Namun, kenapa memangnya?Perasaan bukanlah pelengkap, bukan pula permainan hiburan. Sekali terlibat, maka harus sepenuh hati.Namun, Nadine masih punya begitu banyak tugas yang harus diselesaikan, banyak eksperimen yang belum dijalankan.Dia baru membuka sedikit pintu gerbang akademik, baru menjelajahi dunia riset. Ada begitu banyak hal yang menunggunya, mana sempat dia memikirkan cinta?Setelah mendengarnya, hati Arnold sedikit mencelos. Namun, dia sudah menduganya. Jika Nadine jatuh cinta semudah itu, justru itu bukan Nadine yang dia kenal."Aku paham." Tiba-tiba, Arnold menghela napas lega. Bibirnya perlahan terangkat, senyuman mulai terlihat di sudut matanya.Nadine ikut tersenyum. "Ubi panggangnya manis nggak?"Arnold mengangguk. "Manis.""Kalau begitu, lain kali aku traktir lagi.""Oke."Mereka berpisah di depan pintu apartemen, lalu masuk ke apartemen masing-masing.Hal pertama yang dilakukan Nadine adalah membuka buket mawar biru itu, lalu membaginya ke dua vas bunga. Dipadukan
Keesokan paginya, Nadine terbangun karena dering telepon.Langit masih remang-remang. Dia mengucek mata, mendapati bahwa masih belum pukul 7 pagi. Dia menguap, membuka mata, meskipun otaknya masih belum sepenuhnya sadar.Nadine pun menempelkan ponsel ke telinganya. Suaranya masih serak khas orang yang baru bangun tidur. "Ayah, kenapa telepon sepagi ini?"Jeremy di seberang sempat terdiam sesaat, lalu terdengar gugup dan kebingungan. "Nadine ... Kakek dan Nenek dari pihak ibumu datang."Nadine awalnya belum bisa mencerna. "Dari pihak Ibu? Kakek dan nenek yang mana?""Ya, orang tua kandung ibumu. Kakek dan nenek biologismu."Nadine terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba duduk tegak. Untuk beberapa saat, dia tak bisa berkata apa-apa.Butuh waktu cukup lama hingga dia melompat turun dari tempat tidur. "Aku akan beli tiket pulang sekarang."Tepat pukul 12 siang, pesawat mendarat. Nadine keluar dari bandara dan langsung menghentikan sebuah taksi.Sebelum sampai di depan rumah, dia sudah meli
Nadine buru-buru mencoba menenangkan ayahnya, "Ibu menemukan orang tua kandungnya itu kabar baik."Selama ini, Irene adalah seseorang tanpa masa lalu yang jelas. Dulu, dia pernah punya keinginan untuk mencari asal-usulnya. Namun, setelah sekian lama tanpa hasil, dia sudah berhenti berharap.Kadang-kadang, Irene bahkan membayangkan dirinya seperti tokoh dalam novel. Masa kecil tragis, orang tua dibunuh musuh ....Lambat laun, Irene berhenti memikirkan hal itu dan tak lagi berandai-andai.Namun, Nadine tetap bisa merasakan kerinduan ibunya terhadap keluarga. Jadi, saat Jeremy menyebut kakek dan nenek dari pihak ibunya datang, reaksi pertama Nadine adalah gembira, gembira untuk Irene.Namun, Jeremy jelas belum bisa mencerna semuanya secepat itu."Ayah sudah hidup bersama Ibu sekian lama, masa masih nggak tahu gimana sifatnya? Luarannya kelihatan lembut dan tenang, tapi Ibu itu orang yang punya pendirian kuat. Begitu memutuskan, nggak ada yang bisa menggoyahkannya.""Ayah dan Ibu sudah ber
