Share

2. Lapor Polisi

Alina segera membersihkan rumah meski beberapa kali tersandung kaki sofa, karena baru saja terbangun.

Ardan melengang santai menuju dapur, kemudian mulai menggoreng telur dan memanggang roti. Ia hanya membuat 1 untuk dirinya sendiri. Saat Melisa masih ada di rumah, gadis itu yang akan membuatkan semua orang sarapan. Tapi setelah gadis itu pergi, Ardan kembali menghandle tugas rumah karena selama 2 tahun pernikahan, istrinya tidak mau mengerjakan hal kotor seperti itu.

Setelah Ardan selesai memakan semua sarapannya, ia menghampiri Alina. Ardan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

(Tolong aku ....)

”Denger?” ucap Ardan, begitu memutar pesan suara yang ia dapatkan saat bangun tidur.

”Kenapa kamu masih tenang-tenang aja, padahal Melisa nggak pulang-pulang?”

Alina geram mendengar ucapan suaminya yang terus menyudutkannya itu. ”Dia udah gede! Pesan suara itu bisa jadi orang iseng. Emang suaranya persis sama kayak suara adikku?!”

”Siapa lagi? Bisa jadi Melisa emang lagi ketakutan di luar sana. Kamu ini kakak macam apa?! Sudahlah, pusing aku. Lebih baik aku ke kantor aja.”

Ardan segera mengambil tasnya dan pergi mengendarai sepeda motor. Alina yang terlampau emosi semakin membenarkan apa yang dilakukannya, jika kepergian Melisa adalah yang terbaik untuknya.

Setahun lalu, awal mula Melisa datang ke rumahnya karena ibu tirinya meninggal. Bukan tanpa alasan Alina membenci Melisa. Melisa adalah anak yang dibawa oleh ibu tirinya, saat itu Melisa masih berumur 4 tahun. Meskipun begitu, Melisa memang selalu baik padanya, tapi tidak dengan ibu tirinya.

Alina muak saat ia kecil, ia selalu dibeda-bedakan. Bahkan uang saku yang seharusnya lebih besar untuknya, ibu tirinya hanya memberikan uang pas untuk bolak-balik menaiki angkot. Sedangkan Melisa? Mengingatnya membuat napas Alina memburu.

Kepalanya terasa pening. Alina kembali menaiki tangga untuk menuju kamar karena tadi saat pukul 3 hendak tidur, ia justru dikagetkan dengan adanya suara kaca yang diketuk. Bahkan lampu kristalnya mati dan hidup sendiri. Saat ia hendak menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut, justru sesosok rambut yang berada di dadanya.

”Jangan-jangan rumah ini kemasukan setan lagi,” gumamnya sambil bergidik, tangannya mengusap lengan dan tengkuk.

Alina mempercepat langkah untuk meniti tangga, tapi begitu sampai di tangga terakhir yang mana berhadapan langsung dengan kamar Melisa, Alina segera mempercepat langkahnya menuju arah kiri, yakni arah kamarnya.

”Kenapa jadi mikir yang nggak nggak si aku?” ucapnya sambil menghela napas. ”Jangan-jangan karena kebanyakan minum, makanya mulai gila otak gue.” Alina menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan suara yang terus berkicau di pikiran.

•••

”Ke mana kamu Mel?” gumam Ardan.

Ardan kini tengah berada di kantor polisi untuk melaporkan adik iparnya yang hilang. Foto Melisa pun sudah dibawanya untuk mempermudah polisi untuk mencari adik iparnya itu. Ardan memang tak mengatakannya pada Lina, bahwa ia akan ke kantor polisi. Karena Ardan pun curiga terhadap istrinya, kalau Melisa hilang disengaja olehnya.

Ardan segera duduk di kursi besi yang berhadapan dengan petugas kepolisian. Beberapa keterangan sudah Ardan berikan pada polisi, tak lupa foto Melisa ia berikan.

”Kapan terakhir kali ananda Melisa terlihat, Pak Ardan?” tanya polisi bernama Fathur itu. Jarinya mengetik apa yang diucapkan Ardan.

”Seminggu lalu, Pak Polisi. Bahkan bajunya di lemari pun nggak ada yang dibawa satu pun. Makanya saya berpikir, kalau adik ipar saya ini hilang diculik atau nyasar.”

Pak Fathur nampak diam, jarinya kembali mengetik. ”Bagaimana penjelasan istri Pak Ardan?”

