"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”
Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya. Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat. Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihatPenemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
“Mbak, minta tolong bayarin dulu, ya. Kunci brankas saya kebawa suami. Padahal dia punya brankas sendiri, masih saja suka salah bawa kunci.”Untuk ke sekian kalinya akhirnya aku yang membayar pektan COD miliknya. Bu Haminah atau yang lebih sering kupanggil Bu Minah. Dia adalah tetangga baru yang setiap hari selalu ada saja barang-barang yang dibelinya melalui online.“Bu Min, nanti sekalian, nih, bayarnya sama paketan yang saya bayarin dua hari yang lalu?” selidikku, karena sudah faham wataknya yang lelet untuk membayar hutang.Akhir-akhir ini aku lebih berani bertanya agar dia tidak lupa atas utang dan tanggung jawabnya.“Ya, ampuuun Mbak, tenang aja sih cuma duit segitu sih, kecil. Pasti saya bayar, kok.” Dia berlalu sambil mengambil paketannya yang masih berada di tanganku setelah serah terima dengan kurir COD.Si tukang kurir segera melajukan sepeda motornya, mungkin dia pun sudah mera
“Bu Minah, Ibu diajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager, terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.Wanita itu berbalik dengan wajah terkejut. Selama enam bulan menjadi penghuni komplek kecil ini, mungkin akulah orang pertama yang berani lantang berteriak padanya. Selebihnya sama-sama bermuka dua, karena ibu-ibu yang lain tahu jika Bu Minah sangat suka disanjung dan dipuja. Bu Minah adalah pohon uang mereka.Dia berjalan mendekatiku dengan wajah merah padam.“Mbak Resti, kenapa berteriak-teriak?! Kamu pikir, saya tuli, hah?!”Matanya menyalak menatapku. Namun tak ada rasa gentar sedikitpun di hatiku.“Orang itu ibarat cermin
"Wa’alaikumsalam Res, kamu bertengkar lagi sama Bu Minah?” Ah, rupanya si pengadu itu kembali mencari perhatian suamiku. Apalagi yang dia bilang hingga Mas Indra langsung menelponku meski sibuk dijam kerja. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya yang pastinya berbuntut panjang.“Mas, nelpon cuma buat nanyain ini? Pasti si pengadu itu yang memberitahumu, dasar cewek caper.”“Res, orang ‘kan punya nama, nggak baik manggil orang dengan sebutan kayak gitu. Kamu kenapa sih, selalu ribut sama Bu Minah, Res, malulah sama tetangga yang lain, bisa nggak lebih menahan diri dan nggak usah diladeni.” Mas Indra memang terlalu lembut hatinya, mungkin jika Bu Minah berteriak di depan mukanya pun dia tidak akan melawan.“Udah deh, Mas nggak usah bahas itu lagi. Lagian udah selesai juga berantemnya, kalau mau nelpon, tadi waktu dia melempar uang ke mukaku.” Aku cemberut, selalu saja terkena kultum seti
Notifikasi chat masih beruntun dari ibu-ibu yang lain. Aku menarik nafas panjang, sedang menimbang pesan balasan seperti apa untuk mematikan obrolan mereka. Geng BPJS di komplek ini memang selalu membuat huru-hara. Ya, aku menyebut Bu Haminah dan dua orang temannya itu Geng BPJS yang artinya Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita.“Apakah sudah saatnya aku membuka jati diriku? Toh Mas Indra sudah terbukti mencintaiku, kami sudah bisa melewati tahun keenam pernikahan dengan baik-baik saja, tapi aku berharap bisa mendidik Adinda dalam kesederhanaan, sehingga dia bisa menjadi wanita tangguh dan kuat tempaan,” batinku.“Hmmm lagi pula, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, merasa nyaman bisa berbaur dengan semua kalangan di sini. Jika mereka tahu aku orang kaya, apakah Hana, Bu Nani, masih bisa seakrab itu denganku?”“Biar aku mencoba mendidik ibu-ibu biang rese itu dengan caraku dulu, ji
"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku.“Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku.“Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya.“Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai.“Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan.“Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali.“Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.““Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah H