Share

13. Petualangan Rin Di Dunia Bawah

    Rin mengukir batang pohon yang ia lewati menggunakan salah satu anak panah yang dibawa olehnya, gadis itu sedang membuat goresan dengan bentuk yang indah, tetapi mengandung makna yang sangat ia senangi.

Gadis itu tampak begitu serius dengan pekerjaannya yang menjadikan batang pohon menjadi tempat menuangkan kreativitas. Sang gadis Akibara terlihat seperti seorang seniman dengan alat pahatnya di tangan, tetapi sepertinya gadis itu tidak mengetahui benar apa yang sedang ia lakukan saat ini.

Mungkin baginya, mengukir pohon hanyalah suatu bentuk pengungkapan diri. 

Semuanya tergambar jelas dari sang gadis yang begitu teliti saat mengukir namanya di permukaan batang pohon yang tidak terlalu kasar, dan agak berlumut itu. Senyum bahagianya langsung merekah begitu lebar saat namanya telah selesai terukir di sana.

Mengukir karakter kanji-nya sendiri di sebuah kayu dan berbekal anak panah memang cukup sulit, tetapi ternyata setelah selesai, hasilnya lebih bagus daripada ekspektasinya.

"Wah, hasilnya ternyata bagus juga!" komentar gadis berwajah oval itu seraya menatap hasil ukiran karya tangannya sendiri. Akibara Rin, nama yang terukir di sana membuat gadis berbulu mata lentik itu terkikik geli.

Mengisi kegiatannya dengan melakukan hal sederhana, tetapi membuatnya senang. 

"Terima kasih banyak, Pohon Besar, karena sudah berbaik hati mau meminjamkan bagian tubuhmu yang sangat kokoh dan bagus ini kepadaku," ucap Rin seraya mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dahan pohon yang memiliki daun yang lebat. Gadis yang memiliki senyum manis itu lalu mengusap pelan hasil ukirannya sendiri.

"Maaf telah menyakitimu, tetapi aku senang melihat batangmu yang indah."

Rin kemudian kembali meneruskan perjalanannya yang sempat tertunda selama beberapa saat, karena ia sibuk mengukir namanya di sebuah pohon besar yang menarik perhatiannya sedari tadi.

Gadis itu lalu bersenandung pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar, berharap menemukan sesuatu yang menarik atau pohon berbuah yang bisa ia makan untuk mengisi perutnya yang lapar.

Suasana alam di pagi hari begitu menyenangkan, suara kicauan burung-burung liar bersahut-sahutan dari atas dahan pohon yang Rin lewati.

Semilir angin yang tidak terlalu kencang, tetapi terasa sangat sejuk menerpa pelan anak-anak rambut Rin. Menyebabkan beberapa helai rambut sang anak manusia berjenis kelamin perempuan itu beterbangan dengan lembut.

Rin melangkahkan kakinya dengan lambat, berusaha menikmati keindahan yang disajikan oleh alam sekitar kepadanya. Betapa bersyukurnya ia masih diberikan kesempatan untuk bisa menghirup udara segar di pagi hari. Rin sangat bersyukur masih diberi kehidupan.

Meski, ia tak mengerti mengapa setelah dibuang ke dunia asing itu, mendadak semuanya terasa baik-baik saja, tetapi Rin tetap bersyukur atas apa yang didapat olehnya.

Gadis itu lalu menelusuri pepohonan di hutan lebat itu seraya mencari satu atau dua buah pohon yang mungkin saja sedang berbuah, agar gadis itu bisa mengisi perutnya di hari ini. Walau hanya sedikit, setidaknya ia dapat mengganjal perutnya yang sudah beberapa hari ini tidak makan dengan teratur.

Jujur saja, ia lapar, tetapi gadis itu masih memiliki cukup tenaga untuk bertahan diri selama seharian ini hingga ia menemukan makanan.

Anak panah yang tadi Rin gunakan untuk mengukir batang pohon, ia pegangi dengan erat. Walaupun terlihat tenang dan biasa saja ketika menelusuri hutan yang cukup lebat, tetapi sebenarnya Rin saat ini sedang memasang sikap siaga.

Ia waspada, takut jika di saat dirinya sedang santai dan lengah seperti sekarang, akan ada hewan buas atau siluman pemangsa yang akan menyerang dirinya secara tiba-tiba. 

Rin tidak mau hal itu terjadi kepadanya. Sudah cukup berbagai kejadian aneh dan mengancam jiwa yang gadis itu alami sejak satu minggu yang lalu. Rin hanya ingin menikmati kesempatan kedua yang dewa berikan kepadanya.

Memang sulit menerima kenyataan bahwa ia terjebak di sana selama waktu yang tidak diketahui kapankah berakhirnya. Akan tetapi, Rin sudah bisa menguasai diri selama beberapa hari terakhir ini dengan kekuatannya sendiri.

Mengapa gadis itu bisa tahu seberapa lama waktu telah berlalu di sekitarnya? Padahal jelas-jelas, ia tak membawa petunjuk waktu satu pun di tangannya? Seperti jam, ataupun kompas. 

Mudah saja, gadis itu tinggal menghitung malam yang ia lewati selama berada di dunia asing tersebut. Berdasarkan pengalaman sang gadis Akibara, ia sudah berada di hutan tersebut selama tiga hari. Itu tidak termasuk hari di mana ia yang pingsan tak sadarkan diri setelah terjatuh dari jurang.

Mengingat kejadian waktu itu, Rin mendadak merasakan nyeri kembali menghujami seluruh permukaan tubuhnya. Sama sekali tak ada rasa takut ketika meloncat dari jurang, hanya ada ketakutan dimakan oleh makhluk-makhluk mengerikan yang terus saja mengejar dirinya.

Gadis bersurai hitam lebat itu benar-benar berusaha memulihkan kondisinya setelah siuman dengan berbagai cara yang bisa ia upayakan. Ia harus bisa bertahan hidup di sana apa pun yang terjadi.

Sebab di dunia asing itu, Rin hanya sendiri. Tak ada seorang pun bersamanya, apalagi bertemu seseorang yang ia kenal.

Gadis malang itu telah dibuang oleh keluarganya sendiri, karena mereka semua takut dengan kutukan iblis yang telah mengutuk keluarga mereka—Akibara. Terpaksa mereka mendewakan sang iblis, bahkan mengorbankan orang-orang terkasih.

Hanya demi menuruti keinginan iblis yang mengerikan, mereka membuang anak mereka sendiri. Mereka semua takut dengan risiko yang ada di balik kutukan, apabila mereka nekat membangkang dari sang iblis. 

Menyedihkan memang, tetapi harus bagaimana lagi?

Rin sejak awal memang tidak tahu tentang kutukan tersebut. Seandainya ia tahu sekalipun ... apakah ia benar-benar bisa menghindar darinya?

Rin pikir ... semua itu akan sulit. Apakah dia akan menerima begitu saja takdirnya ataukah menolaknya?

"Ah! Ada kelinci!" seru sang gadis bermata bulat. Gadis berparas jelita dengan senyum manis tampak kegirangan begitu melihat seekor kelinci berwarna cokelat, lewat di depannya dan langsung masuk ke dalam semak-semak. "Sampai jumpa lagi, kelinci kecil!"

Padahal gadis itu bisa saja mengeluarkan anak panah dan mengarahkannya ke kelinci cokelat yang lewat di depannya tadi, hanya untuk dijadikan makan siangnya hari ini. Akan tetapi, oleh sebab sang gadis Akibara memiliki hati yang begitu lembut, ia jadi tak bisa melakukannya terhadap kelinci kecil bermata cokelat itu.

Rin tidak mungkin menyakiti hewan mungil dan lucu seperti mereka. Gadis itu merasa tak tega melakukannya. 

Mungkin itulah alasan mengapa ... Rin tidak bisa menghindar dari permintaan keluarganya sendiri untuk menjadi tumbal dalam persembahan mereka kepada iblis yang mereka semua dewakan, sekalipun ia sudah mengetahui kebenarannya.

