“Aku cuma mau dia hidup. Bagaiaman pun caranya akan kutempuh meski harus menjual diriku sendiri.” **** Perjalanan Layla dan Alana menempuh beasiswa di kota Gani mempertemukan mereka pada Zeline. Teman satu kampus sekaligus satu atap, tinggal bertiga dalam satu rumah. Zeline, sang perempuan misterius dengan rahasia besar yang ia simpan rapat-rapat. Hingga kemudian lambat laun, pelan-pelan rahasianya terbongkar dari keanehan dan keganjilan yang ia ciptakan sendiri. Apa yang membuat Zeline akhirnya mengaku tentang siapa sebenarnya dirinya? Bagaimana mungkin sandiwara itu akhirnya terbongkar hanya karena satu laki-laki? Serta bagaimana nasib Layla dan Alana setelah tahu selama ini mereka berdua tidur satu atap dengan seorang pelacur? Sialnya, salah satu dari mereka mengikuti jalan yang ditempuh Zeline.
Lihat lebih banyak“Aku setuju sih,” jawab Alana mengangguk. “Kita berangkat sekarang deh. Mumpung masih sore kan. Kalau pun harus bersih-bersih rumah kita masih ada waktu.”
Pertemuan Zeline dengan dua orang anak kampung bernama Layla dan Alana. Di pelataran masjid waktu sore hari. Pertemuan yang terlalu panjang untuk diceritakan. Tapi satu yang jelas, mereka sepakat untuk hidup bertiga bersama-sama.
Zeline menawari mereka berdua tempat tinggal. Alana da Layla yang baru saja tiba dari kampung kebetulan belum punya tujuan. Sialnya, sebentar lagi hari akan menjelang petang.
Mereka harus segera menemukan rumah kos atau terlantung-lantung di kota orang.
“Mantap,” sahut Zeline sambil mengacungkan jempol. “Lo sendiri La? Masih bingung?”
Layla menggeleng tegas sambil tersenyum. “Alana bener sih. Yok lah berangkat sekarang,” jawabnya sambil melucuti mukenanya. Melipatnya kembali dengan rapi memasukkannya ke dalam tas. Hal yang sama dilakukan juga dengan Alana.
Sementara Zeline masih mengacungkan dua jempolnya sambil meringis memamerkan dua gigi kelinci dan lesing pipinya. Betapa bahagianya perempuan itu kini mendapatkan dua sahabat baru.
Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline tak punya satu pun teman di hidupnya. Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline menyimpan satu rahasia besar tentang hidupnya.
“Eh kalian bawa barang banyak ya?” tanya Zeline lagi setelah dua perempuan itu selesai dengan mukenanya.
“Eng–enggak sih, Zel. Cuma ini, satu koper besar milikku sama dua ransel milik Layla. Kenapa emangnya?” tanya Alana balik.
“Em, gini deh biar kalian nggak kerepotan bawa tiga tas sekaligus. Koper Alana tinggal di atas motor gue aja. Nanti biar gue yang bawa pulang sekalian ambil motor. Kalian bawa dua tas punya Layla aja,” usul Zeline. “Tapi pastiin dulu kopernya nggak ada barang berharganya.”
Membuat dua sahabat itu kembali bertatapan, saling kebingungan, saling minta pendapat.
“Emang nggak hilang nanti Zel? Ya walaupun cuma baju kan itu juga berharga namanya,” protes Layla yang kemudian disusul anggukan Alana mendukung pertanyaannya.
“Udah percaya aja deh sama gue. Nggak bakal ilang, gue janji. Orang gue malahan ninggalin motor tuh,” jawab Zeline meyakinkan. Sambil menyusul mereka berdua berdiri. “Bawa dompet handphone sama barang penting aja udah yakin deh sama gue.”
Akhirnya, mau tidak mau mereka mematuhi Zeline.
Lagi pula kalau dipikir-pikir juga akan merepotkan kalau harus menarik koper besar Alana sambil berjalan melewati trotoar. Terlalu merepotkan juga kalau Layla harus membawa dua tasnya sekaligus. Alana dan Layla juga belum tahu bakal sejauh apa mereka jalan kaki.
Dan harus mereka akui, usul Zeline adalah keputusan terbaik meski berisiko tinggi juga.
Ketiganya kemudian memulai langkah pertama perjalanannya. Berjalan menembus pelataran masjid yang tak terlalu luas. Hanya cukup untuk dua baris motor. Pelataran yang sekaligus jadi kawasan parkir.
Kawasan parkir yang sekaligus wahana bermain anak kecil warga sekitar sini.
Terlihat seperti three angels di dalam box office movie hollywood yang terkenal itu. Tinggi yang badan tidak terlalu beda. Tubuh semampai dan yang penting ketiganya sama-sama cantik.
Dua wajah oriental di Alana dan Layla. Sementara Zeline berwajah perpaduan Indo dan Chinesse . Perbedaan yang mencolok dari ketiganya terlihat di apa yang mereka kenakan.
Layla tak mungkin bisa mengimbangi apa yang Alana kenakan, apalagi yang Zeline pakai. Kemeja lama yang Layla pakai itu saja sudah yang terbaik yang ia punya. Tidak ada yang lebih baik dari itu. Dipakai hanya di hari raya.
Tapi perawakan Layla lebih bongsor di antara mereka bertiga. Tubuhnya lebih berisi. Lebih padat tidak langsing seperti Alana dan Zeline. Beroto dan berisi karena setiap hari mengayuh sepeda tua peninggalan kakeknya. Entah itu pergi sekolah maupun ke sawah. Keluarga Layla hanya punya satu sepeda unta tua.
Jelas berbeda dengan Alana yang notabene putri semata wayang perangkat desa. Hidup dimanja, bergelimang harta, dan sangat dimanjakan oleh bapaknya. Jangan kan pergi ke sawah, menyapu lantai rumah saja gadis itu tak pernah. Bapaknya punya satu pembantu dan satu tukang kebun di rumah.
Belum lagi Zeline, anak kota itu mana pernah melihat sawah di kota ini. Hanya dengan sekilas melihatnya saja semua orang juga tahu kalau gadis itu punya hidup yang glamor. Bahkan sampai satu jerawat pun tak ada menempel di wajahnya.
Dari tiga perempuan itu sudah jelas Zeline yang paling cantik. Alana paling manis. Tapi Layla punya tubuh yang jauh lebih seksi dibandingkan mereka berdua.
Buktinya mata laki-laki keranjang yang kebetulan melihat mereka bertiga berjalan langsung menyorot ke arah Layla. Menatap perempuan bertubuh menggoda itu sampai tamat.
“Tuh rumah di sebelah, yang pagarnya warna hitam,” tunjuk Zeline setelah dekat dengan tujuan.
Alana buru-buru melirik jam tangannya. Tidak sampai sepuluh menit, hanya sembilan setengah menit lebih sedikit. Bahkan jaraknya dari masjid lebih dekat daripada dari masjid ke kampus. Jika tak ada yang ganjil. Rumah ini adalah pilihan terbaik yang mereka punya. Rumah paling cocok untuk mereka bertiga tempati.
Pagar rumah yang tadinya tidak terlalu tampak kini berdiri menjulang di depan Alana, Layla dan Zeline.
“Bude?” panggil Zeline. Membuka pintu gerbang, berlari ke arah seorang wanita yang tengah menyapu teras rumah itu.
Sementara perempuan yang dipanggil itu melompat kaget. Mengerutkan kening, menyipitkan mata. Tak menyangka akan ketangan seseorang yang dilihat dengan dua mata kepalanya.
Alana yang seakan ingin ikut berlari mengejar Zeline tiba-tiba tertahan. Tangan Layla dengan lembut menarik lengannya. Memutar bola mata, membuat Alana mengurungkan niatnya untuk menyusul Zeline.
“Eh Al, Ak–aku punya firasat nggak baik deh,” bisik Layla di daun telinga Alana yang ada di sebelahnya.
Kalimat yang seketika membuat Alana mengerutkan kening. Heran, tak mengerti apa yang dimaksud temannya dari kampung ini.
“Soal apa?” bisik Alana balik. Tak berani berbicara lebih keras. Tak ingin dua perempuan yang tengah berpelukan di depan sana itu mendengar apa yang mereka berdua bicarakan. “Soal Zeline? Soal budenya? Atau–atau rumah ini?”
Mata Alana tak bisa untuk lepas dari mengamati semua penjuru rumah di depannya ini. Rumah yang tertutup gerbang tinggi. Halaman rumah yang masih beralas paving, tempat mobil sedan keluaran lama terparkir. Persis dipayungi pohon mangga besar yang baru berbunga.
Sementara teras rumah yang tak terlalu luas diisi satu meja dengan empat kursi yang ditata melingkar.
“Iya semuanya, Al. Nggak Zeline, nggak budenya, nggak rumah ini,” jawab Layla. “Sumpah? Masa’ kamu nggak ngerasa aneh sama sekali?”
“Iya aneh sih,” balas Alana. Mengusap dua lengan dengan dua telapak tangannya. “Hehehe ... rada angker ya rumahnya, serem.”
“Alana ...!! Ih bukan itu,” pekik Layla sebal, menekuk wajah. “Soal rumah, rumah ini sih jauh lebih bagus daripada rumahku sendiri. Tapi aku pengen kamu buka mata deh. Ada yang aneh loh sama Zeline.”
Begitu kata terakhir itu keluar dari mulut Layla perempuan yang tengah berbincang dengan budenya itu menoleh. Menatap mereka sebentar sebelum membuang muka ke tempat semula lagi.
“Ssstttt ...!!! Jangan kenceng-kenceng ntar dia denger. Udah mau magrib tau! Kita nggak bisa cari rumah lain kecuali besok pagi,” sergah Alana sambil mengatupkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Sementara Layla hanya bisa menelan ludah. Membayangkan berbagai hal buruk yang akan menimpa mereka berdua. Meski hanya semalam, bagaimana kalau kesialan itu menimpa mereka?
Sementara itu di depan sana, Zeline sedang kerja keras membujuk perempuan di depannya.
##
“Siapa mereka?” tanya Bude Mey. Matanya menyorot tajam ke mata Zeline. Melipat sepasang tangannya di dada sambil menahan rasa kesal di dalam hatinya.
“Me–mereka?” balas Zeline, sambil memutar pandangannya ke arah dua orang yang tengah berdiri menunggunya di depan pagar.
“Mereka emm ... cuma calon temen kampus Zeline, Bude. Mereka baru datang dari kampung hari ini. Zeline ketemu mereka di masjid tadi,” terang Zeline sebisanya dengan suara yang gemetaran takut.
Bude Mey ini satu-satunya orang yang paling ia takuti. Satu-satunya orang yang tahu rahasia besar di dalam hidup Zeline. Sekaligus satu-satunya orang juga yang mau menolong perempuan itu setelah semua keluarga mencampakkannya termasuk bunda dan ayahnya sendiri.
“Lo jangan macem-macem ya sama Bude. Jangan coba-coba bohong sama Bude. Gua bisa hancurin lo orang dan semua simpanan lo. Ngerti?,” balas perempuan itu sambil mendengus kesal. Menjeda kalimatnya, mencecar Zeline yang tertunduk lesu.
“Sekarang lo jujur sama Bude, siapa mereka? Mau lo apain mereka berdua? Ohhh ... atau jangan-jangan gara-gara ini lo mau banget pinjam rumah Bude? Iya? Ini sebabnya?” lanjut perempuan itu.
Sementara yang bisa dilakukan Zeline hanya bisa menggeleng. “Ak–aku udah bilang Bude. Zeline udah jujur.”
Hanya dua kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Itu pun dengan nada bicara yang terbata-bata. Menahan air mata yang pelan tapi pasti mulai merembes dari bola matanya.
“Dengerin! Lo itu kurang enak apa sih? Apa yang belum Bude kasih buat Lo? Lo minta Bude kasih pinjam rumah, silakan. Lo minta Bude kasih pinjam motor, silakan. Lo minta Bude kasih maaf buat kelakuan lo yang kayak binatang itu juga Bude kasih.” Kalimat perempuan itu terpotong.
“Sekarang lo bawa temen kemari. Emang gue nggak bisa mikir bakal lo apain dua perempuan itu, hah? Lo pikir Budemu ini bego? Jawab!” Perempuan yang jauh lebih tua dari Zeline ini kini berkacak pinggang. Mencecar perempuan di depannya dengan berbagai pertanyaan.
Tapi tiba-tiba Zeline berubah. Dari kepalanya yang tertunduk, Bude Mey bisa melihat wajahnya yang memerah. Napasnya memburu, dan sebentar lagi Zeline mungkin akan menyerang balik.
“Tolong terima mereka,” jawab Zeline datar. Suaranya dingin mengintimidasi perempuan di depannya. Seperti tiba-tiba membalikkan posisinya. Balik menyudutkan Bude Mey yang sedari tadi mencecarnya.
“Tolong terima mereka. Berapa pun bakal gue bayar asal gue punya teman. Denger? Lo boleh tua tapi gue bukan orang yang mau diatur. Ngerti?!”
Zeline yang sudah tidak tahan akhirnya benar-benar mengangkat wajahnya. Menatap perempuan gendut di depannya dengan tatapan tajam. Tatapan singa yang baru lepas dari panggung sirkus. Tatapan buaya yang kelaparan. Tatapan yang membuat perempuan di depannya hanya bisa menelan ludah.
“Zeline, kau ini sebenarnya binatang apa manusia?”
Bersambung ....
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen