ardan tak bangun.”Sebenernya aku serumah sama Melisa asli atau hantu?” Alina bergidik.***”Sial, sial, sial! Gadis itu,” umpat Dipta sambil melambungkan asap rokok ke sembarang arah. Semalaman ia tidak bisa tidur meski sudah menenggak 2 butir obat tidur.”Kenapa, sih, Babe,” ujar Clara. Gadis berperawakan kurus itu bergelayut di lengan Dipta.”Melisa. Dia neror aku semalaman.”Clara berkerut. ”Neror? Penjaga kamu pada di mana sampe kamu diteror cewek aja nggak bisa atasin?”Dipta mendengkus kesal, mulutnya bungkam karena tak bisa memberi jawaban yang sebenarnya pada Clara. Dipta menyentak tangan Clara yang bergelayut pada lengannya hingga gadis itu hampir jatuh. Pikirannya kacau, bahkan merokok tidak membuatnya tenang. Pikirannya tetap berkabut dan tidak menemukan jalan keluar.”Babe, yang ngirim pesan ke kamu begini siapa sih? Ini, cewek yang kamu maksud?”Clara memutar pesan suara yang berisi hanya jeritan dan suara tawa melengking. Dipta meremas rambutnya, mendengar suara jeritan itu ... ia mengenalnya.”Diam! Hapus pesan itu. Hapus!” Clara tersentak kaget karena dibentak oleh kekasihnya.Dipta berlari ke belakang rumah menatap lebatnya pohon bambu yang saling bergesekan. Bunga kamboja yang berada tak jauh dari sana menebarkan bau harum yang khas, tapi justru membuat Dipta takut.”Nggak. Ini nggak bisa gue diemin terus.”***Di kantor polisi, tepatnya pada jam makan siang kantor, Ardan ke sana hendak mencabut laporan. Motornya baru saja sampai di halaman kantor polisi, kemudian masuk ke dalam.”Pak Ardan, baru saja kami hendak mengabarkan kabar terbaru mengenai ananda Melisa.”Mendengar ucapan dari petugas polisi yang mengetik laporan miliknya kemarin membuat Ardan duduk dan menatapnya sambil tersenyum.”Iya, Pak. Justru saya kemari--””Kami mendapat laporan jika ananda Melisa sempat menjajakan diri di pinggir jalan saat tengah malam. Tapi sudah 3 hari ini saksi yang kami temui mengatakan tidak pernah lagi melihat ananda Melisa di tempat yang sama.”Ardan setia mendengarkan, meski ia sangat kecewa mendengar Melisa menjual diri di pinggir jalan.”Pemilik warung kopi memberi kesaksian, jika Melisa selalu diantar dan dijemput oleh lelaki yang sama. Bahkan terakhir kali, yaitu tiga hari yang lalu, pemilik warung kopi ini melihat Melisa dan lelaki ini tengah beradu mulut.””Ta-tapi, Pak.” Suara Ardan melemah. ”Melisa bukan gadis seperti itu. Bahkan dia bukan gadis yang kurang uang karena selalu mendapat jatah bulanan dari saya.”Raut kecewa sangat terlihat di wajah tampan Ardan. Dahi dan alisnya berkerut.”Maaf, Pak Ardan jika kabar dari kami kurang meng-enakan. Tapi saya memiliki satu pertanyaan lagi, apakah ananda Melisa memiliki pacar? Karena bisa jadi lelaki yang mengantar dan menjemput ananda Melisa adalah pacarnya.”Ardan menggeleng.”Baik, Pak. Kabar selanjutnya akan kami laporkan sedetail mungkin.”Ardan berpamitan dengan polisi, bahkan ia melupakan Melisa yang sudah ada di rumah. Ardan bersiap pergi dari kantor polisi menuju kantornya karena pekerjaannya belum selesai.***Di rumahnya, Alina tengah menimbang untuk keluar dari kamar karena perutnya merasa lapar. Sedari pagi sampai kini matahari tengah terik-teriknya, Alina masih takut untuk ke bawah dan berhadapan dengan Melisa.”Ya ampun, tapi gue laper,” gumamnya sambil meremas perut.Alina menghela napas, mengumpulkan keberanian sambil mulai berdiri dan menghadap pintu bersiap memutar kenop. Alina memutarnya sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan derit.Hening.Bahkan dari kamar adiknya pun tidak ada bunyi apapun. Alina segera berlari menuruni tangga dan segera melompat ke sofa. Senyum kemenangan menghiasi bibir Alina karena Melisa ternyata tidak ada di mana pun.Alina mulai berjalan santai menuju dapur dan membuka tudung saji, berharap suaminya membuatkannya sarapan.”Ih, biasanya juga ada sarapan,” gerutunya, karena Alina tidak menemukan sarapan yang tersaji seperti biasa. Alina menuju ke kulkas memerika ada bahan makanan apa yang bisa diolah.Matanya tak sengaja melihat sandwich yang masih baru, tapi agaknya dibuang ke tempat sampah. Alina merasa sangat marah dan menyambar ponselnya yang berada di meja makan untuk menelfon Ardan.Matanya membesar, karena nyatanya Ardan justru pulang dengan wajah kesal. Alina menghentakkan kakinya sambil menatap Ardan yang tengah menaiki tangga kemudian menuju ke kamar Melisa.Braak!”Mana Melisa?!”Tampang Ardan begitu mengerikan saat ini, rasanya ingin melahap siapa pun yang membuatnya marah.”Nggak tau! Aku baru bangun.””Kamu ini kakak macam apa, adekmu jadi pela-cur di luaran kamu nggak tau?!” Suara Ardan meninggi. ”Apa karena nafkahku yang terbagi untuk jatah bulanan Melisa, kamu nyuruh dia jual diri?!”Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi