Share

Takdir Yang Tertunda
Takdir Yang Tertunda
Penulis: Ai

Episode 1-2

Tet ...

Dengan mata masih terpejam ku gapai ponsel yang berdering di samping tempatku terbaring. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. Tuntutan kerjaan membuatku harus kerja lembur tiap hari

"Sayang, ini aku. Apa kamu sudah bangun?" suara seseorang di seberang telpon membuatku terhenyak. Suara yang begitu sangat kurindukan. Seseorang denga suara khasnya serak-serak basah.

Tut ...

Entah sengaja atau tidak panggilan itu tiba-tiba terputus. Tidak mau munafik, ada degup keras di jantungku mendengar suara di seberang telpon, entah sudah berapa lama suara itu tak terdengar. Buru-buru aku cek kontak WhatsAap, kulihat nomerku yang terblokir sudah terbuka.

"Mau apalagi manusia itu?" gumamku pelan sambil beranjak dari tempat tidur. Hampir sebulan lebih manusia brengsek itu menghilang bahkan sengaja memblokir kontak WhatsAap aku.

"Tenang  Ve, tenang," ucapku dalam hati. Sambil menarik dan menghembuskannya, agar kemarahanku mereda.

"Seandainya kamu tidak punya masa lalu itu, seandainya kamu tidak punya status itu dan seandainya selisih umur kita masih bisa diperbaiki, aku tidak mungkin  akan menyakiti kamu selama 6 tahun!"

Ucapan itu berapi-api tanpa titik koma bahkan berderu dengan nafasnya antara marah, sedih nangis, dan terisak.

Aku tercenung, terpaku, terdiam bahkan tak terucap satupun  kata dari mulutku. Hanya saja hatiku dari tadi komat- kamit tanpa henti bahkan air mataku pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut berpartisipasi melelehkan kristal beningnya.

"Kamu pikir aku mau punya status sperti ini, kamu pikir aku mau punya masa lalu seperti ini, dan kamu pikir siapa yang perduli mencintai orang dengan selisih perbedaan umur yang begitu banyak!" teriakku dalam hati tapi mulutku terkatup rapat-rapat, hanya suara isak tangis mulai terdengar dari bibirku.

Yah! Itu pembicaraan sebulan kemarin sebelum lost contact dengan dia, Farhan. Seseorang yang bisa dibilang orang yang menempati posisi teratas di hatiku mulai dari 6 tahun yang lalu.

Pasti banyak yang tidak menyangka hubunganku dengan Farhan itu terbentang jarak bermil-mil. Bukan hanya LDR, tapi hubungan kami hubungan virtual, yang hanya dipertemukan lewat gadget dengan vc. Tapi hubungan ini bisa dibilang sudah sampai tahap serius. Hanya saja, semua kandas karena status yang aku miliki.

 Aku bukan wanita yang sempurna lagi. Aku hanya wanita yang punya masa lalu kelam, dan status yang dipandang sebelah mata oleh semua orang.

Aku hanya wanita bekas orang, yang sangat mustahil bisa diterima di dalam keluarga yang berkasta dan bermartabat, apalagi aku hanya orang dari kasta susah.

Tet ...

Aku terhenyak mendengar ponselku berdering lagi. Rasanya sudah capek aku bertengkar dan ribut terus sama dia. "Apa lagi?" suaraku serak setengah menjerit.

"Sayang, maafin aku, ini memang kesalahanku, aku minta maaf," suara di seberang panik. Tapi kepalaku sudah berdenyut-denyut tak karuan.

"Itu lagi-itu lagi, selalu minta maaf," desisku sambil mengusap wajahku yang keruh. Aku terlalu bodoh, selalu memberikan maaf buat dia.

"Sudahlah, kita perjelas saja semua, aku capek begini! Kita sudahi saja hubungan tidak jelas ini,"

 "Tapi, Sayang,"

 Tut ...

