Suasana berubah drastis.Kabut merah yang melayang di atas sungai darah bergolak hebat. Dari kedalaman tanah, sesuatu merangkak naik, bukan tubuh, tapi kehendak jahat. Entitas itu bukan makhluk biasa. Ia adalah kumpulan kesadaran penuh dendam, lahir dari jutaan jiwa yang dikorbankan di tempat ini.Xuan Li berdiri diam, namun matanya tajam. Aura dari entitas itu menekan setiap helaan napas."Makhluk itu... bukan lagi roh. Ini kehendak yang dibentuk dari penderitaan. Jiwa yang tak pernah tenang," gumamnya lirih.Mo Xiang yang berdiri di sisinya langsung mencengkeram gagang pedang. "Kita bertarung?""Tidak seperti itu," jawab Xuan Li. "Kekuatan fisik tidak akan berguna di sini. Ini ranah kesadaran."Dengan satu gerakan tangan, Xuan Li memanggil kekuatan dari dalam Lautan Kesadarannya. Cahaya hitam menyala samar di antara jari-jarinya. Api Jiwa Gelap, teknik pengendalian jiwa tingkat dua yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki tubuh khusus… tubuh giok.Dari telapak tangannya,
Belum sempat mereka bergerak, langit di atas sungai darah berderak. Retakan dimensi muncul perlahan, membelah kabut kelam dengan suara tajam yang seolah menembus tulang. Aura kuat menyebar ke segala arah.Xuan Li refleks mundur satu langkah. Napasnya tertahan. "Retakan itu... seseorang dengan kultivasi tinggi datang."Beberapa sosok muncul dari balik celah langit. Tubuh mereka dibalut jubah gelap dengan tanduk hitam yang mencuat dari kepala, ras iblis. Jumlah mereka enam orang, berjalan perlahan di atas udara seperti raja yang baru turun dari singgasana.Xuan Li menyipitkan mata. “Mereka bukan manusia biasa… dan mereka pasti bukan datang untuk sekadar lewat.”Ia segera menarik Mo Xiang ke balik dinding batu raksasa. Mereka menahan napas, menyembunyikan aura sebaik mungkin.“Kenapa kita bersembunyi?” bisik Mo Xiang. “Apa mereka mengenalmu?”Xuan Li mengangguk tipis. “Bisa jadi. Kalau mereka dari Istana Iblis, kita tak boleh muncul sekarang.”Tak lama, langit kembali robek. Retakan kedu
Pusaran itu muncul tiba-tiba, tanpa peringatan. Arus sungai darah yang semula tenang bergejolak, membentuk spiral besar berwarna merah pekat. Sebelum sempat bereaksi, tubuh Xuan Li dan Mo Xiang terhisap masuk.Tubuh mereka terlempar ke dalam pusaran seperti daun dalam angin ribut. Dalam sepersekian napas, kesadaran mereka lenyap, dan ketika mereka membuka mata kembali, pemandangan di sekitar sudah berubah total.Cahaya suram menyelimuti tempat itu. Mereka berdiri di tanah berlumpur berwarna hitam keunguan. Meski tak ada langit atau sumber cahaya yang jelas, tempat itu tidak sepenuhnya gelap. Seperti ada sinar samar yang merembes dari balik kabut tipis yang menyelimuti udara.Mo Xiang terbatuk pelan. Ia menyentuh dadanya. "Kita... masih hidup?"Xuan Li menatap sekeliling, matanya tajam menyapu setiap detail. Ia mencoba merasakan energi spiritual di sekitarnya dan terkejut."Kita berada di dalam ruang terisolasi. Dimensi internal," gumamnya. "Tapi... kita tetap bisa bernapas. Bahkan tub
Langit Alam Luar selalu gelap dan pekat. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya bayangan hitam yang menggantung tanpa arah.Xuan Li dan Mo Xiang melintasi udara dengan tenang, tetapi langkah mereka terhenti di atas hamparan daratan asing. Di saat mereka hendak menyeberang, tubuh mereka mendadak kehilangan daya apung spiritual.“Aneh.” Mo Xiang berseru pelan. Ia melayang turun bersama Xuan Li. “Energi spiritualku mendadak tak merespons.”Xuan Li mengangguk pelan. “Tempat ini memiliki tekanan tak terlihat. Jalur energi seperti ditekan paksa oleh suatu kekuatan.”Langkah mereka kini beralih ke tanah. Setiap tapak terasa berat, seakan bumi menolak kehadiran mereka.Hamparan di depan adalah dataran tandus berwarna merah kehitaman, seolah pernah diliputi kobaran api atau darah yang membeku. Di kejauhan, mengular sungai yang tidak seperti sungai lain: airnya merah pekat, kental seperti darah, dan mengalir perlahan dengan aroma logam menusuk hidung.Mo Xiang menatap takjub. “Sungai darah?
Tiga hari berlalu.Bagi banyak orang, itu waktu yang terlalu singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan. Tapi di Istana Naga Ular, segalanya berjalan cepat. Terencana. Terstruktur. Tanpa celah bagi keraguan.Saat matahari mulai naik dari balik pegunungan kabut, beberapa pelayan berseragam ungu gelap mengetuk pintu kamar tamu yang dihuni Xuan Li. Mereka membungkuk sopan dan menyerahkan sebuah peti hitam panjang, dihiasi ukiran naga dan ular melilit.“Ini jubah pengantin, sesuai adat klan kami,” ucap salah satu pelayan.Xuan Li menerimanya tanpa berkata apa-apa. Tatapannya singkat, lalu ia menutup pintu dan mempersiapkan diri.Di luar, Istana Naga Ular dihiasi dengan lilin spiritual dan kain merah pucat. Tidak ada suara riuh, tidak ada denting seruling atau tabuhan genderang. Klan naga ular tidak pernah menyukai keramaian. Bagi mereka, ikatan suci tak perlu dirayakan dengan sorak sorai. Yang penting adalah kehormatan dan pengakuan.Mo Xiang berdiri di salah satu sudut aula utama, menya
Ketua klan naga ular suci menatap Xuan Li dalam diam. Hanya sekejap, lalu ia mengangguk tipis. “Ikut aku. Tidak baik membicarakan hal penting di luar sini.”Ia berbalik tanpa menunggu jawaban dan melangkah ke dalam istana. Xuan Li menyusul tanpa ragu, sementara Mo Xiang mengikutinya dengan langkah ringan, namun waspada. Meskipun tidak bisa dikatakan akrab, setidaknya mereka tidak sedang dalam posisi saling bermusuhan.Langit di atas Istana Naga Ular mulai menggelap, meski belum malam. Cahaya yang temaram dari dinding batu memberi suasana sunyi yang menekan. Aula utama begitu besar, dengan ukiran ular dan naga yang saling membelit di setiap tiang penyangga. Aura kuno terasa menekan jiwa.Mei Hua sudah menunggu di dalam. Ketika pandangannya bertemu Xuan Li, tubuhnya menegang sesaat. Ia tidak menyangka pria itu sekuat itu. Ketika pertama kali menggodanya, ia hanya ingin mempermainkan seseorang yang tampak dingin. Namun kini, ia justru segan."Aku... tidak menyangka kau akan menang," gu
Mo Xiang berdiri di sisi arena dengan diam. Ia tidak mencegah Xuan Li. Dalam hati, ia bahkan ingin melihat lelaki itu menghancurkan arogansi klan naga ular suci.“Biar mereka tahu siapa yang mereka hina,” gumamnya. Senyum tipis terbit di wajahnya.Klan Naga Ular Suci memang besar. Tapi bagi Xuan Li, kekuatan mereka tidak lebih dari pasir kering di tangan. Sekilas mungkin tampak banyak, tapi hancur hanya dengan sedikit tekanan.Ketua Klan berdiri di sisi timur arena batu, tubuhnya tegak, mata tajam mengawasi. Suaranya menggelegar, menggetarkan tiang-tiang batu raksasa.“Kompetisi dimulai! Pertarungan pertama, Wu Yu melawan Lin Que!”Wajah beberapa tetua menegang. Penempatan ini bukan kebetulan. Ketua klan sengaja menempatkan Xuan Li di awal, berharap ia kalah secepatnya dan pergi membawa malu.Lin Que melompat ke tengah arena. Sosoknya tinggi, bersenjata tombak, napasnya dalam dan stabil. Ia adalah cucu salah satu tetua, dikenal dengan kekuatan dan kecepatannya.Namun Xuan Li hanya mel
Kedatangan mereka tidak disambut hangat.Gerbang utama terbuat dari tulang naga, menjulang tinggi. Patung-patung kepala ular raksasa menghiasi sisi kanan dan kiri, mulutnya terbuka, mengalirkan kabut dingin dari dalam. Prajurit berjubah ungu berdiri di kedua sisi pintu, mata mereka tajam, penuh kecurigaan.Begitu Mei Hua melangkah turun, puluhan pasang mata langsung tertuju padanya. Sebagian berseru pelan, sebagian terdiam dengan rahang mengeras.Xuan Li dan Mo Xiang mengikuti dari belakang. Suasana di tempat ini dingin dan berat, seperti racun tak berwarna yang merayap di udara.Mo Xiang bergumam pelan. “Apa ini… sarang ular atau penjara?” Mei Hua tidak menjawab. Langkahnya tegap, tapi Xuan Li melihat tangannya sedikit gemetar. Ia tahu bukan karena takut, melainkan karena tekanan dari sejarah dan hubungan darah yang mengikatnya di tempat ini.Seseorang berteriak dari kejauhan.“Dia kembali! Mei Hua kembali!”Tak lama kemudian, sebuah suara berat menggema dari aula utama.“Bawa dia k
Saat fajar menggigit ujung langit, aroma daging panggang perlahan mengusik kesunyian hutan kristal. Asap tipis naik di antara celah pohon, menyebarkan bau gurih yang membangkitkan naluri dasar manusia: lapar.Xuan Li membuka matanya. Meditasinya telah selesai. Napas spiritual masih mengalir di sekujur tubuh, tapi kini perutnya mengirimkan sinyal yang lebih mendesak.Ia berdiri tanpa suara, mengenakan kembali jubah hitamnya, lalu melangkah ke arah sumber aroma. Tak lama, langkah lain terdengar dari belakang.Mo Xiang menguap panjang, wajahnya masih tampak kusut.“Kenapa perutku kosong sekali…” gumamnya.Begitu mencium aroma panggangan, ia langsung terbangun sepenuhnya dan berlari mengikuti jejak Xuan Li.Di sebuah celah terbuka di antara akar pohon kristal, Mei Hua duduk bersila. Sebuah api kecil menyala di depannya, dan potongan besar daging berwarna merah keemasan berputar pelan di atas bara.Mei Hua menoleh saat Xuan Li datang. Tanpa berkata apa-apa, ia memotong sepotong dan menyodo