Semua karena gadis itu yang memiliki sifat yang terlalu baik kepada seseorang, baik yang dikenal ataupun tidak. Tidak mudah bagi gadis Akibara menolak permintaan dari orang lain. Ia selalu menerimanya jika ia merasa mampu melakukannya.

Itulah sebabnya, sang gadis harus ... menerima semua takdirnya, sejak awal, tanpa banyak mengeluh, apalagi melayangkan protes.

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk sekadar memulihkan kondisi fisiknya yang terluka cukup parah setelah jatuh dari atas tebing. Beruntung, saat itu Rin sempat berguling-guling di dinding jurang, sehingga ketika tiba di dasar ia tidak langsung mati karenanya.

Akan tetapi, tetap saja rasanya sangat menyakitkan.

"Wah! Ada pohon rasberi!" Rin terpekik ketika menemukan sesuatu, wajahnya tampak bahagia. Gadis itu lalu berlari menghampiri pohon jenis buah ceri dengan buah berwarna merah. Senyumnya mengembang ceria. "Senangnya ... akhirnya aku bisa makan banyak hari ini."

"Terima kasih banyak, Kami-sama!" puji sang gadis mengucap syukur.

Di tengah kegiatan sang gadis Akibara yang sedang memetik dan mengunyah buah beri, tiba-tiba sesuatu yang basah dan lengket jatuh di atas kepalanya. Gadis itu buru-buru menyentuhkan tangannya di sana dan seketika ekspresinya berubah.

"Uh ... apa ini?" gumamnya seraya mengernyit jijik. Cairan itu tidak berwarna alias bening, dan tidak berbau, tetapi tetap saja mengerikan. Rin lantas melangkah mundur, mencoba mencerna apa yang terjadi sekarang. Kemudian mendongakkan kepalanya ke atas.

Matanya sontak terbelalak lebar saat menemukan seekor laba-laba raksasa tengah menatapnya dengan bola matanya yang besar. Gigi-gigi taringnya mencuat keluar dengan tak wajar. Enam bola mata berwarna merah menyala memantulkan refleksi gadis Akibara di retina matanya, membuat Rin bergidik ngeri.

Rin dengan konyolnya malah menunjuk ke atas. Seharusnya ia sama sekali tidak boleh melakukan hal yang dapat menarik perhatian sang laba-laba raksasa. "Si-siluman!" Sang gadis berteriak dengan kencang.

Telunjuk sang gadis Akibara gemetaran ketika terarah tepat di hadapan mulut sang laba-laba raksasa. Cairan yang terjatuh di atas kepalanya tadi, rupanya adalah saliva dari laba-laba besar tersebut. Kontan saja hal itu membuat Rin bergidik ketakutan.

Bodohnya ia baru menyadari hal itu.

Belum sempat Rin menarik busur dan anak panahnya keluar, siluman laba-laba berukuran besar itu sudah meloncat ke arahnya secara tiba-tiba. Rin dilanda kepanikan yang hebat. Akan tetapi, gadis itu dengan sigap langsung menghindar dengan cara berlari menjauh darinya, sembari menatap sang siluman laba-laba dengan perasaan takut.

Rin berhenti berlari, dan berbalik ketika didapatinya sang laba-laba sudah berada di hadapannya. Ia mundur beberapa langkah, hingga kemudian terjatuh ke belakang karena kecerobohannya sendiri.

Siluman laba-laba di depan gadis miko itu mulai membuka mulutnya, hendak memakan sang gadis Akibara jika sebuah pukulan telak tidak menghempaskan tubuh besar dari siluman besar tersebut. Rin terbelalak.

Di depan gadis itu kini berdiri seorang pemuda dengan yukata putih yang serupa dengan pakaian yang sekarang tengah dikenakan olehnya. Si-siapa dia? batin Rin bertanya.

Pemuda dengan gaya rambut sedikit berantakan, poninya panjang tak beraturan dan berwarna cokelat muda, tetapi wajahnya cukup manis. Pemuda tersebut berpesan kepada Rin untuk tidak pergi ke mana pun sementara ia mulai melancarkan serangan balasan berupa pukulan dan tendangan kuat yang mengenai tubuh sang siluman laba-laba besar.

