Home / Thriller / TEH ... AKU DI SINI / 2. Lapor Polisi

Share

2. Lapor Polisi

last update Last Updated: 2022-09-28 14:12:43

Alina segera membersihkan rumah meski beberapa kali tersandung kaki sofa, karena baru saja terbangun.

Ardan melengang santai menuju dapur, kemudian mulai menggoreng telur dan memanggang roti. Ia hanya membuat 1 untuk dirinya sendiri. Saat Melisa masih ada di rumah, gadis itu yang akan membuatkan semua orang sarapan. Tapi setelah gadis itu pergi, Ardan kembali menghandle tugas rumah karena selama 2 tahun pernikahan, istrinya tidak mau mengerjakan hal kotor seperti itu.

Setelah Ardan selesai memakan semua sarapannya, ia menghampiri Alina. Ardan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

(Tolong aku ....)

”Denger?” ucap Ardan, begitu memutar pesan suara yang ia dapatkan saat bangun tidur.

”Kenapa kamu masih tenang-tenang aja, padahal Melisa nggak pulang-pulang?”

Alina geram mendengar ucapan suaminya yang terus menyudutkannya itu. ”Dia udah gede! Pesan suara itu bisa jadi orang iseng. Emang suaranya persis sama kayak suara adikku?!”

”Siapa lagi? Bisa jadi Melisa emang lagi ketakutan di luar sana. Kamu ini kakak macam apa?! Sudahlah, pusing aku. Lebih baik aku ke kantor aja.”

Ardan segera mengambil tasnya dan pergi mengendarai sepeda motor. Alina yang terlampau emosi semakin membenarkan apa yang dilakukannya, jika kepergian Melisa adalah yang terbaik untuknya.

Setahun lalu, awal mula Melisa datang ke rumahnya karena ibu tirinya meninggal. Bukan tanpa alasan Alina membenci Melisa. Melisa adalah anak yang dibawa oleh ibu tirinya, saat itu Melisa masih berumur 4 tahun. Meskipun begitu, Melisa memang selalu baik padanya, tapi tidak dengan ibu tirinya.

Alina muak saat ia kecil, ia selalu dibeda-bedakan. Bahkan uang saku yang seharusnya lebih besar untuknya, ibu tirinya hanya memberikan uang pas untuk bolak-balik menaiki angkot. Sedangkan Melisa? Mengingatnya membuat napas Alina memburu.

Kepalanya terasa pening. Alina kembali menaiki tangga untuk menuju kamar karena tadi saat pukul 3 hendak tidur, ia justru dikagetkan dengan adanya suara kaca yang diketuk. Bahkan lampu kristalnya mati dan hidup sendiri. Saat ia hendak menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut, justru sesosok rambut yang berada di dadanya.

”Jangan-jangan rumah ini kemasukan setan lagi,” gumamnya sambil bergidik, tangannya mengusap lengan dan tengkuk.

Alina mempercepat langkah untuk meniti tangga, tapi begitu sampai di tangga terakhir yang mana berhadapan langsung dengan kamar Melisa, Alina segera mempercepat langkahnya menuju arah kiri, yakni arah kamarnya.

”Kenapa jadi mikir yang nggak nggak si aku?” ucapnya sambil menghela napas. ”Jangan-jangan karena kebanyakan minum, makanya mulai gila otak gue.” Alina menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan suara yang terus berkicau di pikiran.

•••

”Ke mana kamu Mel?” gumam Ardan.

Ardan kini tengah berada di kantor polisi untuk melaporkan adik iparnya yang hilang. Foto Melisa pun sudah dibawanya untuk mempermudah polisi untuk mencari adik iparnya itu. Ardan memang tak mengatakannya pada Lina, bahwa ia akan ke kantor polisi. Karena Ardan pun curiga terhadap istrinya, kalau Melisa hilang disengaja olehnya.

Ardan segera duduk di kursi besi yang berhadapan dengan petugas kepolisian. Beberapa keterangan sudah Ardan berikan pada polisi, tak lupa foto Melisa ia berikan.

”Kapan terakhir kali ananda Melisa terlihat, Pak Ardan?” tanya polisi bernama Fathur itu. Jarinya mengetik apa yang diucapkan Ardan.

”Seminggu lalu, Pak Polisi. Bahkan bajunya di lemari pun nggak ada yang dibawa satu pun. Makanya saya berpikir, kalau adik ipar saya ini hilang diculik atau nyasar.”

Pak Fathur nampak diam, jarinya kembali mengetik. ”Bagaimana penjelasan istri Pak Ardan?”

Lelaki itu nampak berpikir keras, ”Pak, istri saya juga bekerja. Kata istri saya, saat dia pulang ke rumah, Melisa sudah tidak ada di rumah.”