Kini, Safir merasa sangat bersyukur karena mendengarkan saran dari Stendy yang menyuruhnya melanjutkan pengobatan matanya serta menjaga kesehatannya.Penglihatannya perlahan mulai pulih. Karena itulah, dia akhirnya bisa melihat dengan jelas betapa miripnya wajah cucunya dengan putrinya.Irene kaget mengetahui putrinya dan orang tuanya sudah saling mengenal sejak lama. Nadine pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka.Corwin tak kuasa untuk berkomentar, "Aku dan ibumu sudah mencarimu selama bertahun-tahun ke mana-mana, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak kusangka, ternyata kita sedekat ini, bahkan sempat terlewat dua kali. Untung saja kali ini nggak terlewat lagi."Mendengar itu, Safir teringat bahwa Nadine dan Stendy sudah saling mengenal sejak lama. Ternyata, takdir memang punya jalannya sendiri."Nadine, omong-omong, Stendy itu sebenarnya sepupumu lho. Selama ini, dia sama sekali nggak sadar ...."Sejak tadi, Stendy tidak melontarkan sepatah kata pun. Wajahnya tegang dan k
"Stendy!" Nadine menyela perkataannya, menatap langsung ke matanya. "Pikirkan baik-baik apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, apa yang seharusnya kamu katakan, baru buka mulut.""Kamu tahu, 'kan?" Pria itu menyudutkannya di antara dinding dan dadanya, kedua tangannya pun menahan di sisi tubuh Nadine."Memangnya kenapa kalau aku tahu? Hubungan kita sekarang nggak pantas untuk ....""Apa hubungan kita?" Stendy menyeringai, sudut bibirnya terangkat dengan getir. "Katakan, aku ini siapamu?""Kakak sepupu.""Mungkin kamu belum tahu, ibuku sebenarnya bukan anak kandung kakek dan nenekku. Itu artinya, kita nggak punya hubungan darah!"Nadine termangu sejenak. "Mau ada hubungan darah atau nggak, aku dan kamu tetap nggak punya peluang untuk bersama.""Kenapa?""Karena aku nggak suka sama kamu."Lagi-lagi kalimat itu! Selalu saja kalimat itu!Stendy mencengkeram bahu Nadine dengan agak kuat. "Kenapa kamu nggak bisa suka sama aku? Kamu dulu pernah suka sama cowok berengsek seperti Reagan, kenap
Stendy memilih sebuah bar. Begitu duduk, dia langsung memesan beberapa botol minuman keras, menuangkannya gelas demi gelas tanpa henti. Selama itu, beberapa wanita mencoba mendekatinya, tetapi semuanya diusir tanpa pengecualian.Wajah Stendy memerah karena alkohol. Setelah pandangannya mulai kabur, dia memutuskan untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan, kepalanya pusing dan berat. Saat memejamkan mata, yang muncul hanyalah wajah Nadine.Dia tidak mengerti kenapa dia selalu terlambat satu langkah? Dulu, dia kalah dari Reagan. Sekarang, kalah lagi karena status sialan sebagai sepupu.Haha .... Tuhan tidak pernah berpihak padanya!Begitu keluar dari taksi, Stendy masuk ke lobi hotel dengan sempoyongan. Saat pintu lift terbuka, aroma harum langsung menyeruak, lalu tubuh seorang wanita bersandar padanya. Wanita itu sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Stendy, menggoda tanpa malu.Suaranya manis hingga terasa menjijikkan. "Ganteng, sendirian saja? Kamu kelihatannya mabuk. Gimana kalau
