Akhirnya untuk pertama kalinya Alana bisa memasak. Ya betul, karya perdananya adalah tempe yang satu sisinya gosong, sementara satu sisinya lagi masih setengah matang. Belum pernah ada cheff tersohor mana pun yang bisa menyamai kehebatan Alana dalam hal memasak tempe.
“Oh, tempe ini?” balas Zeline. Mengangkat tempe separuh gosong itu dari atas piringnya. Melihat piring kedua temannya yang tak ada tempe seperti miliknya. Hanya ada tiga potong, dua sisanya masih di piring. Diam tak ada yang mau memungutnya, hanya Zeline yang masih sudi mengambil tempe itu.
Siapa yang mengira Zeline justru tiba-tiba menggigit tempe itu di depan Layla dan Alana. Mengunyahnya, meringis, setengah terpejam menahan pahit di bagian gosong. Matanya yang sudah sipit makin menyipit lagi menegaskan kantung mata Zeline yang melebar.
Setelah beberapa kunyahan, kemudian tenggorokannya bergerak naik turun. Seline benar-benar menelan tempe
Hari sudah beranjak jadi sore saat Zeline hanya bisa duduk terdiam menghentikan motornya di pinggir jalan. Duduk di atas trotoar berdebu membingkai jalan yang terbentang sepanjang tepian Sungai Gandong. Satu-satunya sungai besar yang membelah Kota Gani.Sebatang rokok baru saja menyala ujungnya di apitan tangan Zeline. Tangannya sibuk memasukkan kembali korek ke dalam saku saat angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Rambutnya terbang, melambai mengikuti ke mana angin berembus. Turut serta membawa kepulan asap tipis yang keluar dari bibir dan lubang hidungnya oleh-oleh bakaran tembakau dari dalam paru-paruAliran sungai di bawah sana cukup bisa menggambarkan perasaan Zeline sekarang. Tanaman-tanaman selada air berkerumun membentuk pulau-pulau kecil di tepian sungai. Berebut tempat dengan lumut dan batang-batang enceng gondok yang selalu rutin dibersihkan dinas lingkungan hidup minimal sebualan sekali. Riak yang muncul karena angin, aliran air yang tampak tenang, air ke
Isapan terakhir, lebih panjang dari yang terakhir. Hingga bara api yang membakar lintingan tembakau itu terasa menyengat permukaan kulit jari telunjuknya. Zeline melempar puntung sisa rokoknya jauh, terbang hinggap di bahu aliran sungai. Terbawa air, hanyut entah sampai mana. Terbawa sampai laut atau hanya berhenti di dadaunan selada air dan enceng gondok Zeline sudah tidak peduli lagi.Ia harus meneruskan perjalanannya. Walau mulutnya terasa kecut, meski tenggorokannya kering dan Zeline tak punya air mineral. Ia menutup kembali helm kacanya setelah membetulkan kembali masker yang menutupi bagian bawah dagu hingga pangkal hidung. Zeline tak mau ada orang yang ia kenal tak sengaja bertemu atau melihatnya sampai di tempat yang ia tuju.Hari kedua, perjalanan menuju apartemen milik Om Firman. Zeline mau tidak mau harus berkelit lagi soal ini. Pura-pura pada Alana dan Layla kalau saudaranya menikah di dekat rumahnya. Pura-pura harus pulang ke ru
Ciuman-ciuman yang dilayangkan Zeline mendadak terjeda. Zeline tak bisa menyembunyikan raut kagetnya sat Om Firman menerangkan ciri-ciri perempuan baru yang menarik dipandang baginya. Terus bercerita soal betapa wajah perempuan itu terlihat begitu polos. Cantik seperti berlian yang hanya butuh sentuhan tangan pengrajin agar mengkilap.Cerita Om Firman terus berlanjut sampai-sampai tak menghiraukan Zeline di pangkuannya yang tertegun tak percaya. Bukan. Zeline bukan cemburu karena ternyata Om Firman tertarik pada perempuan lain. Bukan juga karena taku kehilangan sumur mata pencahariannya.Zeline termangu karena alasan yang jelas. Siapa juga yang tak kenal dengan perangai Om Friman si hidung belang? Hampir semua dosen di kampus tahu gelagat pria ini di balik layar. Laki-laki yang masih tidak juga puas meski sudah punya dua istri. Tetap jajan perempuan sembarangan di luar.Zeline cuma satu dari entah berapa perempuan lainnya yang pernah diajak tidur Om Firman. Ada
