Ravin mengesah lelah. Sepertinya suasana mulai menegang. Ia hanya bisa menarik napas dalam. Mencoba tenang.
“Belva, akan aku jelaskan semuanya. Tapi tolong jangan buat keributan!” Ravin segera bergegas menuju kamar istri mudanya.
Alana tersenyum. Kemudian matanya menilik ke arah Belva yang begitu sinis padanya. Namun, Alana tetap tersenyum, kemudian berbalik badan kembali ke kamarnya.
“Tunggu!” panggil Belva, membuat langkah Alana terhenti.
Belva memperhatikan lekat-lekat wanita dihadapannya. Dari ujung kaki hingga kepala. Alana memang bukan dari kalangan keluarga ningrat atau keturunan bangsawan. Tetapi dari segi paras, Alana memang terbilang sangat cantik dan menawan. Rambutnya hitam dan ikal, ada lesung pipi ketika ia tersenyum, bulu mata yang lentik, matanya bulat dan cerah. Persis seperti dewi yunani.
Pantas Ravin tergila-gila.
Belva pun sebetulnya tak kalah cantik dengan Alana. Memiliki paras khas asli Indonesia yang manis dan mempesona. Ia pun wanita yang cerdas dan multitalenta.
“Aku sepertinya tidak asing sama kamu?” kata Belva. Mengingat-ingat.
“Ahh, kalau tidak salah, kamu pernah ikut audisi modeling bride di event Jakarta dua tahun lalu, ‘kan?” Belva mulai teringat. Ia pun mengikuti audisi. Namun di acara itu, Belva bukan sebagai talent model, melainkan sebagai salah satu sponsor terbesar serta perancang busana pengantin termewah saat acara tersebut.
Kebetulan juga saat acara itu, Alana menjadi salah satu model pengantin dan meraih juara favorit pertama. Tentu saja nama dan wajahnya pasti lebih dikenal banyak orang setelah ajang tersebut.
“I-iya betul. Kok, kamu tau acara itu?” tanya Alana terheran.
Sementara Belva melangkah dan tatapannya begitu sulit untuk diartikan.
“Kebetulan gaun yang kamu menangkan saat audisi adalah rancanganku.” Belva tersenyum bangga.
Alana melebarkan mata tak percaya. Ia tertegun.
“Oh ya, woah! aku aja sampe gak tau siapa perancangnya, lebih tepatnya mungkin aku lupa! ternyata kamu toh. Hebatnya ...” Alana memuji. Kemudian matanya menilik ke arah ruang tengah yang dindingnya terpampang sebuah pigura foto pernikahannya dengan Ravin.
Belva pun melihat pigura itu. Sesaat ia sempat termangu, kemudian ada senyuman terukir diwajah. Ternyata salah satu gaun rancangannya pun dipilih oleh Alana saat pernikahannya dengan Ravin.
“Gaun itu juga aku pesan di bridal boutique yang sama dengan gaun saat aku memenangkan audisi.” Alana tersenyum hangat. “Ternyata pemiliknya adalah kamu.”
“Nggak nyangka kita ketemu di sini!” ujar Belva dengan ekspresi datar.
“Iya, aku juga gak nyangka. Apalagi ... perancang busana pengantin termewah itu sekarang menjadi maduku.” Alana tersenyum manis. Kata-katanya terkesan menyindir, tetapi baginya itu hanyalah ungkapan yang sangat lugas. Tidak berniat menyinggung.
Namun, Belva yang merasa tersinggung langsung melengos dan berkata, “Aku juga ga nyangka. Finalis bride model di acara bergengsi malah jadi istri simpanan!”
“Padahal, lelaki kaya dan tampan banyak yang ngantri buat dapatin kamu, ‘kan?” sambung Belva. Tatapannya begitu sinis.
Alana termangu. Ia tersadar bahwa ucapannya telah menyinggung.
“Maaf. Aku permisi. Selamat beristirahat.” Alana langsung beranjak meninggalkan Belva yang tampak kesal. Tidak mau berdebat lebih jauh. Dan itu yang dipesan oleh Ravin padanya.
Belva menatap terus sampai Alana hilang di balik pintu kamar utama. Rasanya jika mengikuti amarah, ia ingin sekali mengacak-acak seisi rumah itu. Bukan hanya kecewa setelah mengetahui ia menjadi madu, tetapi kecewa juga dengan takdir hidupnya.
“Nyonya? kamarnya di atas.” Bi Yola menepuk pelan bahu Belva. Membuat wanita itu mengerjap dan menghela napas.
“Oh, iya, Bi.”
Bi Yola langsung mengarahkan Belva untuk menaiki lantai dua dan menunjukkan sebuah kamar. Belva memasuki kamar yang terbilang cukup luas dengan kasur berukuran sedang. Suasananya cukup nyaman dengan pemandangan yang langsung menyuguhkan bibir pantai.
Belva membuka jendela kaca, menikmati hembusan angin. Sementara Bi Yola sudah beranjak dan kembali pada pekerjaannya.
Sejenak Belva merenungi perjalanan hidupnya yang sangat menyedihkan. Terlahir dari keluarga terpandang, memiliki segalanya, tetapi soal percintaan ia selalu saja gagal.
Tak lama kemudian Ravin pun memasuki kamar itu. Dengan cepat, ia pun langsung menutup dan mengunci pintu kamar.
Awalnya Belva mengira ia sengaja dikurung didalam kamar. Namun, saat berbalik badan rupanya sang suami masih ada di tempat yang sama.