Dalam sekejab aku tutup telfon itu. Yah, semua harus diselesaikan, biar rasa menggantung ini cepat kelar. Tidak ada lagi yang harus ditunggu dan diharapkan. Sungguh rasanya capek sekali dengan hubungan virtual ini. Enam tahun tak bertujuan, semua ngambang, nggantung tidak ada kepastian.

 "Aku tidak mau putus, aku tidak sanggup kehilanganmu!" suara itu melengking keras. Bernada panik dan ketakutan. Sesaat aku terdiam membiarkan suasana itu hening. Mencoba membiarkan hati kami masing-masing bicara sendiri.

"Sebenarnya, mau kamu apa sekarang? Sudah jelas kita tidak bisa bersama. Dari awal, semua permasalahan ini hanya kamu yang bisa menyelesaikan, kamulah yang jadi kunci dari hubungan kita."

"Aku tahu, tapi intinya saat ini aku tidak mau hubungan kita berakhir."

"Egois!" celetukku menyambar ucapannya. Huh, kuhembuskan nafas dalam-dalam sambil terisak. Apa mungkin akan begini terus?

Terdengar tarikan nafas berat dari seberang telfon. Lama dia terdiam, membuatku jengah menunggunya.

"Kasih kesempatan aku lagi, Sayang. Aku mohon--"

Suara itu menghiba membuat hatiku menjadi lemah. Aku kembali menghela nafas dalam-dalam, mendegar permohonan itu. Mungkin ini sudah gila, dalam waktu 6 tahun aku selalu dicampakkan, digantung, bahkan aku sadar mungkin di sana dia punya wanita lain, atau bahkan aku hanya tempat pelampiasannya saja. Tapi entah kenapa aku masih memaafkan dan mengharapkan masa depan bersamanya. Aku masih setia di sini menunggunya, padahal secara logika itu hal yang tidak mungkin banget, aku bisa memilikinya. Berkali-kali aku tersakiti, tapi aku masih saja menjadi wanita bodoh, dengan menunggunya di sini. Inikah yang dinamakan cinta itu buta? 

 Enam tahun yang sia-sia. Menjadi korban hubungan virtual. Karena kecanggihan teknologi di zaman milenial membuat orang naif dan bodoh seperti aku, terjerembab ke dalamnya. Aku memang hanya wanita kampung, yang tidak memiliki kelebihan apapun. Apalagi dengan status yang aku sandang, semakin membuatku kelihatan hina. 

"Bodoh!" desisku sambil mengepak-ngepakkan tanganku ke kepala. Melampiaskan sesuatu yang ada didalam hatiku.

"Sayang," panggilan di seberang telfon itu membuatku tersadar. Mengembalikan alam sadarku, sudah berapa lama aku mengabaikannya tadi.

"Hem," jawabku datar. Jangan marah lagi, ya?" lanjutnya. Aku hanya menghembuskan nafas panjang. Aku mengangguk pelan seraya menjawabnya. Membuat seseorang yang di sana mungkin sedikit lega.

******

"Selamat Pagi,"

"Pagi kak Move," jawab seseorang dari kejauhan. "Mata sudah kayak mata panda, Kak. Begadang lagi apa nangis lagi?" lanjut seseorang itu sambil nyengir.

"Hush!" ngeledekin orang tua aja. Balasku singkat. "Rei, hari ini kamu yang bertugas ke lapangan, kan?" tanyaku .

"Iya Kak, kenapa?"

"Oh, tidak kenapa-napa sich, kita sama-sama saja, hari ini ada hitung stok, Aku yag bertugas." jawabku menjelaskan.

"Ok, Kak,"

Begitu pembicaraan kami pagi ini. Sudah menjadi rutinitas setiap hari. Di sinilah  aku bekerja memenuhi segala kebutuhan keluargaku. Meskipun pahit rasanya, tapi tidak munafik selama 9 tahun ini, pekerjaan inilah yang bisa membuatku melanjutkan nafas kehidupanku (sedikit lebay).