Inez mengikuti alamat yang tertera dalam dokumen dan menemukan tempat tinggal Irene saat ini. Dia berdiri di luar gerbang besi, mendongak menatap vila di hadapannya.Tak disangka, bagian luar kompleks ini terlihat biasa saja. Akan tetapi, setelah masuk, ternyata cukup mengejutkan. Jelas-jelas terdampar sampai ke kota kecil seperti ini, tetapi masih bisa tinggal di vila.Heh .... Sudut bibir Inez terangkat. Adiknya ini memang selalu beruntung sejak kecil. Bahkan saat ke kuil, biksu tua akan keluar menyambutnya, merapatkan tangan, dan berkata bahwa dia ditakdirkan menjadi orang kaya.Sedangkan dirinya, berdiri di samping seperti tak kasatmata. Selama ada Irene di suatu tempat, maka tak akan ada yang memperhatikan dirinya.Setelah melewati taman, Inez sampai di depan pintu utama, tersenyum tipis, dan menekan bel pintu.Yang membukakan pintu adalah Jeremy. Dia sempat menanyakan makanan favorit orang tua Irene. Setelah tahu mereka lebih suka sarapan dengan makanan berbasis tepung, dia pun b
"Berkumpulnya satu keluarga itu hal yang baik," kata Corwin dengan nada haru.Jeremy segera mengangguk setuju.Irene baru teringat bahwa dia belum memperkenalkan Jeremy kepada Inez."Ini suamiku.""Halo." Inez tersenyum tipis. "Adik Ipar terlihat sopan dan berwibawa."Kali ini, tidak ada lagi tatapan menilai atau mencela dari matanya.Jeremy membalas dengan anggukan kecil. "Halo."Sopan, tetapi dengan sedikit jarak yang nyaris tak terasa.Orang lain mungkin tidak menyadari, tetapi Irene yang telah hidup bersama dengannya selama bertahun-tahun langsung menangkap gelagat aneh itu.Dia menatap Jeremy dengan heran. Namun, Jeremy hanya menggeleng dan memberikan isyarat lewat mata. Nanti baru dibicarakan.Entah kenapa, kakak ipar yang satu ini memberinya perasaan yang sangat aneh dan tidak nyaman. Karena itulah, dia bersikap hati-hati."Ayah, pangsitnya masih ...." Mau dimasak?Eh? Nadine keluar dari dapur dan langsung tertegun melihat banyak orang di ruang tamu. Detik berikutnya, pandangann
"Aku memang belum pernah menerbitkan jurnal, belum ada hasil akademi. Tapi, gimana dengan hasil-hasil yang dimiliki Nella selama ini? Memangnya kamu nggak tahu apa-apa?"Mata Diana sedikit berkilat. "Aku nggak paham apa yang kamu maksud.""Kamu mungkin lupa, sebagai putri Keluarga Yudhistira, aku paling nggak kekurangan uang dan relasi. Cuma perlu sedikit uang, aku sudah bisa sewa orang buat cari informasi tentang Nella. Mudah saja. Kamu tahu apa yang aku temukan?"Diana tampak terkejut."Di dunia ini nggak ada hal yang begitu kebetulan. Bu, margamu dan marga Nella sama. Kalian punya hubungan keluarga, 'kan?""Terus, kenapa?" tanya Diana. Nada bicaranya keras, tetapi terkesan rapuh.Clarine tersenyum mengejek. "Kenapa? Nilai Nella waktu SMP jelek banget, tapi pas SMA tiba-tiba jadi genius. Bukan cuma menang berbagai kompetisi, dia juga menerbitkan makalah yang dimuat di majalah bergengsi. Apa perlu aku bantu kamu cari tahu semua detailnya?""Kamu ...." Diana terdiam, tubuhnya gemetar k
Kompetisi Ilmu Hayati Mahasiswa Nasional diadakan setahun sekali. Tiga tahun lalu, kompetisi ini secara resmi masuk dalam daftar peringkat kompetisi mahasiswa nasional untuk perguruan tinggi umum yang dirilis oleh kelompok kerja evaluasi dan manajemen kompetisi perguruan tinggi asosiasi pendidikan tinggi.Sejak saat itu, kompetisi ini menjadi salah satu ajang akademik tingkat nasional yang diakui oleh kementerian pendidikan.Ini juga merupakan kompetisi paling bergengsi di bidang ilmu hayati untuk mahasiswa di seluruh negeri.Kompetisi ini terdiri dari dua kategori, penelitian ilmiah eksploratif dan inovasi kewirausahaan yang dibagi dalam jalur berbeda dan berlangsung dalam periode yang sama.Tujuannya untuk menguji kemampuan inovasi mahasiswa dan proses penelitian eksperimen mereka.Tanpa diragukan lagi, Nadine jelas akan ikut serta. Begitu mendengar kabar ini, Mikha dan Darius langsung bersemangat hingga menggosok tangan mereka. Bagaimanapun, bonus nilai di akhir semester saja sudah
Bahkan, Jinny tidak panik meskipun nilai rata-rata ujian akhirnya hanya 70 dan ada beberapa mata kuliah yang nilainya pas-pasan. Toh dia memang tidak ambil pusing soal itu. Untuk apa capek-capek mikirin hal yang bukan prioritas?Sebagai perempuan, kuliah tinggi-tinggi, mengejar gelar dari kampus top, pada akhirnya tujuannya hanya untuk menikah dengan pria mapan dan hidup enak.Saat ini, dia duduk di antara Nella dan Clarine. Wajahnya tenang, tidak terburu-buru, seolah-olah dia hanya penonton yang tidak terlibat.Nella tahu Jinny punya pacar tajir dan sekarang tidak peduli lagi pada urusan akademik. Wanita ini hanya ingin menikah dengan pria kaya.Nella paling jijik dengan tipe-tipe perempuan yang hanya mengandalkan pria kaya dan ingin hidup sebagai istri manja.Namun, yang membuatnya bingung adalah Eden juga terlihat santai seperti Jinny. Laboratorium mereka sedang dalam masa perbaikan. Selain Diana, orang yang paling panik seharusnya adalah Eden!Beberapa topik riset penting yang dita
Diana menantang, "Pergi saja! Kalau aku kena masalah, kamu juga bakal kena batunya!"Clarine membalas, "Siapa takut ...."Diana menyipitkan mata. "Clarine, kayaknya kamu lupa gimana dulu bisa keterima S2?"Langkah kaki Clarine langsung terhenti.Diana tertawa kecil. "Aslinya kamu itu nggak lulus tes. Kalau bukan karena aku buka jalan untukmu, kamu pikir kamu bisa berdiri di sini hari ini?""Silakan saja kalau kamu mau lapor, aku nggak akan halangi. Pokoknya kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Kalau aku dipecat, kamu yang masuk pakai cara kotor dengan sogok sana sini juga bakal kena. Bagus, 'kan?"Clarine sampai gemetar karena marah. "Dasar nenek sihir jahat!""Jahat?" Diana mendengus. "Kita sama saja."Tanpa nilai tambahan dari proyek, nilai akhir semester Clarine benar-benar menyedihkan. Dia gagal di tiga mata kuliah. Nilai mata kuliah lainnya pun rata-rata cuma 70-an. Kalau orang lain tahu, dia bisa ditertawakan. Bahkan nilai Kaeso si penjilat itu pun lebih bagus dari dia!Setiap k
Selain itu, laboratorium atas nama Diana dilaporkan karena tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran dan terpaksa menjalani perbaikan.Sampai sekarang pun perbaikannya belum juga disetujui. Selama masa itu, sudah pasti tidak mungkin ada hasil akademik apa pun. Jadi, dalam rapat kali ini, tim Diana jauh lebih sunyi dibanding sebelumnya.Kaeso yang biasanya setiap rapat selalu menyeringai sinis, kali ini justru diam seperti ayam di kandang.Wajah Clarine pun tampak masam. Karena laboratorium sedang dalam proses perbaikan, proyek riset yang sebelumnya susah payah dia rebut dari Diana juga ikut menguap.Saat dia mencoba meminta Diana mengaturkan proyek lain, dia malah langsung disemprot habis-habisan."Proyek! Proyek! Aku juga ingin proyek! Sekarang labku harus diperbaiki, semua proyek mandek. Terus, aku harus cari di mana buat kamu?""Lagi pula, kalaupun aku punya proyek, kamu yakin sanggup mengikuti ritmenya dan menghasilkan sesuatu yang konkret?""Jangan serakah kalau nggak sanggup!
Nadine sempat termangu, lalu tertawa geli. "Ada! Tentu saja ada! Aku kasih ke kamu, kamu bantu kasihkan ke dia ya?""Oke, oke!"Nadine mengambil beberapa kaleng lagi dan meletakkannya di mobilnya."Hehe. Kak Nad, kamu baik banget!""Aku rasa kamu dan Darius cocok juga." Usai mengatakan itu, Nadine turun dari mobil, lalu menarik koper dan berjalan menuju gedung apartemen.Mikha sama sekali tidak menyadari nada menggoda dalam ucapan tadi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gembira."Halo! Darius! Kamu di apartemen nggak? Aku bawain dendeng dan saus daging sapi buat kamu! Ya, dari Kak Nadine."Di seberang sana, Darius menyahut, "Ya, aku di apartemen. Kamu datang saja.""Oke deh! Aku bakal sampai dalam 20 menit.""Hm, hm."Setelah menutup telepon, Darius segera berlari turun, mengenakan jaket, dan mengganti sepatu. "Nenek, siang ini aku nggak makan di rumah, malam ... malam juga nggak pulang!""Kamu mau ke mana?""Balik ke apartemen!""Eh? Bukannya sudah janji makan di sini hari ini?"Dariu
Terutama Safir, selama dua hari ini tinggal di vila, matanya sudah membaik, pinggang juga tidak sakit lagi. Sepanjang hari dia tersenyum, makannya juga lahap sekali.Corwin sampai memanggil dokter pribadi, sopir, serta pengawal kemari. Sepertinya, mereka sudah siap untuk tinggal lama di sini.Irene sempat khawatir Jeremy tidak terbiasa. Hasilnya ...."Terbiasa dong! Kenapa nggak? Ibu bisa tanam bunga dan sayur bareng aku, Ayah juga bisa main catur sama aku."Sebelumnya, dia justru bingung apa yang harus dilakukannya selama liburan musim dingin. Irene kebanyakan menghabiskan waktu di ruang kerja untuk mengetik. Namun, sekarang Jeremy bukan hanya punya partner bercocok tanam, tetapi juga teman bermain catur.Irene hanya bisa tersenyum. Sepertinya dia yang berpikir terlalu jauh.Jeremy pun terkekeh-kekeh melihat istrinya. "Hehehe."Nadine hanya tinggal dua hari. Hari ketiga, dia langsung balik ke Kota Juanin. Eksperimen belum selesai, tesis juga harus dikejar sebelum tahun baru.Seperti o
Rebut? Stendy langsung tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, harus yakin bisa direbut juga."Paulus berkata, "Kalau nggak coba, bagaimana bisa tahu nggak bisa direbut?""Kenapa? Kamu ingin merebut Bibi Irene? Hah. Kamu harus bisa melewati Kakek dan Nenek dulu," kata Stendy.Paulus yang tidak tahu harus bagaimana menanggapinya pun langsung menatap Stendy dengan tajam. "Wanita mana yang sebenarnya sudah meninggalkanmu? Coba ceritakan."Stendy pun terdiam."Bukankah tadi kamu begitu pandai melawan? Kenapa tiba-tiba jadi diam?" sindir Paulus."Kamu juga nggak kenal," jawab Stendy.Paulus juga tidak bertanya lebih lanjut lagi, melainkan mengangkat gelasnya. "Sini. Kita jarang bisa bertemu seperti ini, ayo kita minum."Klang.Setelah mengatakan itu, keduanya bersulang dan menelan kembali kekhawatiran masing-masing.Saat malam makin larut. Stendy yang sudah minum cukup banyak pun pandangannya mulai kabur. Sebaliknya, Paulus yang sudah minum banyak pun ekspresinya tetap terlihat sadar dan tang
"Apa? Pria berengsek ini begitu hebat? Datang ke bar untuk mabuk pun sampai bawa pengawal?" kata gadis itu."Mana tahu," jawab temannya.....Stendy sengaja meminta dua pengawal untuk mendekat. Setelah telinganya akhirnya tenang, dia kembali menuangkan segelas minuman untuk dirinya lagi. Namun, kali ini dia tidak minum dengan liar seperti semalam lagi, melainkan meminumnya perlahan-lahan dan ekspresinya datar. Pada saat itu, pandangannya tiba-tiba berhenti dan fokus pada tempat duduk yang tidak jauh darinya.Saat menyadari ada orang yang mengamatinya, Paulus melihat ke arah yang sama dan ternyata matanya bertemu dengan mata anaknya. Suasananya menjadi hening sejenak dan keduanya langsung mengalihkan pandangan mereka.Setelah berpikir sejenak, Stendy membawa botol minuman dan mendekati tempat duduk Paulus. Dia langsung duduk di samping ayahnya dan bertanya, "Wah, datang buat minum ya?"Paulus melihat ke sekeliling sekilas dan berkata, "Omong kosong."Jika datang ke bar bukan untuk minum