Rin hanya bisa membisu di tempatnya berada, matanya tak bisa dialihkan sama sekali dari sang pemuda.

"Aku adalah lawanmu, Monster!" Sang pemuda berucap dengan serius, tetapi seringai lebar tampak di wajah tampannya.

Tak lama kemudian, setelah pertarungan di antara keduanya, siluman laba-laba hitam tersebut telah berubah menjadi asap putih yang membubung tinggi, lalu lenyap sama sekali, tak meninggalkan bekas dari pandangan mereka. Rin berdecak kagum dalam diamnya.

"Hei, kau baik-baik saja?" tanya sang pemuda dengan nada khawatir. Pemuda itu kini telah berlutut di depan Rin seraya memberikan sebuah senyuman lebar dan membuat Rin merasa aman atas kehadirannya. Pemuda baik hati yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana dan menyelamatkan sang gadis dari siluman jahat.

Bagaikan cerita di dunia dongeng yang selalu Rin baca saat kecil. Lebih tepatnya, cerita dongeng yang selalu sang ayah bacakan kepadanya.

Sang gadis Akibara lantas menerima uluran tangan dari sang pemuda tanpa nama yang lalu membantunya berdiri tegak. Agak terhuyung awalnya, tetapi akhirnya sang gadis bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

"Terima kasih banyak," ucap Rin sambil tersenyum manis. Ia lalu berkata dengan nada malu-malu, "Kau sudah menyelamatkan nyawaku, dan aku sangat menghargainya.

"Sama-sama." Pemuda yang belum diketahui namanya itu balas tersenyum kepada Rin.

"Kau baru pertama kali ke tempat ini? Mau ke kedai?" tanyanya menawarkan. Rin yang terkejut mengetahui ada tempat seperti itu di sana, pun segera mengangguk cepat. Mereka berdua pun pergi menuju tempat yang dimaksud oleh sang pemuda.

Rin benar-benar terpana dengan apa yang kini ia lihat. Pemuda itu tidak bohong, ini sungguh sebuah kedai. Ketika akhirnya mereka berdua masuk ke dalam sana, Rin ingin segera angkat kaki secepatnya ketika menemukan berbagai macam makhluk duduk di kursi kedai. Bukan hanya yang berperawakan manusia saja, tetapi juga hewan dan siluman yang memiliki anatomi tidak jelas.

"Tenang saja." Sang pemuda berucap menenangkan. "Mereka tidak jahat, jadi jangan takut," bisik pemuda itu lagi seraya kembali menunjukkan senyum manisnya.

Rin masih tidak percaya. Gadis itu nyaris menganggap bahwa dirinya sudah gila jika saja sang pemuda tidak spontan berubah sikap, dan secara berapi-api menampar wajah sang gadis Akibara agar Rin menyadari bahwa ia tidak gila. Sikap pemuda itu menyebalkan sekali, pikir sang gadis seraya mengelus-ngelus pipinya yang memerah.

Beruntung rasanya tidak terlalu sakit, tetapi Rin harus mengakui bahwa dia sangat terkejut atas perbuatan sang pemuda berlesung pipi.

Dari perkenalan singkat tadi, Rin jadi mengetahui nama sang pemuda, yakni Izazura Shin dan semasa hidup ia tinggal di Tokyo.

Pemuda dengan sikap yang berubah-ubah itu menjelaskan panjang lebar di mana mereka berada kini. Dunia Bawah. Dunia tempat berkumpulnya orang yang telah mati, siluman, dan manusia-manusia baik yang hidup berdampingan.

Mendengar penuturan Zura, bahwa ia kini berada di Dunia Bawah tidak lantas membuat Rin merasa heran atau keliru. Ia memang telah ditakdirkan untuk pergi ke tempat itu, dibuang oleh keluarganya sendiri agar dapat menghapus kutukan yang menimpa mereka sejak dulu kala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status