Sebuah desain rumah tiga lantai lengkap dengan kolam renang dan konsep taman terbuka. Megah, mewah dan unik. Ayah persembahkan untuk area bermain Dinda.
“Ayah memohon agar kita tidak menolak ini, sebelum dia pensiun dari dunia bisnis, dia ingin memberikan fasilitas terbaik untuk cucunya,” ucap Mas Indra menjawab atas tatapanku yang membuatnya menerima .
Ibu mertuaku terlihat paling bahagia. Dia memeluk Mas Indra dan menepuk-nepuk bahunya.
***
Sebulan berlalu. Rumah yang kutinggali sudah mencapai tujuh puluh persen renovasi. Aku tidak mau mengubah apapun di lantai bawah. Untuk tambahan fasilitas lainnya biar saja di lantai dua dan tiga. Ayah berkeras ingin memasang lift agar mudah akses naik turun. Aku tidak peduli, toh satu kamar saja bagiku sudah cukup.
Rumah type 120 ini kini menjadi tiga kali lipat luasnya. Ada tambahan bangunan seluas
"Apakah lelaki yang kucintai ini benar-benar mengkhianatiku?” Tetesan bening mulai merembes tanpa kompromi. Aku masih mamatung menatap bercak merah di leher suamiku.Tidak terasa sesak ini berubah menjadi isak. Mas Indra sepertinya terganggu dengan isakanku. Dia mengerjap membuka matanya. Tangannya bergerak, menggamit jemariku.“Kamu, kenapa nangis?” tanyanya.“Mas, udah bangun? Kamu kemana semalem?” Aku menatapnya tajam. Mas Indra menggeliat sambil memijit kepalanya.“Emhhh, ada sedikit masalah, aku tidur di apartemen Rafa,” jawabnya.“Tapi Rafa bilang kamu masih meeting dengan klien?” selidikku.“Emhh, itu maksudku sehabis meeting aku ke apartement Rafa karena kepalaku pusing banget, telat makan waktu siang, kan meetingnya emang deket situ," ucapnya sambil mencoba bersandar.
[Salah satu hal terbaru yang mecurigakan adalah transaksi untuk perombakan rumah atas nama seorang wanita, Haminah.][Haminah? Kenapa namanya mirip tetangga sebelah, ya?] Tapi urusanku belum selesai. Aku tidak mau mengurusi orang lain dulu.[Emang cuma ada satu nama Haminah di dunia ini, Res? ][Engga sih, eh ... itu ketauannya gimana?] tanyaku.[ART di rumah menemukan kwitansi di saku bokap, ya pastilah dikasih ke nyokap.][Kalau di rumah ada perubahan yang signifikan ga, Din? Yang dulu Lu pernah lihat aja waktu bokap Lu selingkuh pas kita masih unyu-unyu.][Engga sih, Res! Justru di rumah menjadi lebih perhatian. Mungkin buat nutupin kesalahannya dia diluar kali, ya?][Kalau emang sudah perhatian dari awal, susah dong, ya?][Maksudnya, Res?][Hmmm ... gini deh! Gue mau cerita,
Ya Tuhaaan, aku sudah tak tahan. Biar sore ini aku tanyakan sekalian tentang nota tagihan itu padanya. Aku menjadi selalu dihantui rasa takut jika seperti ini. Benar-benar takut orang yang kucintai sudah berubah.Setelah Dinda selesai berenang, aku segera memandikannya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Putriku terlihat lelah, karenanya aku segera menidurkannya.Selama Dinda tidur, aku menyiapkan tas sekaligus memasukan nota-nota barang bukti untuk bertanya langsung pada Mas Indra sore nanti. Bagaimanapun perhatiannya kali ini benar-benar membuatku curiga.Menjelang pukul tiga sore, seperti biasa. Aku memasak dan menyiapkan hidangan makan malam untuk Mas Indra. Setelah itu berdandan dan memandikan Dinda. Aku dan Dinda harus sudah bersiap sebelum Mas Indra datang. Agar waktu yang kami gunakan bisa efektif.Waktu menunjukkan pukul lima lewat seperempat ketika klakson mobil Mas Indr