”Baik, Pak. Semoga secepatnya ananda Melisa segera ditemukan. Akan kami laporkan semua perkembangan kasus ini ke Pak Ardan dan istri,” ucap polisi itu.

Ardan tersenyum seraya mengulurkan tangan. ”Terima kasih, Pak. Semoga kabar baik segera saya terima.”

Ardan berdiri, keningnya berkerut. ”Pak, apa saya boleh minta sesuatu? Saya ingin istri saya tidak mengetahui kasus ini, bukan tanpa alasan, Pak. Mereka berdua memiliki hubungan tidak begitu bagus. Jadi ....”

”Ya, Pak. Saya mengerti.”

Kemudian Ardan benar-benar pergi dari kantor polisi. Ia melambungkan harap, agar Melisa cepat ketemu.

**

Sedangkan Alina di tengah hari yang terik ini memilih keluar rumah untuk ke cafe. Cafe ini adalah miliknya, usaha satu-satunya yang dimiliki almarhum ayahnya. Ia masih ingat saat ayahnya menyerahkan cafe ini padanya, Sintia -- ibu tirinya itu mendorong ayah Alina yang sudah sakit-sakitan.

Pertengkaran seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Alina saat di rumah masa kecilnya dulu. Karena ia diberi cafe, Melisa diberi rumah yang kini justru kosong.

”Gue pusing banget,” keluhnya. Ia duduk di kursi pelanggan dengan Rika -- sahabatnya.

”Pusing kenapa, sih,” tanya Rika.

Alina menghela napas, kemudian mengambil ponselnya untuk memberikan sesuatu yang harus didengarkan oleh sahabatnya itu. Ia berharap Rika pun berpikiran sama, jika pesan suara beruntun yang semalam ia dapatkan, hanya pesan dari orang iseng.

Rika menatap datar Alina. ”Apaan, sih? Ini nomer WA siapa, kok cuma ada 5 nomer?”

”Ih, elu play dulu itu pesan suaranya. Menurut lu itu orang iseng apa emang adek gue,” sungut Alina.

”Lah, emang adek lo ke mana?”

Alina membola, ia merasa keceplosan. ”Nggak, pokoknya dengerin--”

”Apanya, sih, yang didenger? Diputar pun nggak bisa. Nih, lo liat.” Alina duduk di samping Rika dan melihat layar ponselnya. Benar, pesan suara itu tidak bisa didengarkan meski sudah beberapa kali di pencet untuk memutarnya. File rusak, hanya itu yang dijelaskan oleh ponselnya.

”Tapi, Rik. Tadi pagi masih bisa.” Wajah Alina pias.

Rika memutar bola mata, ”Halu. Makanya jangan kebanyakan minum. Udahlah, gue ada kesibukan. Gue tinggal, ya!”

Tanpa menunggu jawaban Alina, Rika melenggang begitu saja menjauhi cafe. Alina mengambil ponselnya, kembali berusaha memutar pesan suara misterius itu. Ia berteriak karena lagi-lagi hanya ada tulisan "file rusak".

”Fais, tolong handle cafe dulu. Saya nggak enak badan,” ucapnya seraya pamit dari cafe.

Alina menaiki roda empatnya menuju rumah. Ia sengaja menyetir perlahan karena pikirannya tengah was-was, takut terjadi yang tidak-tidak di jalan.

Citttt!

Ban mobilnya berdecit nyaring karena menginjak rem mendadak. Alina terkejut melihat seorang gadis remaja tengah berdiri di pohon kersen yang ada di samping rumahnya. Postur tubuhnya membuat Alina mengeluarkan keringat dingin.

”Apa itu Melisa? Nggak mungkin. Dia kan di rumah Dipta.”

Alina turun dari mobil untuk membuka gerbang yang tak begitu tinggi sambil melongok ke arah pohon kersen. Alina menghela napas lega, karena gadis berpostur tubuh seperti Melisa tidak ada di sana.

”Mungkin gue salah lihat. Bener, kata Rika, gue kebanyakan minum,” tegasnya dalam hati.

Alina kembali masuk dengan mobilnya karena gerbang sudah dibuka. Ia segera mengeluarkan kunci rumah, kemudian membukanya.

”Teteh ... tolong aku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEH ... AKU DI SINI   46. Pengorbanan dan Berkorban

    Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu

  • TEH ... AKU DI SINI   45. Sahutan Pistol

    Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la

  • TEH ... AKU DI SINI   44. Semakin Tidak Mengerti

    Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan

  • TEH ... AKU DI SINI   43. Menjadi Tawanan

    Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare

  • TEH ... AKU DI SINI   42. Pembawa Obor

    ***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi

  • TEH ... AKU DI SINI   41. Bermuka dua

    Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status