Kalau saja benda mati bisa bicara, mungkin bantal dengan sarung warna abu itu sudah protes keras akibat jadi sasaran empuk ketidakjelasan Alana. Belum lagi selimut tebal dengan warna senada yang sudah teronggok di lantai akibat dia tendang tak karuan.
Sekembalinya dari kamar Arkasa kemarin, dia dengan riang mandi bahkan bersiul dan tidur super lelap. Tapi kenapa pagi ini tiba-tiba jadi begini? Mengingat momen semalam dan membuatnya berguling serta memukul- mukul bantal tak bersalah miliknya.
Kaki jenjang Alana akhirnya perlahan menyentuh dinginnya lantai kamar kala wanita itu berhasil membawa dirinya untuk bangkit dari ranjang. Berhenti tepat di depan cermin dan menilik wajahnya yang bersemu akibat bayangan kotor yang langsung melintas saat dia baru bangun tadi.
Komat kamit di depan cermin seolah berusaha memberi afirmasi positif untuk mengawali hari. Semuanya baik-baik saja! Berusaha mengingatka
Suara lenguhan menjijikan yang terdengar bersahutan membuat wanita berambut pendek yang baru saja berhasil masuk kedalam flat memutar bola matanya malas. Ia masih sempat mengisi gelas dengan sedikit air sebelum sepatu hak tingginya melangkah makin dekat menuju ruangan sumber suara.Adara membuka pintu dan mengacaukan fokus dua insan diatas ranjang yang hampir sama-sama mencapai puncaknya mungkin. Raut kesal tak dapat sang laki- laki sembunyikan saat Adara menghampirinya dengan wajah datar dan kelewat santai. Ditambah lagi wanita itu dengan ringan menyiram keduanya dengan air yang dibawanya tadi."Apa- apaan kamu, Dar?" teriak marah laki- laki yang kini beringsut menjauh dari tubuh wanita berambut pirang.Adara menyilangkan dua tangannya di dada, "kita bisa bicara setelah kamu usir jalang nomor sekianmu ini dari sini," balasnya sembari kini meneliti wanita yang mencuri pandang kearahnya dengan tatapan takut- takut.Laki-laki i
Arkasa menyugar rambutnya kebelakang dengan gerakan perlahan. Mata tajamnya masih meneliti satu per satu halaman kertas yang tertumpuk di meja kerjanya. Jemarinya sesekali mencoret tanpa ampun dan memberikan catatan kecil untuk perbaikan. Ujung jarinya menyentuh frame kaca mata kerja yang tengah ia kenakan setelah beberapa halaman isa periksa. Layar ponselnya menyala, menampakkan satu pesan masuk dari istri kesayangannya yang akhirnya membalas pesannya setelah sekian lama. Arkasa tersenyum kecil saat melihat jawaban jutek yang wanita itu balaskan padanya. Dia tak peduli, yang jelas Alana sudah membalas pesannya. Setelah mengetikkan beberapa kata balasan, Arkasa meletakkan kembali ponselnya agar bisa fokus pada pekerjaan lagi. Sejujurnya, seberapa besarpun dia berusaha fokus pada pekerjaan, bayang- bayang Alana terus mengusiknya. Entah sejak kapan senyum dan semua ekspresi yang gadis itu keluarkan seolah menjadi tontonan paling menarik buat Arkasa.
Panggilan dari mama mertua kadang bak sirine yang membuat Alana panik hingga harus meninggalkan sebagian pekerjaannya hari ini. Bukan masalah besar sebenarnya, terutama karena dirinya adalah tipe yang mengerjakan sesuatu sejak jauh- jauh hari sehingga untungnya tak ada schedule mendesak hari ini. Hanya saja, pemandangan yang didapatinya ketika sampai di kediaman megah utama keluarga Pradipta sedikit membuatnya jengkel.Alana mengaduk jusnya perlahan, mencuri pandang setengah kesal bercampur bingung kearah gadis muda yang nampak ceria bergelendot manja di lengan kekar suaminya. Tak ada satupun yang terlihat hendak menjelaskan situasi ini padanya sejak ia menginjakkan kaki lima belas menit lalu. Bahkan suaminya hanya melempar senyum tipis padanya tanpa mengutarakan sepatah katapun.Meskipun rumah besar ini punya sistem pendingin yang pastinya berfungsi normal, Alana yang sudah terlanjur kegerahan akhirnya lebih memilih menyusul mama mertuanya di dapur. Dengan da
Munafik kalau Alana bilang dia tidak kesal saat Mikayla terang- terangan menyeret Arkasa untuk menunjukkan isi kamarnya. Meskipun lelaki itu memang sudah tak tinggal disini lagi, tapi bukankah permintaan itu sedikit kelewatan? Terutama karena disini sudah ada Alana yang notabene istri Arkasa.Ditambah lagi, selama berada di meja makan Alana dapat dengan sangat jelas menyadari bahwa gadis muda itu tengah berusaha menunjukkan kedekatannya dengan keluarga Pradipta dihadapannya. Mulai dari membawa topik- topik usang, memori- memori masa kecil mereka, dan tentunya menjurus pada pernikahan konyol masa kecil antara dia dan Arkasa dulu. Sesekali dia juga mendapati lirikan manis namun sinis berasal dari netra Mikayla yang jelas tertuju kearahnya.Sebagai wanita dewasa yang tak mau mempertaruhkan image sempurnanya terutama dihadapan keluarga suami, Alana hanya bisa diam dan berusaha tak menanggapi secara serius. Meskipun saat ini ia belum tahu sejauh mana ia menyukai Arkas