"Masih ada kejutan lainnya untukmu,” ucapnya.Aku menghapus air mata. Seketika semua lampu menyala. Mataku membulat bahagia melihat siapa yang datang di hari istimewa ini?“Bunda … Ayah ….” ucapku lirih.Kulihat Ibu membawa sebuah kotak kecil berpita pink. Namun perhatianku lebih tertarik pada empat orang yang berjalan mengiringinya.“Heyyy! Kalian … gue kangennnn!” Aku berhambur menghampiri mereka. Namun gaun yang panjang dan sepatu hak tinggi ini membuatku hanya seperti lari di tempat.“Kami yang ke situ, Res!” Teriak kedua sahabatku, Andini dan Rimaya datang menghampiri. Kami berpelukan melepas rindu. Sudah beberapa tahun kami kehilangan komunikasi karena kesibukan masing-masing.Setelah pelukan terlepas, aku berpaling pada Bunda. Wanita yang memiliki senyuman pali
Keesokan harinya kami bangun dengan kondisi yang lebih segar. Akhirnya aku memilih untuk mengenakan pakaian yang kemarin malam dipakai berangkat dari rumah. Sementara Dinda, masih senang menggunakan pakaian princessnya.Menjelang pukul sebelas siang, kami baru meninggalkan hotel. Pastinya setelah sarapan pagi dan makan siang di sana. Mobil Innova yang dikemudikan Mas Indra melaju sedang. Aku masih sesekali tersenyum sendiri mengingat kejutan yang sangat berkesan.Perjalanan tidak memakan waktu lama. Akhirnya kami sudah memasuki gerbang perumahan ini. Cluster elit di kota ini.Pada jarak sekitar lima ratus meter lagi, kulihat ada beberapa orang sedang berkerumun di depan rumah Bu Minah.Setibanya di depan rumah. Mas Indra memijit klakson dan membuka kaca depan memohon ijin untuk lewat.Aku turun untuk membukakan pintu gerbang.“Eh
Ternyata hadiah dari bunda dan ayah ada hikmahnya. Sekarang sudah memasuki musim penghujan. Mas Indra sudah berangkat sejak beberapa menit yang lalu. Aku masih mencuci piring bekas sarapan pagi ketika ponselku berdering.“Hana?”“Hallo, Na! Ada apa?”“Res, Kamu berangkat naik apa? Aku di tukang nasi uduk nih keujanan! Mau pesen mobil online gak dapet-dapet,” tukas Hana.“Ya sudah, tunggu aku aja ... bentar lagi berangkat!”“Mau dibungkusin apa buat Dinda?” tawarnya.“Gak usah Na,” jawabku.“Res, aku kho sedih ya! Tadi semua teman-teman Devi di ajak Bu Minah naik alphardnya. Aku juga sebenernya ga kepengen naik mobil dia, tapi mbo ya basa-basi gitu, Ya Allah!” 
Andini mengabariku jika dia kini sudah memiliki pengaruh cukup besar di perusahaan. Selama tiga bulan ikut memantau pekerjaan bagian business development, akhirnya dia sudah diberikan kewenangan untuk mengontrol cost di perusahaan. Sepertinya Pak Hamdan masih tidak tahu, jika putrinya sudah menaruh curiga.Sore itu aku sedang menunggu Mas Indra pulang. Setelah semua pekerjaan selesai,aku duduk santai di teras. Satu mocacino panas kusiapkan untuk memanjakan diri sendiri. Tidak lepas dariku sebuah gawai yang senantiasa menjadi teman berbagi cerita.Tiba-tiba kumelihat bayangan seseorang melenggang dari gerbang seberang rumahku. Tetanggaku yang luar biasa kulihat sedang berdiri memijit bel. Segera kuberjalan dan membukakannya.“Sore Mbak Resti!” Bu Minah sudah berdiri sambil memasang senyum di wajahnya.“Ya Bu Min.” Aku mengangguk menyapanya.
"Maukah Kau menikah denganku?”Bu Minah makin tersipu. Terlihat dia mengangguk malu-malu dan menjawab iya. Sang MC menggodanya. Hadirin dibuatnya berbisik-bisik dan tertawa.“Mohon perhatian! Gak kedengaran nih suara calon pengantin wanitanya!”Kebisingan berhenti. Namun tiba-tiba perhatian kami teralihkan pada kemunculan dua orang wanita---Andini dan ibunya.“Kalau kamu mau menikah lagi, silakan! Tapi ceraikan aku dulu!” teriak Ibunya Andini dengan mata tajam menatap Pak Hamdan.Kini semua perhatian beralih pada sahabatku dan Ibunya. Bu Minah yang sedang menunduk dan tersipu-sipu menoleh kearah datangnya suara. Wajahnya terlihat kaget dan bibirnya berucap pelan tetapi masih terdengar.“Arisa?” Mata Bu Minah membulat. Wajahnya terkejut luar biasa. Dirinya mematung menatap wanita yang usianya ja