“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.
Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.
Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.
Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Tubuh mungil itu kini terbalut kain kebaya berwarna hijau lumut. Wajah ovalnya tampak cantik setelah dipoles sedikit make-up. Senyum terpancar indah menghias bibir tipisnya. Bahagia tidak terkira Zakia rasakan kini, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, gadis cantik itu merayakan kelulusan sekolah menengah pertama."Cieee ... yang dapet juara umum selama tiga tahun secara berturut-turut," goda Hilda seraya mencolek dagu lancip temannya, Zakia.Semburat rona merah jambu terlukis dengan malu-malu, Zakia tersenyum menanggapi gurauan temannya. "Alhamdulillah, ini hasil kerja kerasku selama ini, Hil. Selama ini aku percaya, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha," balasnya bangga.Kedua gadis remaja itu tertawa bersama. Sebagai tanda perpisahan, mereka menghabiskan waktunya di belakang panggung setelah lelah bergelut dengan berbagai acar
Malam pun tiba, purnama telah menampakkan seberkas cahayanya. Pesta ulang tahun kini digelar, berdebum melodi musik mengalun dengan begitu merdu. Suasana bising nyaris membuat gendang telinga pecah, nyeri dan berdengung.“Sudah siap?” Murni bertanya pada Zakia dengan seulas senyum. Dia berdecak kagum, anak gadisnya itu bak seorang putri raja pada malam ini.Gaun merah delima selutut membalut tubuh mungil Zakia, dengan surai hitam sepinggang yang dibiarkan tergerai. Sebuah bando pita berwarna senada dengan gaun tampak menghiasi kepalanya. Beberapa pernak-pernik pun menghiasi tubuhnya dengan anggun. Gadis itu tersenyum manis, kemudian mengangguk pelan.“Yuk, ke bawah,” ajak Murni seraya mengulurkan tangan. Zakia menerimanya dengan ragu, tanpa mengucap sepatah kata.“Itu Zakia Anastasia? Sungguh luar biasa!”“Sangat anggun dan memesona.&rdqu
Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zakia terduduk di tepi jendela sambil menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya."Ughh ... menjijikkan!" Zakia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras. Sungguh, bayangan semalam membuat dirinya sangat ingin hilang ingatan.Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas dengan semudah itu. Ia dapat mengingat dengan jelas bagaimana deru napas lelaki itu semalam. Permainan menjijikan yang anehnya membuat sekujur tubuh Zakia dijalari perasaan panas membara. Entah, ia sendiri tidak tahu perasa
"Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!" Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, ia tak mendapati sahutan dari dalam. Zakia sudah merajuk sejak dua jam yang lalu. Wanita itu mendesah berat dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri semata wayangnya. Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Ia hanya takut Zakia kenapa-kenapa di dalam. Apalagi jika mengingat riwayat mag yang diderita gadis remaja itu. "Bi Ijah, tolong kemari sebentar." Murni memanggil wanita yang berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melewati kamar Zakia hendak turun, setelah membersihkan kamar di ujung ruangan. "Iya, Nya, ada apa?" Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat. Tampak wajahnya sudah dipenuhi keriput dengan raut lelah. &n
“Nina, jangan lari kamu!” Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang. “Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.” “Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu. “Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain. “Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.” Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain se
Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya. Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah