Jessie kembali ke apartemennya setelah selesai sarapan. Begitu masuk, ia melihat Tian yang sudah duduk di ruang tamu seraya menikmati secangkir kopi, tatapan pria itu tertuju pada televisi.
"Baru pulang? Semalam di mana?" tanya Tian mengintimidasi meski ia sudah tahu, tapi demi menjaga kerahasiaan rencana mereka. Ia pun harus pura-pura tidak tahu.
"Emm ... itu, aku bersama Arkan," jawab Jessie sedikit canggung, ia sampai mengusap tengkuk lehernya.
Tian pura-pura terkejut dan langsung memicingkan mata, sungguh aktingnya benar-benar sudah seperti aktor.
"Arkan! Pemuda itu? Bagaimana bisa kamu bersamanya?" tanya Tian pura-pura panik.
"Ah ... ceritanya panjang. Aku mau mandi dulu." Jessie langsung berlalu menuju kamarnya
Dalam hati, Tian tertawa geli. Bisa-bisanya ia berpura seperti itu, tak menyangka jika rencana mengerjai adik sepupunya itu akan berhasil.
<Arkan pergi ke apartemen Jessie pada malam hari, mereka tengah menikmati makan malam bersama. Pemuda itu memang sengaja melakukan itu karena ia ingin menciptakan memori dan kenangan manis untuk kekasihnya. Arkan tidak pernah berharap lebih, ia hanya tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada untuk bersama Jessie, bagi Arkan setiap detik sangatlah berharga. "Kamu sangat menikmatinya?" tanya Arkan yang melihat Jessie makan begitu lahap. "Iya," jawab Jessie singkat. Jessie selalu makan makanan yang direkomendasikan Tian. Dulu saat di rumah, orangtuanya sering bertanya kenapa Jessie hanya makan oatmeal dan susu di pagi hari kemudian salad buah atau jenis ikan di malam hari serta selalu menolak makanannya berbumbu bawang, Jessie hanya menjawab jika dirinya alergi bawang dan tengah melakukan diet. Jessie merasa tidak tega jika ayahnya sampai tahu penyakitnya. Arkan meraih piri
Setelah Arkan pulang, Jessie masih terlihat menatap ke arah jendela. Apakah dengan menerima pernikahan itu akan membuat Arkan bahagia?Jessie menatap ujung jemarinya, warna pucat di kulit terlihat jelas. Meski Tian mengatakan jika untuk saat ini penyakitnya tidak mengalami peningkatan efek di dalam tubuhnya, tapi ia tetap saja khawatir."Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan lama? Apa itu akan membuatmu bersedih? Jika aku pergi, apa kamu akan merelakan 'ku?"Jessie mengusap kedua lengannya, ia memejamkan mata seraya menarik napas panjang.--Hari berikutnya Tian meminta izin untuk kembali ke Australia karena dia sendiri memiliki seorang putri yang harus di jaga. Tian memang sudah menikah, tapi sudah bercerai dan kini putri hasil dari pernikahannya yang gagal, dialah yang merawat."Ingat untuk selalu membawa obatmu, aku sudah meresepkan untuk cadangan jika ha
Jelas ia menyembunyikan kebenarannya, pria itu melirik pada istrinya yang terlihat biasa saja. Ia takut jika istrinya tidak bisa menerima kebenaran kalau ia melakukan korupsi demi menyelamatkan nyawa putri mereka."Ayah!" panggil gadis kecil itu dengan senyum mengembang.Pria itu berusaha tersenyum dengan raut wajah penuh kekhawatiran, sedangkan Jessie sedikit menatap tajam pada karyawannya.Pria itu mengecup kening putrinya, lantas menyerahkan bungkusan yang ia bawa ke sang istri."Nona Jessica kesini untuk menjenguk putri kita, dia memang baik seperti yang kamu katakan," ujar wanita itu seraya mengambil bungkusan dari tangan suaminya."Be-benarkah? Maksudku, tentu saja," ucap pria itu tergagap bingung."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Jessie dengan tetap bersikap tenang."Tentu," jawab pria itu.Ia mengusap sisi w
Mobil Arkan sudah memasuki halaman rumah sang kakak, rumah besar itu terlihat begitu terang. Sepertinya Alesha memang sudah menyiapkan segalanya.Pemuda itu memarkirkan mobilnya di halaman depan, lantas mengajak Jessie untuk turun dan masuk ke rumah. Dua pelayan rumah sudah berdiri di luar pintu, menyambut kedatangan keduanya.Jessie mengatur napasnya, bertemu dengan keluarga pemuda yang ia cintai secepat ini membuatnya benar-benar sedikit tertekan dan gugup."Om Arkan!" teriak Lala, putri Alesha yang kini berumur empat tahun.Gadis kecil itu berlari menuruni anak tangga dengan cepat ketika melihat adik ibunya datang. Lala langsung melompat ke gendongan Arkan."Halo bocah kecil! Kamu aktif banget, hah!" Arkan mencubit pelan hidung mancung gadis yang sudah berada di gendongannya."Hahahaha. Aku 'kan lincah, Om! Cantik, imut, kuat, manis. Pokoknya yang baik-baik itu ada di aku,"ucap g
Pagi itu Jessie tampak sudah bersiap-siap untuk pergi kencan bersama Arkan. Ia keluar dari kamar dan mendapati Arkan sedang berada di dapur, semalam Jessie memang menginap di apertemen Arkan karena pemuda itu bersikukuh agar Jessie tinggal sebab ia khawatir jika Jessie berada di apartemen sendiri, alhasil di sinilah Jessie di pagi hari."Ar, kamu sedang apa?" tanya Jessie yang melihat Arkan malah sibuk di dapur."Membuat makan siang untuk kita, aku tidak mau kamu makan sembarangan jadi aku masak sendiri," jawab Arkan sedikit menoleh kemudian kembali pada masakan yang sedang ia olah.Jessie mengulas senyum bahagia, ia pun berjalan mendekat dan berdiri tepat di sampaing Arkan yang sedang memanggang salmon."Baunya enak, Ar!" Jessie menghidu aroma dari uap yang mengepul.Arkan mengulas senyum lantas membentur kepala Jessie pelan. Gadis itu mengaduh seraya memegangi dan mengusap kepa
Waktu semakin cepat berlalu, Sudah hampir dua bulan Arkan dan Jessie menjalin kembali hubungan mereka, memupuk rasa cinta agar bisa terus tumbuh. Sejak ada Jessie, Alesha tidak pernah lagi mengantar sarapan atau sekedar membetulkan dasi adiknya karena Arkan melarang wanita itu datang. Sudah dipastikan jika Arkan bergantung pada Jessie tiap pagi.Jessie sendiri kini tinggal bersama Arkan, ia menempati kamar kosong yang terdapat di unit apartemen pemuda itu. Arkan senantiasa mencemaskan kesehatan Jessie setiap waktu, karena itu Arkan meminta agar Jessie tinggal bersamanya agar bisa terus memantau dan mengawasi keadaan kekasihnya."Bagaimana perusahaanmu? Apa semua berjalan dengan lancar?" tanya Arkan di sela sarapan."Ya, terima kasih. Berkat pinjaman dari perusahan, kondisi pabrik kini sudah berjalan lancar lagi," jawab Jessie mengulas senyum.Pagi ini Arkan sarapan roti panggang dengan daging cincang, sedangkan Jess
"Jika masih diberi kesempatan, maka aku ingin sekali melihat senyum hangatnya lagi. Menebus kesalahanku dua tahun lalu. Tuhan, izinkan aku melihatnya lagi, biarkan aku hidup untuk membahagiakannya meski hanya sekejap, aku mohon."Pergi tanpa mengucapkan sepatah kata kepada orang yang dicintai adalah hal terberat yang harus dilakukan. Dalam alam bawa sadarnya, Jessie mengalami pergulatan batin, ingin rasanya ia melepas belenggu yang membuatnya tidak bisa bangun. Mengharapkan sebuah uluran tangan untuk menariknya dari jurang yang gelap dan dingin."Jes, saat kamu sadar mari menikah. Aku sudah menyiapkan segalanya, agar kelak saat kamu menutup atau membuka mata, aku akan selalu ada di hadapanmu dengan senyum hangat yang hanya untukmu, sesuai dengan janjiku."Suara Arkan seakan sedang menembus alam bawah sadar Jessie, memberikan setitik cahaya putih yang menembus gelapnya langit."Arkan!"Jessie melihat
Arkan dan Jessie menoleh ke arah pintu secara bersamaan, Jessie terlihat termangu ketika melihat siapa yang datang. Arkan yang menyadari perubahan ekpresi Jessie pun berusaha menebak."Jessie," lirih wanita itu."Mom."Wanita itu terlihat bingung bagaimana seharusnya bersikap pada Jessie, putri yang ia abaikan enam tahun terakhir ini hanya demi keegoisan sesaatnya."Mom!" panggil Jessie.Meski Jessie pernah merasa sakit hati karena ibunya itu tidak memikirkan dirinya. Namun, saat ini ia butuh dukungan dari banyak orang untuk tetap bertahan. Jessie mencoba memaafkan kesalahan ibunya dan berniat menerima wanita itu.Jessie mengulurkan tangannya, membukanya lebar untuk menerima kedatangan wanita itu. Ibu Jessie langsung menghampiri gadis itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca, ia berpikir jika Jessie akan menolak dan mengusirnya. Namun, siapa sangka jika Jessie memiliki hati yang lapa