“Di rumah ini, aku yang memiliki wewenang. Bukan karena aku laki-laki, tapi aku juga seorang suami. Yang perkataannya harus kamu turuti!” Ravin berujar tegas.
Sejenak Belva terdiam. Ia ingat, bahwa pertanyaannya belum juga mendapatkan jawaban.
“Suami pembohong!” umpat Belva. Ekspresinya pun sangat masam.
Ravin menelan ludah. Mungkin ini saatnya untuk ia jujur.
“Belva, beri aku kesempatan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ... jangan katakan hal ini pada keluarga kita.” Ravin mendekat dengan sorot wajah penuh permohonan. Membuat Belva semakin tak mengerti.
“Katakan, ada apa sebenarnya?” Belva melipat tangan di dada. Tidak ingin berbasa-basi.
Ravin berdiri di sebelah Belva yang sedang menatap pemandangan pantai. Sorot wajah wanita itu terlihat memendam amarah. Ravin sempat ragu untuk berucap, membuat waktu banyak terbuang.
“Kenapa diam? aku masih sabar menunggu penjelasanmu. Karena kalau tidak, kamu masih ingat bukan seperti apa jika aku sudah murka?” tandas Belva.
Ravin menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba mengumpulkan keberanian. Dalam benaknya pun sudah menyusun rangkaian kata untuk di sampaikan.
“Aku dan Alana sudah menikah tiga bulan lalu. Aku ... dan dia saling mencintai. Kami terpaksa menikah diam-diam karna tidak ada restu dari orang tuaku. Alana hidup sendiri. Dia hanya punya aku. Aku pun tidak mungkin membiarkan dia hidup sendirian,” jelas Ravin.
Belva melipat bibir yang bergetar. Ia memang membutuhkan penjelasan, walaupun mendengar setiap untaian kata dari Ravin, sungguh seperti sebuah sayatan dalam hatinya. Sangat menyakitkan.
“Lalu kenapa kamu masih tetap ingin menikahiku? kenapa saat kejadian itu kamu tidak langsung berkata jujur di hadapan semua keluarga?” tanya Belva.
“Tidak mungkin. Ayahku sakit, Oma Tarra juga sedang sakit parah, apa jadinya jika mereka tahu hal ini, Belva?” balas Ravin. Sejenak ia terdiam, jakunnya naik turun dengan berat.
“Ayahku dan mendiang ayahmu sudah lama menginginkan kita bersama. Keluargamu banyak berjasa dalam menolong perusahaan keluargaku. Tidak mungkin aku menyakiti hati mereka. Maafkan aku.” Ravin menunduk dalam. Meski masih banyak yang ingin ia sampaikan. Namun, rasanya masih sangat menyesakkan.
Belva terdiam membuang pandangan. Matanya mulai berair. Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya. Keadaan memang sangat menghimpit Belva dan Ravin. Mereka terpaksa menikah dua hari lalu karena mengikuti permintaan dari keluarganya.
Belva saat itu hanya memiliki seorang nenek. Yaitu Oma Tarra. Ayahnya sudah meninggal dan menitipkan amanah pada Givari—ayah Ravin, untuk menjaga Belva dan menjalankan perjanjian untuk menikahi anak tunggal mereka. Sebagai pewaris perusahaan dan menyambung keturunan ningrat dan bangsawan.
“Tidakkah kamu menyadari, bahwa yang kamu lakukan ini telah menyakiti mereka?” Belva menatap kosong dan jauh. “Ada banyak hati yang kamu lukai, Ravin.”
“Aku tau. Jauh sebelum itu aku sudah tau hal ini akan terjadi. Tapi, tolong maafkan aku, dan jangan pernah katakan kebenaran ini pada keluarga kita. Aku mohon! sebagai gantinya aku akan berikan segalanya untukmu. Apa saja, akan aku kabulkan untukmu, Belva.”
Belva tersenyum getir. Seolah tidak tertarik dengan imbalan apa pun.
“Tanpa hartamu, aku masih bisa hidup bahagia, Ravin. Aku hanya sedang meratapi nasib sialku. Tidak disangka, aku ternyata hanyalah madu di rumah ini. Sementara jauh di sana, keluarga kita sedang merayakan bahwa kita sepasang suami istri yang bahagia. Dan, yang mereka ketahui adalah aku ini istri pertamamu!” Belva berbalik badan dan berjalan menuju cermin.
Ia menatap pantulan dirinya di dalam sana. Menatap kemalangan nasibnya saat ini. Dari pelupuk mata terbayang kembali kisah cintanya dengan seorang pria yang juga sempat menjadi bagian dari hidupnya.
“Andai dia masih hidup, mungkin aku gak akan pernah bertemu dengan kamu lagi, Ravin!” kata Belva dengan nada penuh penyesalan. Sementara Ravin menautkan kedua alis dan mendekat ke arah Belva.
“Ayahmu ... pasti sudah bahagia di sana. Jangan menangis!” Ravin meraih kedua sisi lengan Belva, berusaha menenangkan. Ia berpikir wanita itu bersedih karena merindukan ayahnya.
Akan tetapi, tampaknya bukan itu yang membuat Belva menangis.
“Air mata ini bukan untuk ayahku!” kata Belva. Ia mengangkat wajah menatap Ravin yang semakin termangu.
“Apa maksudmu?” tanya Ravin terheran.
“Dia adalah Arav. Suamiku.” Belva berujar serius.
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se