Jin Lu mendekat, memeriksa pupil Zhenyu dengan senter kecil. Responsnya kuat. Terlalu kuat untuk seseorang yang baru keluar dari kondisi syok berat.“Kamu tahu di mana kamu berada?” tanya Jin Lu dingin.Zhenyu tidak menjawab. Tapi tatapannya kini bergerak lebih fokus. Ia melihat sekeliling. Mesin. Kabel. Bau logam. Bau antiseptik. Orang asing. Dunia asing.Ia mencoba bicara lagi, suaranya serak.“Ini... di mana?”Sua menoleh cepat. Mendengar nada suaranya... itu bukan suara pria sakit. Tapi suara seseorang yang mencoba menyembunyikan kekacauan besar dalam pikirannya.Zhenyu menatapnya lagi. Lama.Tatapan itu dalam. Sangat dalam.Dan entah kenapa, Sua merasa... tidak sedang dilihat sebagai dokter. Tapi sebagai seseorang yang... pernah dikenal.Sua Luqi menahan napas sejenak. Ruangan seketika terasa sempit. Ia tahu jenis tatapan itu tidak biasa. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, menjaga wajahnya tetap tenang.“Kamu berada di Beishan,” jawabnya, singkat. “Kawasan pemulihan darurat
“Bawa tandu! Segera!"Seorang asisten medis berlari dari ujung barak. Sua memeriksa cepat: denyut nadi lemah, luka terbuka di perut bagian kiri, dan perban di bahu... tak steril. Ada jahitan kasar, tapi tak profesional. Orang ini melarikan diri dari perawatan.Sua menghela napas pendek. Tubuhnya sendiri belum cukup kuat, tapi matanya tajam. Ia memeriksa pupil lelaki itu. Reaktif. Tapi... ada sesuatu dalam sorot matanya. Tidak asing, tapi tidak juga bisa dijelaskan.Sesaat kemudian, tandu datang. Sua berdiri perlahan, tubuhnya masih oleng. Salah satu staf hendak menggantikannya untuk memimpin penanganan, tapi Sua mengangkat tangan.“Aku akan awasi langsung,” katanya, pelan dan tegas.“Master, Anda belum pulih sepenuhnya—”“Dia bisa mati dalam waktu tiga jam ke depan jika kita salah langkah.”Suasana hening. Tak ada yang membantah lagi.Di dalam ruang perawatan darurat Beishan, Sua berdiri dengan masker dan sarung tangan, tubuhnya disangga oleh salah satu kursi putar tinggi. Ia tak bisa
Bip!Bip!Bip!Suara aneh itu menusuk dari segala arah, berulang seperti mantra mekanik. Bau menyengat yang asing memenuhi paru-paru — bau kimia.Seorang lelaki muda mendadak membelalakkan matanya. Napasnya pendek. Matanya melesat, menatap langit-langit logam di atasnya, yang penuh sorot lampu putih menyilaukan.Tangannya terikat tabung. Kabel melilit dadanya. Suara mesin mengikuti dari segala sisi.Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat dan lemas, seperti baru ditarik dari dalam air yang gelap. Kepalanya pusing, pikirannya kacau. Tapi bukan sepenuhnya kosong. Ada suara-suara samar yang terlintas di benaknya:"Kamu tidak boleh keluar, Zhenyu." "Ini demi menstabilkan jaringan syaraf." "Kamu akan sembuh."Suara-suara itu... terdengar jelas. Seolah ditunjukkan kepadanya."Zhenyu?" gumamnya sembari melihat sebagian tubuhnya yang setengah telanjang, hanya dibalut kain putih steril. Luka menganga di bahunya masih segar, dijahit rapi. Di sisi ranjang, layar digital menampilkan gelom
Tahun 2025.Dunia tak lagi dipisah oleh bendera dan parlemen. Setelah pandemi global, krisis pangan, dan keruntuhan sistem internasional, umat manusia berhenti memilih dan mulai tunduk.Kini, seluruh kekuasaan terkonsentrasi pada satu titik tunggal: Kerajaan Dunia Yancheng, dipimpin oleh Yang Mulia Raja Yan Shiming — sosok yang lebih sering disebut sebagai algoritma hidup daripada pemimpin.Ia membangun dunia baru dari reruntuhan dunia lama, berpusat di Yancheng — kota benteng berteknologi tinggi yang berdiri di atas dataran tinggi timur Asia, terisolasi dari massa publik. Kota ini dilapisi baja-kaca, dijaga drone otonom, dan dikendalikan oleh sistem pengawasan sentral bernama SIVA. Tidak ada pendapat umum. Tidak ada hak jawab. Hanya efisiensi, data, dan kendali total.Raja Yan dikenal sebagai pemimpin yang tak pernah tersenyum. Seorang mantan direktur AI global dengan latar belakang ilmu sistem, ia naik takhta bukan lewat darah, tapi lewat perhitungan. Putranya, Yan Zhenyu, satu-satu
Suara monoton mesin detak jantung memantul dari dinding putih. Bau antiseptik menyengat hidungnya, menusuk lebih dalam dari luka mana pun. Cahaya lampu di atas kepala membuat matanya menyipit.Sua Luqi terbangun.Napasnya pendek. Dada kirinya terasa berat, seperti ditimpa besi panas yang sudah lama tertanam di sana. Rasa nyeri menjalar di sisi tulang rusuk, tepat di tempat peluru pernah bersarang. Ia merintih kecil, menggerakkan tangan yang dipenuhi kabel infus dan sensor medis.Tubuhnya masih lemah. Tapi pikirannya langsung bertanya: di mana ini? Siapa yang tahu dia masih hidup?Sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara yang begitu familiar — meski terdengar seperti dari mimpi — menyambutnya."Ajaib...! Kamu benar-benar sadar!"Sua memutar kepalanya. Di sisi ranjang, sosok tua dengan rambut perak tipis dan sorot mata tajam kini berdiri dari kursi rotan yang telah lama didiaminya. Kakeknya. Jin Lu.Pria itu — mantan ketua Lembaga Medis Tradisional yang dikenal luas karena prinsipnya ya
Deg!Rai membeku. Matanya membulat. Di tengah dinginnya kulit Sua, di antara kehancuran yang menelan seluruh tempat suci itu, ia merasakan satu hal yang tak masuk akal — detak jantung.Bukan ilusi. Bukan bayangan.Detak itu nyata. Menggema di dadanya. Pelan, tapi kuat. Seperti palu kecil yang mengetuk dinding hatinya yang retak. Bukan detaknya sendiri — dan bukan pula detak dari tubuh Sua yang sudah tak bernyawa di pelukannya.Detak itu berasal dari tempat lain. Jauh. Seolah melintasi dimensi, menyusuri celah tak terlihat antara dunia ini dan sesuatu yang asing.“… Linjin?” bisiknya, nyaris tak percaya.Ia menempelkan telinganya ke dada Sua — tak ada denyut. Tubuh itu dingin. Nyaris membatu. Tapi tanda kepemilikan yang menghubungkan jiwanya dengan milik gadis itu masih membara samar, seperti sumbu api yang belum padam sepenuhnya.Dan di balik sisa bara itu... detak itu kembali terdengar.Deg.Seperti suara dari mimpi buruk yang belum selesai.Rai menarik napas tajam. Tangannya gemetar,