Di sebuah rumah yang luarnya cukup megah, meski telah berusia tua, terlihat beberapa orang sedang berkumpul di ruang tamu keluarga.
Mereka adalah sepasang suami istri dari keluarga Akibara.
Keduanya tengah membicarakan sesuatu dengan serius, ketegangan tampak di wajah wanita yang memiliki tanda lahir di pipi kanannya yang hanya dimiliki oleh anggota keluarga Akibara saja. Meski setiap keturunan memiliki tanda lahir di tempat yang berbeda-beda. Simbol itu begitu unik, tetapi sangat cocok untuk para anggota keluarga Akibara yang terpandang sebagai keluarga kuil di kotanya.
"Bagaimana nasib keluarga kita di masa depan? Kita sudah tidak punya keturunan lagi untuk melanjutkan persembahan itu!" Sang wanita mulai mengeluarkan argumennya. Wajahnya memerah, terlihat jelas sedang memendam perasaan yang terus berkecamuk di dalam dada.
Kaede marah, sangat marah. Dia juga merasa sedih, kecewa dan perasaan mencolok lainnya tengah bercampur aduk di hatinya saat ini.
"Kaede, tenanglah. Pasti ada jalan di balik semua musibah ini." Di lain sisi, sang suami tampak sedang berusaha menenangkan istrinya yang dilanda kepanikan atas sesuatu yang sangat penting di keluarga mereka.
Bagaimana tidak penting? Ini menyangkut kehidupan mereka nantinya. Salah sedikit, hilanglah sudah keluarga Akibara di muka bumi ini. Itu pun jika bumi ini masih ada.
Suami istri generasi ke-26 dari keluarga Akibara itu sepertinya sedang mendiskusikan hal penting menyangkut masa depan mereka, keturunan. Kaede memijat pelipisnya yang lagi-lagi terasa sakit. Sudah beberapa hari ini pusing melanda dirinya, dan menyebabkan amarahnya mudah tersulut karena hal sepele.
Ditambah lagi, ia kini merasa tak enak badan. Lengkap sudah apa yang Kaede rasakan saat ini. Jika bukan karena sedang berdiskusi dengan suaminya, tentu Kaede akan memilih tidur di kamarnya saja.
"Haruskah aku hamil lagi agar cucu kita kelak dapat kita korbankan?" tanyanya tanpa sempat berpikir panjang. Benar-benar merasa frustrasi terhadap takdir yang menimpanya dan keluarga. "Kalian tentu tahu jika kita perlu satu lagi anak perempuan untuk meneruskan keturunan Akibara, bukan?"
"Jangan konyol!" bentak sang suami tanpa sadar. Hideki menatap Kaede dengan tatapan tajam. "Dokter sudah mengatakan bahwa kau itu sudah tidak bisa lagi hamil, Sayang. Jika kau terus memaksa, itu semua kelak akan membahayakan nyawamu. Kau tidak bisa lagi mengandung seorang anak, pahamilah itu."
Hideki bukannya tak memikirkan tentang penerus keluarga Akibara. Ia juga merasa pusing. Gelisah dan risau menjadi satu perasaan yang dialaminya kini.
Siapa yang akan mengirim tumbal ke sang pengutuk, jika tak ada anak lagi dalam keluarganya untuk melanjutkan persembahan itu? Keturunan mereka semua telah habis, berhenti di Yuuto yang hilang entah kemana dan Rin yang telah dikorbankan menghadap Yamasuke.
"Aku tahu itu!" pekik Kaede nyaring sehingga membuat sang suami terdiam. Lelaki itu tahu apa yang kini istrinya rasakan, oleh sebab itu ia memilih diam daripada menyuarakan pendapatnya. Kaede lagi-lagi berucap dengan nada kesal. "Tapi, mau bagaimana lagi? Jika tetap seperti ini ... keluarga kita akan mendapat kemalangan!"
"Iblis itu akan membunuh kita semua!"
"Tolonglah, anak-anak ... berhentilah bertengkar. Mari kita sudahi permasalahan ini sampai di sini saja." Suara lembut seorang wanita tua menginterupsi pembicaraan penuh urat saraf antara Hideki dan sang istri.
Asano lalu duduk di depan anak dan menantunya seraya menaruh nampan berisi tiga buah gelas dan sebuah teko teh. Kemudian wanita tua itu mulai membuka suara. "Ibu mengerti dengan apa yang kau rasakan, Kaede."
"Kita semua tentu tahu jika setiap keluarga Akibara memiliki dua anak perempuan sebagai keturunan mereka, maka anak perempuan pertamalah yang akan dikorbankan ketika sudah berusia 18 tahun," ucap wanita berkimono satin warna hitau tua dengan lembut.
"Digaris keturunan keluarga kita kali ini, kalian berdua memiliki anak perempuan dan laki-laki. Rin adalah anak perempuan pertama kalian. Oleh sebab itulah, Rin kita korbankan kepada iblis monyet yang berkuasa, untuk menghindari kutukan darinya."
"Akan tetapi ... sayang sekali. Anakmu Yuuto menghilang dan hingga kini belum ditemukan, sedangkan Rin telah kita kirimkan menghadap Yamasuke ke Dunia Bawah. Parahnya lagi ... Kaede mengidap kanker serviks."
Kaede menundukkan kepalanya dalam-dalam, menangis meratapi nasibnya yang malang. Apa yang ibunya katakan itu adalah benar. Padahal ia sudah mengorbankan putri kesayangannya Rin, dan menghadapi kenyataan bahwa putranya Yuuto hingga kini masih belum ditemukan.
Ditambah dengan ia yang didiagnosis oleh dokter tidak bisa memiliki seorang anak lagi, sungguh membuat Kaede semakin terpuruk dan begitu bersedih hatinya.
"Seharusnya ... seharusnya waktu itu aku nikahkan saja Rin dulu lebih cepat! Seandainya aku mengetahui penyakit ini lebih dulu!" teriak Kaede sambil terisak pelan.
"Bagaimana nasib kita kelak?" tanya wanita itu dengan nada pilu, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Kita sudah tidak punya persembahan lagi untuk iblis itu."
Melihat istrinya menangis tersedu-sedu, Hideki langsung memeluk wanita itu erat-erat, berusaha menguatkan sang istri meski lelaki itu juga tak kalah kalut perasaannya.
Apabila keluarga mereka tidak bisa memberikan persembahan kepada sang iblis monyet, maka iblis itu tidak akan tinggal diam saja melihat pembangkangan dari keluarga mereka.
Yamasuke akan mencari mereka, dan menghancurkan kehidupan keluarga mereka seperti janjinya ratusan tahun silam. Tak ada yang lebih menakutkan bagi para manusia, selain diamuk oleh iblis yang menyukai pembantaian dan darah. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Menakutkan.
"Seandainya saja ada Yuuto, mungkin ... sekarang ia sudah menikah dan memiliki anak yang dapat mengamankan kita dari kutukan," ucap Kaede sambil mengusap pipinya yang basah. "Ya, andai anak itu tidak hilang. Mungkin saja sekarang, kita sudah menyiapkan pernikahannya, dan jika anak itu ... menikah, kita akan selamat!"
Kaede berucap tidak jelas, semakin lama, semakin terlihat kepanikan menyerangnya. Betapa gundahnya hati wanita Akibara itu.
Asano mengelus surai lembut putrinya dengan penuh kasih sayang, menyampaikan dukungan kepada sang anak. Asano dulu juga pernah kehilangan anak karena kutukan yang menimpa keluarga mereka, kakaknya Kaede terpaksa ia korbankan kepada Yamasuke karena dialah harapan mereka saat itu.
Kini, mereka semua sudah tak punya siapa-siapa lagi untuk melanjutkan keturunan. Takdir mereka semua telah ditentukan sejak awal. "Jangan menangis lagi, Anakku" ucapnya menenangkan.
Tanpa mereka ketahui, sejak mulainya pembicaraan serius di antara mereka bertiga, di dekat jendela rumah yang cukup megah itu berdiri seorang laki-laki dewasa yang belum menikah, tengah diam mematung di tempatnya bersembunyi.
Anak pertama Kaede yang menghilang belasan tahun silam itu sedang termenung, memikirkan semua perkataan anggota keluarganya yang baru saja ia dengar beberapa saat yang lalu.
Yuuto hanya diam saja mendengarkan semua percakapan dan cerita yang disampaikan oleh setiap anggota keluarganya. Meski begitu, hatinya terasa sakit sekali saat mengetahui kenyataan bahwa keluarga yang ia rindukan selama ini, tidak sepenuhnya peduli kepadanya.
Mereka semua tidak pernah mencari keberadaan pemuda itu dengan benar dan hanya memikirkan nasib keturunan mereka saja. Yuuto dulu sempat berpikir bahwa orang tua mereka yang tidak benar-benar mencarinya itu hanyalah kabar angin semata. Sebab, ia pernah mendengarnya dari salah seorang tetangga mereka yang tinggal tepat di luar kompleks kuil Akibara.
Mereka menyebutkan bahwa Kaede dan Hideki sengaja membiarkan anak laki-laki mereka menghilang agar mereka berdua dapat fokus ke anak perempuan mereka yang sangat berharga. Yuuto dulu tak percaya dengan cerita para tetangganya itu, tetapi kini ... ia telah mengetahui kebenarannya.
Yuuto lantas menyentuh dada kirinya yang terasa sakit, berdenyut-denyut dengan nyeri tanpa sebab yang pasti. Apa yang terlihat di depan mata, nyatanya adalah kebenaran. "Rin ...." Gumamnya sendu. "Apakah ini yang kau maksud di dalam mimpiku hari itu, Adikku? Tentang kemalangan yang menimpamu?"
Yuuto menundukkan kepalanya dalam-dalam. Hatinya seperti diiris oleh sembilu, sungguh sakit sekali dan semakin sakit ketika Yuuto harus mendengar kenyataan bahwa adik yang ingin ia temui hari itu telah dikorbankan kepada iblis. Sesosok makhluk yang bahkan Yuuto saja tak mengetahui seperti apa rupanya.
Menguatkan hati, Yuuto lalu kembali menguping pembicaraan keluarganya, baru setelah itu ... ia akan kembali ke dunia yang lebih bisa menerima keberadaannya. Yuuto akan kembali ke Dunia Bawah, dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.
Pemuda itu bahkan tidak ingin lagi tinggal di sana. Tidak ingin lagi bersama keluarganya.
Sungguh, Yuuto tak ingin kembali bersama mereka. Bersama keluarga yang tega membuang adik kesayangannya demi menyanggupi permintaan sang iblis. Mereka tak punya hati, Rin jauh lebih berharga daripada menuruti keinginan iblis itu.
Atas apa yang telah ia lalui selama ini, dan melihat tak ada yang merindukannya sama sekali, sungguh semuanya telah membuat Yuuto menutup mata hatinya. Pemuda itu tiba-tiba saja merasa benci terhadap anggota keluarganya sendiri. Namun, itu tidak sepenuhnya benar.
Kenyataannya, Yuuto hanya perlu ketenangan sebentar saja dan mendapat keterangan lebih lanjut dari keluarganya sendiri agar ia dapat memahami semuanya sebelum menyimpulkanya cepat di dalam kepala.
Yuuto mencoba berpikir positif dan kembali memfokuskan dirinya untuk mendengar pembicaraan di dalam rumah. Ia janji setelah ini, tak ada lagi yang perlu ia dengar dari mereka semua.
"Aku tidak tahu apakah Rin mampu mematahkan kutukan itu atau tidak, tetapi jika ia berhasil ... maka kita semua tak perlu lagi mengirimkan anak-anak kita kepada iblis monyet dan membuat mereka menjadi budak di dunia sana!"
Kaede yang masih terisak langsung menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan usapan kasar. "Aku tidak peduli jika anakku itu kalah! Asalkan kita sudah memperoleh keturunan yang baru, atau ia berhasil memenangkan pertarungan," ucap wanita itu lagi tanpa penyesalan.
"Aku tak mau peduli lagi!"
Kedua tangan Yuuto yang berada di sisi tubuhnya terkepal kuat. Begitu mudahnya sang ibu mengatakan hal tersebut seolah itu adalah hal ringan dan bisa dianggap persoalan biasa. Apakah wajar mengorbankan anak kandung sendiri untuk dikorbankan kepada iblis? Jelas Dewa akan marah jika hal ini terus dilakukan.
Yuuto tak bisa lagi mempercayai mereka. Pemuda itu benar-benar tidak bisa memaafkan keluarganya yang telah menelantarkan anak-anak yang telah mereka lahirkan demi sebuah persembahan. Namun, rasa bersalah karena tidak bisa menolong Rin jauh lebih besar dari amarah yang ia rasakan saat ini.
Padahal Rin telah memberikannya sebuah tanda lewat mimpi. Mengapa ia baru menyadari hal itu sekarang?
Yuuto tiba-tiba saja teringat dengan ucapan gurunya mengenai Dunia Bawah, tempat di mana Rin dikirimkan oleh kedua orang tuanya ke sana guna memenuhi kutukan yang dimaksud keluarganya.
Dunia Bawah adalah tempat berkumpulnya para iblis Dunia Kematian yang suka mencari mangsa, karena Dunia Bawah itu dipenuhi dengan sumber makanan iblis Dunia Kematian, berupa manusia dan siluman yang lemah.
Jika Yuuto ingin menyelamatkan adik kesayangannya dan membebaskan Rin dari kutukan, maka ia harus memiliki setidaknya kekuatan spiritual yang hampir setara dengan Himiko. Dia adalah gadis kuil yang pernah bertarung dengan iblis kelelawar yang disegel di sebuah kuil kecil yang berada di belakang bangunan kuil utama Akibara.
Yuuto lalu berbalik badan. Ia pergi meninggalkan rumah lamanya itu dan kembali ke dalam hutan. Mendatangi sebuah tempat berbentuk lingkaran, dengan pusaran cahaya di tengahnya. Itu adalah portal dunia lain yang tadi sempat dibuat oleh Yuuto yang merupakan sebuah pintu masuk untuk pergi ke mana saja.
Pria berambut hitam panjang yang diikat kuda itu lalu pulang dengan sebuah tekad yang besar. Yuuto berkeinginan kuat untuk menyelamatkan adik kesayangannya yang kini jiwanya tengah membara mencari pertolongan. Yuuto harus menyelamatkan Rin dari kutukan itu dan membebaskannya.
Yuuto juga bertekad akan membantu Rin mengalahkan iblis yang telah membuat semua keturunan Akibara menderita.
Syaratnya hanya satu, Yuuto harus menjadi seseorang yang sangat kuat. Ia menyadari bahwa kekuatan yang ia miliki saat ini, membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk menang dari iblis yang dimaksud oleh keluarga mereka.
Yuuto masih lemah dibandingkan pendahulunya yang telah lama tiada.
Laki-laki itu lalu berjanji dalam hati, bahwa ia akan menyelamatkan Rin tidak peduli apa yang akan terjadi ke depannya. Itu adalah janjinya kepada Rin, dan Yuuto akan berusaha keras untuk menepatinya.