"Move!"

Aku menoleh mendengar panggilan itu. Kulihat manager keuangan sedang mengecek hitung stok di divisi kami. Sesekali dia mengerutkan kening sambil mengetuk-ngetukkan pena ke atas meja.

"Kamu tidak salah hitungkan, kok selisihnya banyak sekali?" suara itu bernada serius sambil terus melihat ke arah laporan pembukuan.

"Tidak, Pak! Saya sudah mengecek hampir 5 kali." jawabku sedikit panik sambil berkali-kali melihat pembukuan dan mencocokkan dengan barang.

"Tuhan! Apalagi ini? Kalau sampe laporan pembukuan tidak sesuai dengan hitung stok, yang ada pasti aku dipecat."  ucapku dalam hati.

"Stok bulan ini banyak sekali yang kacau, Saya mohon tiap tim dan personal bisa bertanggung jawab atas pekerjaan masing-masing!" suara itu menggema, suara milik manager keuangan yang menjelaskan hasil kerja kami bulan ini. Suaranya yang lantang kadang membuat kami menunduk segan.

Sudah 9 tahun aku jadi superviser di perusahaan ini. Hampir tiap bulan selalu mengganti barang yang kurang. Heran juga aku, kemana barang-barang yang hilang itu. Setiap bulan pasti hitung stok tidak pernah sama dengan laporan pembukuan. Aku menggeleng- gelengkan kepala bingung.  

Kuhembuskan nafas dalam-dalam, sambil menunduk. Terlihat kaki  ramping dengan sepasang sepatu higheels sudah berdiri di hadapanku.

Kutatap dalam-dalam wajah itu, wajah yang sudah tak asing lagi. Seseorang yang sering muncul di media sosialku. Dan entah orang ini siapa? Seperti seorang paparazi. Aku sendiri tidak tahu dari mana dia dapet nomorku. Yang pasti orang ini punya maksud tertentu.

Dia cantik, nama nya Feronika Alfarest dengan tinggi badan 165 cm terlihat sangat proporsional. Wanita itu sangat cantik dan terlihat masih sangat muda dibandingkan diriku. Pagi ini, aku terima laporan bahwa dia karyawan baru di kantor ini sebagai superviser juga. Bahkan sebelumnya, dia sudah menjadi seseorang paparazi. Bisa muncul kapan saja di media sosial ku.

Ada beberapa kemungkinan paparazi ini bisa ada di sini sekarang. Mungkin dia ada hubungannya dengan Farhan, atau malah dengan si bos yang ya, ampun arogantnya minta ampun. Sembilan tahun kerja di sini, hanya beberapa kali saja aku bertatap muka. Karena memang kantornya di kantor pusat.

"Kita ada urusan yang akan panjang buat diselesaikan! Jadi, Aku harap mulai detik ini kamu persiapka n diri ksmu untuk menerima kenyataan yang mungkin tidak sesuai harapanmu."

Suara itu tepat di telingaku. Aku terkejut, kutatap pemilik suara itu. Dia, wanita cantik itu, tenang menatapku. Aku masih berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaanku. Sebenarnya, siapa perempuan ini. Kenapa bisa kenal denganku?

"Sebenernya, kamu siapa, apa tujuan kamu ada di kantor ini, dan dari mana kamu kenal aku sebelumnya? Kenapa tiba-tiba bisa mengenalku. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" ucapku panjang lebar.

Pertanyaanku yang bertubi-tubi itu tak satupun dijawabnya, bahkan dia meninggalkan aku dengan senyuman sinis, yang membuat aku memaki dalam hati.

******

BERSAMBUNG

Aku menghela nafas berkali-kali. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semua. Percuma semua dilanjutkan. Hanya membuang-buang waktu.

"Mulai sekarang, hapus semua kontakku! Lebih baik, kita ambil jalan masing-masing saja!" suaraku menggebu-nggebu dengan lengkingan kuat. Ada amarah yang luar biasa memenuhi ruang hatiku. Aku memaki, merutuk, dalam hati. Entah buat siapa. Yang pasti amarah ini butuh pelampiasan.

"Kenapa harus begitu,?" suara di seberang agak terhenyak. Meski terdengar begitu tenang. Dia sudah begitu hafal kata per kata yang sering aku ucapkan untuknya. Sifat tenangnya ini yang membuat aku terlena terus .

"Karena memang tidak ada lagi yang perlu dipertahankan! Hanya aku yg berjuang dan bertahan! Hanya aku yang mengharapkan kita jadi keluarga seutuhnya! Lepaskan aku! Aku mohon, please ...,"Terdengar hembusan nafas berat dari seberang telfon, mendengar suaraku melengking-lengking.

"Aku mohon lepaskan aku," kembali aku menghiba.

"Baik! Kalau itu mau kamu! Aku rasa kamu memang ada yang lain, makanya minta kita putus!" tukasnya tajam. Belum selesai aku menjelaskan sambungan telfon sudag terputus.

Tut ...!

Aku menghela nafas sesak. Secepat itu dia memutuskan komunikasi. Aku cek semua kontak yang bisa buat berkomunikasi dengan dia. Semua sudah terblokir. 

Ada luka yang tiba-tiba meyeruak di dalam hatiku. Ternyata pertahananaku selama 6 tahun, hanya sampai disini. Bahkan tanpa diperjuangkan olehnya. Sungguh miris melihat kenyataan ini. Lantas untuk apa selam 6 tahun ini, aku menghabis waktu menunggunya? Setiap hari berusaha mengerti tentang keadaan dan kondisi ini. Tapi hasilnya sekarang seperti sampah yang layak dibuang. Dasar bodoh! Sampai dimanapun aku merutuki diriku sendiri, nggak akan ada gunanya.

Kuseka air mataku, rasanya tak perlu ditangisi. Bukannya aku sendiri yang meminta semua diakhiri? 

Perlahan aku beranjak dari tempatku berbaring. Menuju kamar mandi. Mengguyur badanku yang begitu letih. Menjernihkan fikiran dari kesakitan yang kudapat, berharap entah besok atau lusa, aku bisa move on.

******

Aku memperhatikan baik-baik, seseorang yang ada di seberangku. Aku mencoba mengingat-ingat siapa sosok itu. Wanita cantik yang sangat elegant. Namun tetap saja daya ingatku tak cukup baik, untuk mengakses siapa sebenarnya wanita itu. Wanita yang seolah-olah sudah sangat mengenalku. Bahkan selalu muncul di ruang media sosialku.

"Selamat pagi, Pak!"

Terdengar  suara sopan para karyawan menyambut kedatangan seseorang. Aku berdiri menunduk, ketika sosok itu melintasi meja kerjaku. Terlihat begitu dingin tanpa senyum. Wajah tampan itu terlihat datar, tapi arrogant dan menghanyutkan. 

Dia, RAYA DINATA, ceo muda yang tampan tapi arrogant. Berbadan atletis dengan tinggi 187 cm dengan rambut cepak tertata rapi. Dengan gaya khasnya memasukkan tangan ke kantong sakunya. Wajahnya yang dingin, menggambarkan watak keras dan temprament-nya yang tinggi, angkuh dan sombong.

"Kamu ... !" Jari telunjuk itu mengarah ke mukaku. Aku menarik mukaku yang tertunduk. Tampak jelas di wajahku keterkejutan mutlak.

"Ke ruangan Saya, sekarang!" Ada penekanan dalam nada suaranya. Sekilas wajahku pucat mendengar perintah itu.