Tubuh gemuknya, rambut yang tumbuh di dada. Wajah menua yang sudah muncul keriput di beberapa bagian itu tampak lebih lelah dari biasanya. Meski harum aroma tubuhnya jauh lebih segar dari sebelum ia mandi.Zeline tak benar-benar tahu apa yang sedang laki-laki itu pikirkan. Haru pelukan dan ucapan terima kasih romantis tadi nyatanya tak bertahan lama. Belum ada satu menit berselang suasana yang terjadi di dalam kamar apartemen Om Firman mendadak berubah lagi.Bukan. Bukan Zeline yang kembali teringat akan betapa peliknya keadaan yang sedang ia hadapi. Melainkan Om Firman yang tertunduk lesu. Wajahnya terlihat sedang memikirkan banyak hal. Atau mungkin, satu hal yang tak bisa ia ubah sekeras apapun ia berusaha.“Sayang kenapa?” Pupil mata Zeline membundar sempurna.Tapi seperti kebanyakan pria saat ditanya kenapa, Om Firman hanya menggelengkan kepala. “Nggak papa kok, Zel.” Ditutup dengan senyum lebar yang terkesan dipaksakan.“Zeline ambilin minum ya.”Perempuan itu berdiri, melepas ta
“Itu terdengar menyeramkan sayang. Jangan yah, plissss ,....!!!” pinta Zeline. Sorot matanya mengiba memohon pada Om Firman dengan raut wajah memelas.“Oh ayolah sayang. Tidak, itu tidak menyeramkan kok. Kita hanya belum pernah melakukannya, itu kenapa terkesan menyeramkan,” jawab Om Firman. Tangannya bergerak melingkar ke pinggang ramping Zeline.Merayu gadis itu agar mau memenuhi fantasinya. Hanya pada Zeline ia bisa memohon. Dua istri yang ia nikahi mana mungkin memenuhi permintaan fantasinya. Tiga kali menikah, tiga kali pula Om Firman menemukan perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan yang maunya dinafkahi besar-besaran tanpa peduli apa yang Om Firman mau dan coba.Alasan kenapa petualangan ranjang laki-laki satu ini belum jua berakhir salah satunya adalah itu. Hanya dengan perempuan-perempuan seperti Zeline semua fantasi dan maunya terpenuhi.Zeline hanya bisa diam tak bergeming. Masih menatap Om Firman de
Zeline mulai mencari cara untuk membalikkan keadaannya. Tidak lucu kalau harus kalah sama orang yang jauh lebih tua di ronde pertama. Zeline harus segera menemukan cara sebelum energi dan tenaganya banyak terkuras seiring permainan Om Firman yang semakin beringas.Dimulai dengan mengalihkan tangannya. Tangan yang tadi menekan kepala Om Firman itu melonggar. Jemarinya menyisir rambut laki-laki yang sudah mulai beruban tipis itu. Menjambaknya lembut, seperti memijat, hingga kemudian menarik dari dadanya.Agar tidak protes, Zeline buru-buru menyergap bibir yang tadi bermain di dadanya itu dengan ciuman lagi. Bibir mereka bertaut lagi. Meski tangan Om Firman masih dengan gemas bermain di dua bukit kembarnya, tapi paling tidak Zeline tidak tersiksa oleh lidah Om Firman lagi.Di tengah ciuman panjang itu tangan Zeline turun. Gerakan pinggulnya berhenti. Digantikan tangannya saat ia tiba di sana. Mengocok pelan, naik turun mengikuti ciuman dan lenguhan di bibir mereka.
Keesokan harinya sepulang dari apartemen Om Firman, Zeline terpaksa harus memaksakan dirinya yang lelah ke kampus karena hari ini adalah hari terakhir pendaftaran ulang.“Loh kok cepet?” tukas Layla begitu meemukan motor Zeline sudah terparkir di rumah lagi setelah baru beberapa menit pamitan padanya pergi ke kampus.“Iya nih,” balas Zeline sambil melepas helm yang ia kenakan. Tampak rambut halus mengembang terawat miliknya jatuh terurai berantakan karena helm. Tergerai menutupi sebagian garis wajahnya. “Udah selesai cuman ngisi form aja, nggak sampai yang rumit diterangin segala macem kok.”Padahal Layla sudah pasti tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya. Zeline sendiri juga sudah pasti tak akan bercerita tentang apa yang terjadi tadi di kampus. Zeline tak mungkin bilang pada Layla kalau semua berkasnya sudah dibereskan Om Firman termasuk biaya kuliah.Saat ke kampus t
Alana dan Zeline berkejaran, memutari ruang tengah. Alana yang kini jadi geli karena Zeline mengaku bahwa dirinya lesbian. Dan Zeline yang tak puas-puas menggoda Alana. Terus mengejar perempuan itu, bahkan hingga keluar ruang tengah masuk dapur, tembus teras. Belum puas Alana, berlari lagi lebih jauh hingga ke jalan raya.Hingga suara teriakan geli perempuan itu terdengar semakin mengecil, semakin jauh. Meninggalkan Layla yang masih duduk tenang di kursinya, sampai akhirnya bosan sendiri.Ia berdiri, mengambil piring kotor milik Zeline dan Alana yang tergeletak di atas meja. Berjalan menuju sudut dapur dekat kamar mandi di mana ada wastafel yang sekaligus tempat cucian piring kotor. Hanya karena terbiasa di rumah, Layla langsung mencuci setumpuk piring itu. Tak mau pekerjaannya makin berat karena banyaknya piring kotor nanti.“Dasar dua orang itu. Main-main mulu kalau lagi berdua kayak gitu,” gumam Layla geleng-geleng kepala. Ia masih dihantui perasa