Rin mengukir batang pohon yang ia lewati menggunakan salah satu anak panah yang dibawa olehnya, gadis itu sedang membuat goresan dengan bentuk yang indah, tetapi mengandung makna yang sangat ia senangi.Gadis itu tampak begitu serius dengan pekerjaannya yang menjadikan batang pohon menjadi tempat menuangkan kreativitas. Sang gadis Akibara terlihat seperti seorang seniman dengan alat pahatnya di tangan, tetapi sepertinya gadis itu tidak mengetahui benar apa yang sedang ia lakukan saat ini.Mungkin baginya, mengukir pohon hanyalah suatu bentuk pengungkapan diri. Semuanya tergambar jelas dari sang gadis yang begitu teliti saat mengukir namanya di permukaan batang pohon yang tidak terlalu kasar, dan agak berlumut itu. Senyum bahagianya langsung merekah begitu lebar saat namanya telah selesai terukir di sana.Mengukir karakter kanji-nya sendiri di sebuah kayu dan berbekal anak panah memang cukup sulit, tetapi ternyata setelah selesai, hasilnya lebih bagus daripada ekspektasinya."Wah, hasi
Selama beberapa saat, terjadi hening di antara mereka berdua. Zura sibuk menatap makhluk-makhluk bertubuh kekar yang tengah bercengkerama tak jauh dari tempat duduk mereka, sedangkan Rin sibuk memandangi sang pemuda, tanpa berkedip sama sekali.Rin memangku wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja, masih sembari menatap wajah manis pemuda yang ada di hadapannya.Gadis itu bertanya-tanya dalam hati. Terjebak di dunia apakah ia kini? Zura memang mengatakan bahwa sang gadis Akibara tengah berada di Dunia Bawah, dunia tempat berkumpulnya makhluk-makhluk yang hidup berdampingan satu sama lain. Seperti manusia, siluman, iblis dan lain-lain.Akan tetapi, tetap saja gadis itu merasa kebingungan walau sudah diberitahu seperti itu. Sebab, ini adalah pertama kalinya bagi sang gadis Akibara berteleportasi—lebih tepatnya diasingkan—ke dunia asing yang sama sekali bukan tempatnya berasal.Ada banyak yang patut dipertanyakan selama berada di sana. Ditambah lagi, hal-hal ganjil yang sul
Sesosok rubah siluman berekor sembilan tiba-tiba saja melintas di depan Rin dan Zura yang sedang melakukan pencarian buah Sensa. Beruntung, Zura terlebih dahulu menarik sang gadis Akibara untuk bersembunyi di antara semak-semak sehingga siluman berbulu warna putih tersebut tidak menyadari keberadaan mereka."Kita harus ekstra berhati-hati di sini, Rin. Rubah yang kita lihat tadi itu adalah jenis siluman jahat yang sangat kuat. Jenis roh seperti itu harus kita hindari sebisa mungkin. Demi keselamatan kita bersama. Paham?" Zura menerangkan kepada teman seperjalanannya, Rin.Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya saat mendengarkan penjelasan singkat dan padat dari pemuda bermanik mata cokelat. Tak ingin banyak bicara dan cukup mengikuti Zura saja. Maka, dia akan aman, pikir Rin di dalam kepalanya.Keduanya lalu meneruskan perjalanan, hingga lagi-lagi bertemu dengan makhluk-makhluk pencari masalah. Rin dan Zura saling pandang. Saatnya beraksi!Usai mengalahkan beberapa roh dan siluman jah
"Ah!" Angin berembus dengan sangat kuat, disusul cahaya putih meta yang langsung membuat Rin menghalangi cahaya yang masuk ke retina matanya menggunakan lengan baju sebelah kanan.Helaian rambut hitam Rin beterbangan, berkibar dengan sangat kencang ke belakang. Dapat gadis itu rasakan partikel-partikel debu dan kerikil-kerikil kecil mengenai wajahnga dan ada pula yang sebagian menempel di bajunya, tetapi sama sekali tak gadis itu hiraukan.Angin yang menyerupai angin puyuh, tetapi tidak sekuat badai itu tak hanya menerbangkan bebatuan kecil di sekitar Rin saja.Puluhan lembar dedaunan kering maupun segar dari pohon di dekat sang gadis Akibara turut menjadi korban keganasan yang muncul dari Zura yang mengeluarkan setitik kecil kekuatannya.Pemuda itu tersenyum. Sepertinya sudah selesai proses perpindahannya, dan ia akan segera pergi. "Sampai jumpa lagi, Rin!" Zura berkata dengan riang, tetapi hatinya berkata lain.Ia sama sekali tidak ingin pergi dari sisi Rin. Zura ingin terus bersama
Rin tidak tahu seberapa lama waktu telah berlalu di sekitarnya, ia juga tak menghitung hari yang sudah ia lewati. Gadis itu hanya tahu bahwa ia terus berlatih untuk menjadi seseorang yang hebat. Berkat pelatihan intens yang diberikan oleh seorang lelaki tua yang kini menjadi gurunya yang bernama Isamu, membuat gadis Akibara itu bertambah kuat di setiap harinya.Rin berencana mematahkan kutukan yang telah membuat keluarganya menderita dan bertekad untuk menjadi sangat kuat ketika sudah kembali pulang ke rumahnya sana.Gadis itu sungguh sangat merindukan keluarganya. Rin rindu dengan ayah, ibu dan sang nenek. Meski, sebenarnya ia tahu jika keluarganya mengorbankan dirinya karena rasa takut berlebihan terhadap sang iblis, tetapi Rin dapat memaklumi itu semua. Keluarganya sebenarnya tak ingin kehilangan dirinya, dan itulah yang ingin gadis itu percayai sampai saat ini.Rin tahu jika kepercayaannya itu akan membuatnya sakit apabila sudah mengetahui kebenarannya, tetapi untuk sekarang, biarl
Rin lalu duduk dengan tenang mendengarkan kisah yang akan disampaikan oleh teman barunya—Tatarimokke. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk menjalin pertemanan dengan siluman anak kecil yang tampak begitu kesepian.Lagipula menurutnya, Mokke bukanlah makhluk yang dapat mengancam jiwanya, jadi bagi Rin tak masalah jika berteman akrab atau menceritakan sedikit kisah hidupnya kepada sang roh siluman pengantar jiwa.Meski sekarang, Tatarimokke lah yang akan menceritakan kisah nenek moyang Rin yang tak gadis itu ketahui dengan baik sejak dulu."Tahukah kau?" Mokke memulai ceritanya. Suasana di antara mereka seketika hening, Rin fokus mendengarka sementara Tatarimokke mengingat-ingat apa yang ia ketahui tentang kehidupan keluarga Akibara."Dahulu, sekitar 500 tahun yang telah lewat, seorang gadis bermarga Akibara mendapat kutukan dari penguasa Dunia Kematian—Yamasuke," ucap Mokke yang memiliki poni yang tebal. "Gadis itu bernama Akibara Kimiko, dan dialah nenek moyang keluargamu, Rin."Gadis y
Rin telah memutuskan untuk tinggal di desa yang diberitahukan oleh Tatarimokke selama beberapa hari ke depan, sebab ia tidak bisa kembali dan mendatangi sang guru—Isamu ke tempat asalnya.Padahal sang guru sudah memberikan Rin tempat tinggal, melatih dan memberi Rin makan layaknya anak kandungnya sendiri, tetapi Rin malah kabur ke tempat lain dan membuat pria tua itu sendirian di pondok kecilnya.Maafkan aku, Isamu-sama, batin Rin lirih.Lagipula menurutnya, desa yang ia tempati itu begitu nyaman dengan suasananya yang menenangkan. Orang-orang yang tinggal di sana selalu bersikap ramah terhadapnya dan hal itu membuat Rin senang tinggal di desa kecil itu. Ia merasa seperti ... benar-benar dibutuhkan oleh orang-orang desa.Jadi, tak ada salahnya Rin tinggal di sana sampai ia punya cara untuk kembali menemui Isamu. Entah kapan, tetapi Rin akan tetap menunggu saja.Hari itu adalah pagi yang cukup terik. Tidak terlalu panas, tetapi langit pun tak menunjukkan akan hujan. Angkasa tetap cerah
"Kaede! Tenangkan dirimu!" Asano berteriak kepada putri keduanya. Tanpa mengetahui bahwa seorang gadis muda tengah menatap ke arahnya dengan tatapan bingung.Rin tampak bertanya-tanya. Apa yang terjadi di sini?"Tidak, Ibu! Aku tidak mau berhenti!""Cukup, Kaede!"Kali ini, neneknya lah yang angkat bicara, wanita tua itu membentak anak perempuannya yang mana merupakan ibunya Rin. Rin tidak tahu apa yang membuat sang nenek yang biasanya selalu tenang dalam kondisi apa pun, menjadi sedikit emosional pada hari itu. Neneknya yang ia ketahui tak pernah meninggikan suaranya, mendadak berteriak dengan ekspresi geram.Itu adalah kali pertama di mana Rin melihat kemurkaan di wajah sang nenek.Gadis itu lalu lalu memutar kepalanya sedikit, dan mendapati sang ayah sedang memijat pelipisnya dengan gelisah. Seolah sedang panik memik