"Move ...!" Cubitan itu membuat aku kembali ke alam sadar. "Kamu dipanggil bigbos ke ruangannya!" Fito, manager keuangan menatap tajam ke arahku. Seolah-olah, tatapannya memerintahkan aku segera ke ruangan pimpinan.

"Oh, iya, Pak!" jawabku gugup sambari bergegas menuju ruang direktur.

Di ruang direktur, tanganku gemetaran. Keringat dingin sudah membasahi leherku.

"Saya mau melihat laporan pembukuan 6 bulan terakhir!" ucapnya datar  tanpa ekspresi.

Mukanya keliatan lebih menyeramkan dengan tatapan yang menukik tajam. Jantungku serasa berhenti berdetak, mendengar perintahnya barusan. Dalam hati, aku memaki diriku sendiri, yang selalu mengulur-ulur  pekerjaan. Dan akhir semuanya terbengkelai sekarang.

"Ada apa?" tanya sang direktur sambil menutup berkas yang barusan dibukanya.

"Kamu belum siap memberikan laporan pekerjaanmu, atau malah kamu belum sama sekali menyelesaikannya?" tukas laki-laki itu lagi, sambil berdiri mendekatiku.

Dalam jarak satu meter, dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatapku dengan tajam. Seolah-olah siap menerkamku. Kakiku mulai gemetar, dan mukaku tertunduk dalam.

"Kamu kerja disini sudah berapa tahun? Kenapa tugas yang seharusnya menjadi pekerjaanmu bisa terbengkelai seperti ini? Selama ini kamu ngapain aja ...?!" suaranya melengking tajam memenuhi ruangan. Aku semakin tertunduk dalam. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat.

"Kalau cara kerja kamu seperti ini! Saya tidak menjamin bulan depan kamu masih ada di kantor ini!" Bagai disambar petir aku mendengar ucapannya. Lemas seluruh tubuhku. 

Duh ...! Kejam sekali orang ini. Baru pertama kali menginjakkan kaki di kantornya sudah main pecat-pecat karyawan. Aku berusaha menenangkan diri. Mencoba tetap berdiri di hadapannya meskipun gemetaran. Kutelan salivaku yang tiba-tiba terasa pahit.

"Saya tidak mau tahu! Sebelum pulang kantor, laporan pembukuan itu, sudah harus ada di meja saya! Kalau sampai laporan itu belum ada di meja saya, buat surat pengunduran dirimu besok pagi!"

Aku tercekat. Lidahku terasa kelu. Susah rasanya mau membuka mulut. Aku hanya bisa terpaku diam dan bungkam.

"Kamu paham ... !"

Tangannya mengepal, melayang ke arah meja kerjanya. Suara gubrakan itu terdengar keras ke ruang kerja karyawan. Aku terkejut, tanpa kusadari tubuhhku menyingsut ke belakang. Kakiku semakin gemetar. Jujur, aku tak berani menatap mukanya yang tiba-tiba terlihat bengis, kejam, dan arrogant, juga menyeramkan.

Aku mengangguk takut. "Pa-ham, Pak!"

Sampai detik ini, aku tidak paham, apa yang membuatnya begitu murka. Apa hanya karena aku belum menyelesaikan laporan 6 bulan itu, sampai harus semarah ini? Aku rasa sikapnya ini nggak wajar. Mungkin, karena dia punya temprament yang tinggi.

Setelah kulihat wajahnya mengendur dan sedikit lunak, aku beranikan pamit meninggalkan ruangannya. Rasanya plong setelah aku kembali ke meja kerjaku. Kupijit-pijit pelipisku yang berdenyut-denyut. 

Dan semenit kemudian, aku sudah berkutek dengan komputerku sampai waktu menunjukkan jam kerja pulang. Ku sapu ruangan kerja ku. Sudah kosong, tinggal aku sendiri. Jam di tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Aku menggeliatkan badan, meregangkan otot tanganku, dan sesekali menguap, merasakan kelelahan yang begitu sangat.

Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang sudah berdiri tinggi menjulang. Aku seketika terloncat dari tempat dudukku dan membungkukan badan. 

"Selamat Sore, Pak! Hati-hati di jalan."

Tak dihiraukannya sapaanku. Dia berjalan lurus tanpa menoleh dan tanpa ekspresi. Wajahnya selalu datar tanpa senyum sedikitpun.

"Persis mayat hidup!" decihku dengan sinis. Kembali ku geluti komputerku dan berpacu dengan waktu, seperti dikejar  deadline.

Tak terasa sudah hampir larut. Aku mengemasi barang-barangku dan merapikan meja kerjaku.  Semenit kemudian, aku berjalan lurus ke meja direktur. Menaruh laporan 6 bulanku.

"Akhirnya, kelar juga!" sorakku dalam hati. Kuayunkan kakiku ke luar gedung.  Badanku radanya remuk. Hari ini sungguh sangat melelahkan.

"Baru hari pertama saja sudah begini, bagaimana besok-besok, seperti kerja rodi, mungkin?!" sungutku keluar dari lift. 

Suara gemericik hujan membuatku tertegun. Kutengadahkan muka ke atas, langit terlihat gelap, dan tak ada warna. Sesaat kemudian, kubuka layar ponselku. Baru saja mau pesan taksi online tiba-tiba suara kalkson berbunyi dari ujung jalan. Reflek aku mencari asal suara itu. Gerakan gesture tangan itu, mengisyaratkan aku untuk mendekat. Samar-samar aku lihat siapa pemilik lambaian tangan itu. Dengan ragu aku mendekat.

"Masuk ke mobil!" Titahnya tegas.

Aku terkejut. Jam kerja sudah selesai beberapa jam yang lalu, tapi  kenapa masih main-main perintah saja? Tiba-tiba aku terdiam. Ada yang aneh kurusakan dengan sikapnya. 

"Kenapa masih diam saja? Aku suruh masuk ke mobil!"

Aku tersadar dari lamunanku. Kudapati laki-laki itu sudah ada di belakangku. Di bukanya pintu mobilnya,dengan reflek tangannya mendorong tubuhku ke dalam mobil. Aku terjerembab di sana.

Sepanjang perjalanan menuju pulang, aku hanya diam membisu. Sesekali, aku memberanikan diri melirik wajah laki-laki yang tak lain bosku itu. Lagi-lagi kudukku meremang melihat muka datarnya. Tampan-sich, tapi tanpa ekspresi, datar, dan bahkan tanpa senyum sedikitpun.

"Mau berapa lama lagi, kamu melamun di mobil ku?" Aku terkejut mendengar suaranya. Dengan bergegas aku melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.

"Apa begitu cara kamu berterima kasih sama bosmu, yang sudah mengantarmu pulang?" Dengan segera, aku membalikkan badan menghadapnya. Kubungkukkan badan, tanda terima kasihku padanya.

"Terima kasih banyak, karena Bapak sudah mengantar,Saya pulang." sekali lagi aku membungkuk, selanjutnya dengan cepat aku turun dari mobil. Tanpa menghiraukan ekspresi mukanya. Pasti di muka itu sudah tampak muka monster yang menyeramkan. Aku segera berlalu meninggalkannya di dalam mobil.

Sedangkan, Ray menatap kesal punggung Move. Dia merasa tak dihiraukan oleh wanita itu. Dia merasa cuma di manfaatkan oleh bawahannya. Selaku bos tak seharusnya dia diperlakukan seperti itu. Hatinya berdecak kesal. Muka datarnya tertekuk mutlak. Segera dia melajukan mobilnya setelah dipastikannya sosok Move sudah hilang dari pandangannya.

BERSAMBUNG

             

             

Ai

Like dan komentnya ya Beri tanda vote Selain ini aku juga punya karya lain lho @Sang Kapten dan Fatamorgana. Mampir ya, para pembaca yang budiman😊

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status