Lelaki itu nampak berpikir keras, ”Pak, istri saya juga bekerja. Kata istri saya, saat dia pulang ke rumah, Melisa sudah tidak ada di rumah.”

”Baik, Pak. Semoga secepatnya ananda Melisa segera ditemukan. Akan kami laporkan semua perkembangan kasus ini ke Pak Ardan dan istri,” ucap polisi itu.

Ardan tersenyum seraya mengulurkan tangan. ”Terima kasih, Pak. Semoga kabar baik segera saya terima.”

Ardan berdiri, keningnya berkerut. ”Pak, apa saya boleh minta sesuatu? Saya ingin istri saya tidak mengetahui kasus ini, bukan tanpa alasan, Pak. Mereka berdua memiliki hubungan tidak begitu bagus. Jadi ....”

”Ya, Pak. Saya mengerti.”

Kemudian Ardan benar-benar pergi dari kantor polisi. Ia melambungkan harap, agar Melisa cepat ketemu.

**

Sedangkan Alina di tengah hari yang terik ini memilih keluar rumah untuk ke cafe. Cafe ini adalah miliknya, usaha satu-satunya yang dimiliki almarhum ayahnya. Ia masih ingat saat ayahnya menyerahkan cafe ini padanya, Sintia -- ibu tirinya itu mendorong ayah Alina yang sudah sakit-sakitan.

Pertengkaran seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Alina saat di rumah masa kecilnya dulu. Karena ia diberi cafe, Melisa diberi rumah yang kini justru kosong.

”Gue pusing banget,” keluhnya. Ia duduk di kursi pelanggan dengan Rika -- sahabatnya.

”Pusing kenapa, sih,” tanya Rika.

Alina menghela napas, kemudian mengambil ponselnya untuk memberikan sesuatu yang harus didengarkan oleh sahabatnya itu. Ia berharap Rika pun berpikiran sama, jika pesan suara beruntun yang semalam ia dapatkan, hanya pesan dari orang iseng.

Rika menatap datar Alina. ”Apaan, sih? Ini nomer WA siapa, kok cuma ada 5 nomer?”

”Ih, elu play dulu itu pesan suaranya. Menurut lu itu orang iseng apa emang adek gue,” sungut Alina.

”Lah, emang adek lo ke mana?”

Alina membola, ia merasa keceplosan. ”Nggak, pokoknya dengerin--”

”Apanya, sih, yang didenger? Diputar pun nggak bisa. Nih, lo liat.” Alina duduk di samping Rika dan melihat layar ponselnya. Benar, pesan suara itu tidak bisa didengarkan meski sudah beberapa kali di pencet untuk memutarnya. File rusak, hanya itu yang dijelaskan oleh ponselnya.

”Tapi, Rik. Tadi pagi masih bisa.” Wajah Alina pias.

Rika memutar bola mata, ”Halu. Makanya jangan kebanyakan minum. Udahlah, gue ada kesibukan. Gue tinggal, ya!”

Tanpa menunggu jawaban Alina, Rika melenggang begitu saja menjauhi cafe. Alina mengambil ponselnya, kembali berusaha memutar pesan suara misterius itu. Ia berteriak karena lagi-lagi hanya ada tulisan "file rusak".

”Fais, tolong handle cafe dulu. Saya nggak enak badan,” ucapnya seraya pamit dari cafe.

Alina menaiki roda empatnya menuju rumah. Ia sengaja menyetir perlahan karena pikirannya tengah was-was, takut terjadi yang tidak-tidak di jalan.

Citttt!

Ban mobilnya berdecit nyaring karena menginjak rem mendadak. Alina terkejut melihat seorang gadis remaja tengah berdiri di pohon kersen yang ada di samping rumahnya. Postur tubuhnya membuat Alina mengeluarkan keringat dingin.

”Apa itu Melisa? Nggak mungkin. Dia kan di rumah Dipta.”

Alina turun dari mobil untuk membuka gerbang yang tak begitu tinggi sambil melongok ke arah pohon kersen. Alina menghela napas lega, karena gadis berpostur tubuh seperti Melisa tidak ada di sana.

”Mungkin gue salah lihat. Bener, kata Rika, gue kebanyakan minum,” tegasnya dalam hati.

Alina kembali masuk dengan mobilnya karena gerbang sudah dibuka. Ia segera mengeluarkan kunci rumah, kemudian membukanya.

”Teteh ... tolong aku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status