Tiga tahun menikah, Indira dan Farhan hidup dalam kesederhanaan yang penuh cinta. Meski belum juga dikaruniai anak, Farhan tak pernah mengeluh maupun mendesak. Ia mencintai Indira dengan tulus, atau setidaknya itulah yang selalu Indira yakini. Hingga suatu hari, Indira membawa kabar yang selama ini mereka nantikan: ia hamil. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Beberapa bulan setelah kabar bahagia itu, Farhan menghilang tanpa pesan, tanpa jejak, seolah ditelan bumi tanpa tanda ataupun firasat apapun sebeumnya. Semua nomor tak aktif, semua akun media sosial lenyap, dan tak ada satu pun orang yang tahu ke mana Farhan pergi. Dalam kondisi hamil, Indira harus menanggung beban kehilangan, kecemasan, dan tekanan batin yang nyaris meremukkan tubuh dan jiwanya. Ia menelusuri setiap kemungkinan, menggantungkan harapan pada setiap petunjuk yang samar, hingga tak ada lagi air mata yang tersisa. Sebenarnya kemana Farhan pergi? Apakah dia masih hidup ataukah ...
View MoreSore itu, aku tersenyum saat suara motor suamiku terdengar memasuki halaman rumah. Salah satu hal sederhana yang membuatku bahagia adalah kedatangan suamiku, entah dari tempat kerja atau dari mana saja. Seperti biasa, suamiku memang selalu pulang kerja tepat waktu. Terlebih hari ini, aku ada jadwal kunjungan ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilanku yang sudah berjalan lima bulan.
Tiga tahun menikah, rumah tangga kami berjalan sangat harmonis. Mas Farhan adalah suami yang romantis dan penuh pengertian. Meskipun secara ekonomi penghasilanya belum sepenuhnya mencukupi, tapi bagiku tak masalah. Aku membantunya dengan berjualan fashion syar'i secara online. Alhamdulilah, usahaku cukup menghasilkan sehingga aku tak perlu mengalami kekurangan secara ekonomi. Saat ini kami sedang menantikan kehadiran buah hati yang telah tiga tahun kami tunggu. Kurasakan Mas Farhan semakin perhatian dan penuh kasih padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung karena memiliki suami seperti Mas Farhan. "Mas, jangan lupa temani aku periksa ke dokter kandungan sore ini" ucapku lembut, mengingatkan suamiku yang sudah selesai mandi dan mengenakkan baju koko dan celana panjang. Suamiku memang selalu sholat di masjid ketika di rumah. "Iya dek, berangkatnya habis maghbrib, kan?" Tanyanya. Ku lihat tanganya memegang handphone dan pandanganya tak lepas dari layar saat berbicara denganku. "Iya, Mas!" "Kalau begitu, Mas sholat ke masjid dulu sebentar ya!" Ucap suamiku sebelum meninggalkan rumah dan pamit pergi ke masjid. Aku pun masuk ke kamar. Menggelar sajadah dan memakai mukena, bersiap menunaikan sholat maghrib. Aku masih sempat mendengar suara suamiku yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon sambil berjalan menjauh dari rumah. Meski terdengar seperti sesuatu yang genting, namun aku tak begitu menghiraukan karena suara suamiku pun semakin menjauh. Setelah selesai sholat Maghrib, aku langsung bersiap untuk ke dokter. Memakai kembali jilbabku, mengambil tas, lalu memasukan dompet, handphone serta buku kehamilan ke dalam tas. Aku memutuskan menunggu Mas Farhan di teras, agar saat dia kembali dari masjid kami langsung berangkat. Lima belas menit aku menunggu, Mas Farhan tak kunjung datang dari Masjid. Ku putuskan tetap menunggu, dua puluh menit, tiga puluh menit, hingga Adzan Isya berkumandang Mas Farhan tetap tak kunjung pulang dari masjid. Aku mulai kesal, namun masih mencoba berpikir positif. "Mungkin Mas Farhan sekalian sholat Isya biar gak kemalaman" pikirku. Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menunaikan sholat Isya. Setelah menunaikan sholat Isya, aku kembali menunggu di teras berharap Mas Farhan segera pulang dari masjid dan mengantarkanku ke dokter. Sayangnya, Mas Farhan tak juga kembali dari masjid. Hampir satu jam aku duduk di teras setelah sholat Isya, namun sosok Mas Farhan tak juga ku lihat. Aku mulai resah dan tak nyaman. Ada rasa khawatir, takut terjadi sesuatu pada suamiku namun juga kesal, karena Mas Farhan tidak segera pulang untuk mengantarku ke dokter. Aku sudah mencoba menelponnya beberapa kali. Namun yang kudengar hanya suara operator "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif" Sungguh aneh, selama ini Mas Farhan tak pernah mematikan handphone. Terlebih setelah aku hamil, dia selalu siaga saat ku telpon, bahkan selalu memblasa pesan saat lembur. Ku lirik jam tangan yang melingkari lenganku, waktu sudah menujukkan jam sembilan malam. Aku mulai gelisah, kali ini bukan karena Mas Farhan tidak jadi mengantarkanku ke dokter, tetapi karena khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada pak Sholeh, tetangga samping rumahku. Mas Farhan biasanya berangkat ke masjid bareng Pak Sholeh, harusnya dia tahu. "Assalamualaikum" ucapku sambil mengetuk pintu rumah mereka dengan hati was-was. "Walaikumsalam" sahut Bu Halimah, istri Pak Sholeh menjawab sambil membukakan pintu. Beliau tampak terkejud melihatku datang jam sembilan malam sambil berpakaian rapi dan membawa tas kecil, layaknya orang yang hendak pergi. "Indira? Ada apa Nak?" "Maaf Bu, saya cuma mau tanya, tadi apakah Bapak pergi ke masjid bareng Mas Farhan? Soalnya Mas Farhan sampai sekarang belum kembali dari Masjid" tanyaku dengan suara pelan, menahan perasaan cemas dan gelisah yang tak karuan. Pak Sholeh keluar menyusul istrinya. Dia sudah berganti menggunakan pakaian rumah yang terlihat santai, kaos oblong dan celana pendek. "Ada apa, Bu?" Tanya Pak Sholeh ke istrinya. "Ini loh, Indira nyariin suaminya. Tadi Bapak liat Nak Farhan di masjid gak?" Tanya Bu Halimah, sekaligus menyampaikan maksudku. Pak Sholeh mengernyit, matanya menerawang ke atas mencoba mengingat. "Kayaknya tadi Farhan gak ada di Masjid deh. Dari Maghrib sampai Isya Bapak gak lihat!" Jantungku terasa mau lepas mendengarnya. "Jadi pas sholat Maghrib juga gak ada Pak?" Tanyaku dengan suara bergetar menahan rasa cemas. Pak Sholeh menggeleng pelan. "Enggak, seingat Bapak tadi Farhan gak ada di Masjid" Deg! Rasanya seperti palu besar menghantam dadaku. Jika bukan ke masjid, lantas Mas Farhan ke mana?"Suamiku hilang, sahabatku meninggal, dan anak dalam kandunganku gugur... Kenapa semua penderitaan ini harus aku tanggung?" suara Indira pecah, parau, seperti keluar dari rongga dada yang hampa. Tatapannya kosong menembus ruang rawat yang dingin, seolah tak lagi mengenali dunia di sekelilingnya.Air mata yang sudah kering di pipinya seakan tak mampu lagi menetes, tapi matanya tetap sembab, merah, seperti menyimpan lautan duka yang tak terbendung. Tubuhnya gemetar kecil, menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka fisik, melainkan juga dari jiwa yang porak-poranda.Bu Fatma, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa mengelus bahu putrinya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri remuk melihat Indira seperti itu. Sementara ayahnya berdiri di sudut ruangan, menatap penuh iba. Tangannya mengepal menahan rasa sakit karena merasa tak mampu melindungi putrinya, hingga harus mengalami penderitaan sepedih ini.Indira belum boleh pulang. Tubuhnya masih lemah, penuh infus dan perban, te
Dalam sekejap, jalanan yang semula lengang berubah kacau. Suara klakson mobil bersahut-sahutan, beradu dengan sirine ambulance dan polisi yang meraung dari kejauhan. Namun kemacetan panjang membuat laju kendaraan darurat itu tersendat, seakan waktu ikut bersekongkol melawan Indira dan Yanti.Indira terbaring di atas aspal panas, napasnya memburu. Tangannya masih menekan perut yang berlumuran darah, sementara sinar matahari yang mulai naik menyorot wajahnya yang pucat. Pandangannya nanar menatap langit biru yang perlahan diselimuti awan tipis, seolah berusaha tetap sadar meski tubuhnya terus melemah.Di sampingnya, Yanti tak bergerak. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak pucat di bawah bayangan kendaraan yang berhenti tak beraturan. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian panik berteriak minta tolong, sebagian lain hanya berdiri terpaku menatap ngeri.Indira berusaha mengatur napasnya yang semakin pendek. “Bertahan… Kamu harus bertahan bersama Ibu, nak...” bisiknya lirih, meski suarany
"Udah buruan naik, nunggu apa lagi, sih?" seru Yanti sambil menepuk jok belakang motornya.Indira masih terpaku di tempat, tangannya menggenggam ujung tas dengan ragu. "Yan... apa kita batalkan aja ya pergi ke orang pintar itu?" suaranya pelan, lebih seperti berbicara pada diri sendiri."Waduh, jangan gitu dong! Aku udah rapi-rapi, motor juga udah siap, masa mau dibatalin sekarang? Sayang banget, Dira!" Yanti langsung menolak mentah-mentah dengan nada sedikit kesal.Indira menggigit bibirnya. Hatinya penuh keraguan. "Aku bener-bener nggak tenang, Yan. Selain takut dosa, aku juga khawatir, naik motor jarak jauh begini bahaya buat aku. Kandunganku kan udah besar.""Ah, tenang aja! Aku janji bawanya pelan-pelan, aman kok! Jangan kebanyakan mikir, nanti malah nggak jadi-jadi," Yanti meraih lengan Indira, seakan memaksa sahabatnya itu segera naik.Indira menunduk, menimbang sejenak. Rasa takutnya masih ada, tapi dorongan Yanti membuatnya tak enak hati untuk menolak terus. Dengan berat hati
Indira menatap Yanti dengan penuh penasaran, menunggu sahabat lamanya itu melanjutkan kalimatnya.Yanti merapatkan duduknya, lalu menurunkan suara seolah takut ada telinga lain yang mendengar. “Aku dengar… di daerah Karawang ada orang pintar yang cukup terkenal. Katanya, dia bisa membantu menemukan segala hal yang hilang. Barang hilang, uang hilang, bahkan orang hilang seperti suamimu”Spontan Indira menutup mulutnya dengan tangan. “Astaghfirullah, Yanti!” serunya dengan mata membesar. Kepalanya langsung menggeleng kuat. “Mendatangi paranormal itu syirik. Itu dosa besar yang tidak akan diampuni Allah. Aku tidak mau menjerumuskan diri pada hal seperti itu.”Nada suara Indira tegas, bahkan agak bergetar. Jelas sekali penolakannya.Namun Yanti justru semakin mendekat, menatap Indira dengan sorot serius. “Dir, kamu jangan keras kepala dulu. Aku tahu ini bertentangan dengan agamamu, tapi pikirkan baik-baik. Farhan hilang sudah berhari-hari, polisi pun belum bisa memberi petunjuk yang jel
"Maafkan kami atas kesalahpahaman ini. Jenazah tidak memiliki identitas, sedangkan di mobil tertera STNK atas nama Farhan. Jadi, kami mengira jenazah tersebut adalah orang yang sedang Ibu cari," ucap seorang polisi dengan nada hati-hati, ditemani dokter forensik di sisinya."Indira terdiam. Hanya anggukan kecil yang ia berikan, meski hatinya terasa kian berkecamuk. Matanya masih basah, dadanya berdesir tak menentu. Ia tidak marah, hanya bingung dan perih.Tangannya refleks memegangi perutnya, seakan mencoba menenangkan diri sekaligus calon buah hati dalam kandungannya. "Mas Farhan..." bisiknya lirih. Nama itu pecah di ujung bibirnya, meninggalkan getar yang membuat tubuhnya lemas.Yang membuatnya lebih gelisah, adalah kenyataan bahwa nama yang tertera di STNK itu sama persis dengan nama suaminya 'Farhan Wicaksana'. Sebuah kebetulan atau mungkin petunjuk baru?Indira pulang ke rumah, di temani ayah dan ibunya. Air mata Indira tak berhenti menetes selama perjalanan dari Rumah Sakit ke R
"Indira, ada telepon masuk di HP-mu," ucap Bu Fathimah sambil menyerahkan ponsel ke tangan putrinya.Indira menerimanya, menatap layar yang menampilkan nomor tak dikenal. Jemarinya terasa dingin. Ia menoleh pada ibunya, seolah meminta persetujuan. Bu Fathimah hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Indira segera menjawab."Halo… dengan Indira di sini," suaranya terdengar ragu saat menjawab."Selamat malam, Bu Indira," suara berat dan resmi terdengar di ujung sana. "Kami dari pihak kepolisian ingin menginformasikan bahwa kami menemukan petunjuk baru terkait suami Ibu, Bapak Farhan."Jantung Indira hampir melompat keluar. Nafasnya tercekat. "Pe… petunjuk baru? Apa maksudnya… Mas Farhan ditemukan?""Kami menemukan sebuah mobil yang terdaftar atas nama Farhan, dalam kondisi ringsek."Indira membeku. Mobil? Setahunya, Farhan hanya punya sepeda motor untuk bekerja. Gaji Mas Farhan sangat kecil, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja masih dibantu pendapatan Indira dari jualan online.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments