Share

Sembilan

Aku melirik ke kerumunan yang mulai menipis, dan di deretan kedua aku melihat satu pasangan yang kelihatannya sedang menatapku. Pada saat itu, akulah satu-satunya pengacara yang tersedia, dan mereka kelihatan bimbang apakah akan mencoba keberuntungan denganku. Si perempuan memegang seberkas surat tebal yang diikat menggunakan karet gelang. la menggumamkan sesuatu dengan suara tertahan. Suaminya menggelengkan kepala, seolah-olah ia lebih suka menunggu salah satu elang muda lainnya yang cemerlang.

Perlahan-lahan mereka berdiri dan berjalan menghampiri mejaku. Mereka berdua menatapku ketika berjalan mendekat. Aku tersenyum. Selamat datang ke kantorku.

Perempuan itu mengambil kursi Miss Natalie. Sedang suaminya duduk di seberang meja dan menjaga jarak.

"Hai," kataku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan. Si suami menjabatnya lemas, kemudian aku mengangsurkan tangan kepada si istri. "Saya Edward Cicero.”

"Aku Smith dan ini Eddy," katanya, sambil menunjuk pada Eddy, tanpa menghiraukan tanganku.

"Smith dan Eddy," aku mengulangi dan mulai mencatat. "Apa nama keluarga kalian?" Aku bertanya dengan sikap hangat khas penasihat hukum kawakan.

"Jack. Smith dan Eddy Jack. Ya, em, sebenarnya Duke dan William Jack, tapi semua orang memanggil kami Smith dan Eddy." Rambut Smith disasak dan diberi kilau perak di atasnya. Terlihat bersih dan elegan. la memakai sepatu kanvas warna putih murahan, kaus kaki cokelat, dan jeans yang tampak longgar, khas model fashion eksentrik klasik. Tubuhnya kurus kering dan sikapnya keras.

 "Alamat?" tanyaku.

"Nine Fifty-Land Bawton, di Houston."

“Apakah saat ini kalian sudah bekerja?”

Ketika aku menanyakan hal itu, Eddy masih belum mau buka mulut, dan aku mendapat kesan sudah bertahun-tahun ini kalau Smith yang menguasai pembicaraan.

"Aku mendapat tunjangan Jaminan Sosial Disabilitas," katanya. "Usiaku baru lima puluh delapan tahun, tapi jantungku tidak sehat. Dan Eddy mendapat pensiun, kecil."

Sementara Eddy hanya memandangku. la memakai kaca mata tebal dengan gagang plastik yang nyaris tak sampai ke telinga. Pipinya merah dan gemuk. Rambutnya acak-acakan dan kelabu, dengan nuansa warna kecokelatan. Aku ragu kalau rambutnya itu sudah satu minggu berlalu tidak dicuci. Dan kemejanya yang dipenuhi kombinasi hitam-merah bahkan lebih parah lagi.

 "Berapa usia Mr. Jack?" aku bertanya pada Smith, aku masih merasa tidak yakin apabila aku bertanya ke Mr. Black dia bisa menjawabnya atau tidak.

"Please, dia Eddy, oke? Smith dan Eddy. Dan tidak perlu pakai mister segala, oke” Raut wajahnya terlihat sedikit kesal. “Usianya enam puluh dua tahun. Bisa aku katakan sesuatu?”

Aku mengangguk cepat. Sambil sekilas aku melirik Eddy yang sedang mencuri pandang ke arah Bolie yang ada di seberang meja.

"Dia tidak sehat,” ia berbisik dengan anggukan sepintas ke arah Eddy. Aku memandangnya. Dan ia membalas pandangan kami.

"Cedera perang,” katanya. "Saat itu terjadi di KoreaApa kau tahu sebuah detektor yang baisanya ada di bandara?”

Aku kembali membalas dengan anggukan kepala.

"Nah, dia dapat berjalan telanjang melewatinya, dan kemudian benda itu akan berbunyi.”

Kemeja Eddy terentang sampai nyaris robek, sehelai benang yang mencengkeram kancing-kancingnya nyaris putus dalam usaha mati-matian untuk menutupi perutnya yang buncit. Setidaknya ia memiliki tiga dagu. Aku membayangkan kata-kata itu. Ketika sosok Eddy sedang berjalan telanjang bulat di Bandara Intrernasional Southaven dengan bunyi alarm yang berisik dan petugas keamanan di sekitar bandara panik kepayang.

"Dan kepalanya dipasangi pelat,” tambahnya sebagai kata penutup.

"Oh... Benar-benar mengerikan,” bisikku. Kemudian aku menulis bahwa Mr. Eddy Jack memakai pelat di kepalanya. Seketika itu Mr. Jack menoleh ke kiri dan menatap tajam ke klien Bolie yang tengah duduk satu meter dari sana. Segera Smith maju. "Ada lagi,” katanya.

Aku membungkuk sedikit ke depan untuk mendengarkan. "Ya?”    

 "Dia punya masalah dengan alkohol.”

 "Benarkah?”

"Iya, tapi itu bermula usai dia mendapat cederanya,” tambahnya membela. Begitulah, perempuan yang baru aku temui lima menit lalu yang sudah mereduksi suaminya jadi seorang alkohol

Sambil menarik dompet dari saku, ia bertanya, “Apa kau tidak keberatan kalau aku merokok?”

Aku lantas melihat-lihat ke sekililing, berharap ada tanda ‘No Smoking’ di sekitar ruangan ini. “Apa boleh di sini?” kataku di saat tidak menemukan tanda itu satu pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status