Menghempaskan kasar tubuhnya diatas ranjang, tas mahal miliknya dibiarkan teronggok di lantai begitu saja. Alana memejamkan matanya kala denyut kepeningan itu kembali mendera. Ia memijit pelipisnya perlahan, berusaha memudarkan kepenatan yang terus merongrong memenuhi pikiran. Meski benci mengakui, Alana memang sempat cemburu pada gadis yang tujuh tahun lebih muda darinya itu karena dengan cepat mengumpulkan seluruh perhatian keluarga kepadanya. Mendengar cerita bahwa gadis itu katanya adalah teman masa kecil Arkasa sebenarnya bukan masalah besar bagi Alana. Namun kedekatan keduanya dan bagaimana Mikayla nampak enggan berbaur dengannya membuat Alana kepikiran. Benarkah jangan- jangan Mikayla ini kekasih simpanan Arkasa? Mereka tak bisa menikah karena telah dianggap bak saudara? Ditambah lagi pesan misterius dari Adara yang seolah mengingatkannya untuk berhati- hati pada gadis yang lebih akrab disapa Kayla itu. Sejujurnya, Alana justru penasaran, hal semacam apa sih ya
Penghianat ! Alana merutuk kesal pada tubuhnya yang kini justru merasa kelewat nyaman berada dalam dekapan posesif seorang Arkasa Dean Pradipta. Tubuh kecilnya meringkuk bak bayi berada dalam kukungan besar suaminya yang masih memeluknya dari belakang. Bertahan dengan posisi ini semalaman. Anehnya, Alana bahkan tak bisa protes ataupun melanjutkan perdebatan mereka karena begitu Arkasa menyambutnya dengan tangan terbuka semalam, seperti sihir ia justru langsung terlelap diatas ranjang king size kamar utama. Dia bahkan melupakan tujuannya ke kamar utama adalah untuk mendengarkan penjelasan suaminya. Justru berakhir tertidur nyenyak tanpa mendengar sepatah penjelasan pun. Satu-satunya yang dia ingat adalah perkataan Arkasa untuk menegaskan bahwa Kayla bukanlah wanita yang dia maksud. Sejujurnya itu sama sekali tak melegakan dahaga wanita dua puluh delapan tahun yang terlanjur penasaran itu. Jika bukan Kayla, berarti ada berapa banyak lagi wanita sekitaran Arkas
Berusaha mengusir segala gundah yang sempat memenuhi dirinya, Alana yang baru menjejakkan kakinya di lobby memasang senyum seperti biasa. Tas bahu tersampir cantik dan ponsel berada di genggamannya. Baru saja berusaha mengatur diri, nampaknya Alana harus kembali menyiapkan mental dan hati karena penampakan yang kini berada tepat beberapa langkah dihadapannya.Beberapa manusia dengan pakaian formal bercengkrama santai di ruang tunggu. Satu dari lima manusia itu menarik perhatiannya. Bagaimana tidak ? Kemunculannya seolah tanpa beban dan sejauh yang Alana perhatikan, lelaki itu nampak sumringah sekali.Lelaki itu membalik badannya, netranya nampak berpendar ketika menatap Alana yang berdiri tak jauh dari lokasinya. Kaki panjangnya melangkah mendekat kearah Alana yang masih diam di tengah- tengah. Satu tarikan di sudut bibirnya jelas menggambarkan bagaimana lelaki itu seolah mengejek Alana."Morning, Alana," sapaan yang sudah Alana dengar untuk kesekian
"Kamu lihat, kan? Sekarang aku sudah tidak perlu lagi kucing- kucingan untuk masuk kantor ini."Seringaian menyebalkan terpampang jelas di sudut bibir lelaki berpenampilan klimis yang kini duduk sembari menaikkan kaki diatas kaki satunya. Pandangannya tadi mengikuti beberapa kolega yang baru keluar ruangan rapat, sekarang terfokus sepenuhnya pada Alana Diandra Yasmin.Tersisa tiga orang manusia dalam ruangan, yakni Alana, Saddam dan juga Rosaline. Sekretaris Alana itu nampak tak bisa lagi mengontrol raut wajahnya, dengan jelas menampakkan ketidaksukaan terhadap kehadiran Saddam disini. "Kucing garong memang kadang bermuka tebal," desisan sinis Rosaline terdengar.Tak luput dari perhatian Saddam, dengan nada mengejek ia kini balas menunjuk Rosaline yang alisnya jelas mengerut menatapnya."Lihat! Sekretarismu itu bisa saja menghabisiku dengan pandangan kurang ajarnya. Aku rasa bukan begitu cara menghargai rekan kerja, benar begitu Bu Alana?" Pandangan Saddam kembali jatuh pada raut