Aku menatap lembar demi lembar kertas itu. Berkali-kali kubuka, tetap aja ada nama dan tanganku di sana. Tanganku gemetaran memegang lembaran kertas itu. Kertas yang menunjukkan ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku.
"Kenapa harus begini, kalau kamu butuh uang tinggal bilang sama Saya, Move, tidak harus melakukan tindakan ini kan ... ?" suara itu menggema di ruang manager keuangan.
"Harus berapa kali, dijelaskan, Saya tidak melakukannya?!" suaraku tak kalah menggema. Merasa bahwa aku benar dan tidak melakukan perbuatan itu.
"Tapi bukti ini mengarah padamu, Move!" Fito menunjuk kertas tanda bukti transferan itu padaku. Aku meraup mukaku dengan kasar. Antara bingung dan tidak percaya, drngan apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa, ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku? Kalau aku sendiri saja tidak pernah menerima uang itu? Anehnya di hari dan tanggal itu direkeningku tidak ada uang yang masuk. Terus uang itu kemana?
"Saya difinah, Pak!" ucapku tegas dengan nada dingin. Fito, selaku manager keuangan menarik nafas panjang.
"Kamu sepertinya, harus menghadap ke ruang pimpinan, Move," aku tercekat mendengar kata-katanya.
"Aku yakin tidak lama lagi, pak Ray, akan memanggilmu ke ruangannya."
Aku semakin gusar dengan keadaanku sendiri. Dan memang benar tak perlu menunggu waktu sampai 5 menit, tiba-tiba sekertaris direktur sudah mencariku. Aku menghela nafas, ada debar jantung yang kian membuatku ciut. Tapi, buat apa aku takut, toh aku tak pernah melakukan itu.
Di waktu yang cuma beda 5 menit, aku sudah berdiri di depan meja kerja pimpinan. Dengan wajah menunduk dan kaki berkeringat, aku menunggu reaksi dari laki-laki yang sedari tadi berdiri menatapku dengan mata tajamnya. Rasanya kaki ku sudah lemas, tapi laki-laki itu masih diam seribu bahasa.
Dia maju selangkah, dengan reflek ada pergerakan dari badanku. Kaki ku semakin gemetar aku rasakan. Dengan wajah menunduk, aku menyembunyikan ketakutanku.
"Kamu butuh uang berapa?" suaranya datar. Sedatar mukanya yang tanpa ekspresi.
Aku terpanana mendengar pertanyaan itu. Tanpa kusadari kepaku menggeleng pelan.
"Kalau kamu tidak membutuhkan uang, kenapa harus bertindak seperti ini?" Kali iin, aku seperti tertampar. Jadi benar, dia juga percaya bahwa akulah yang melakukan melakukan perbuatan itu.
"Saya tidak me-,
"Tapi bukti itu mengarah ke dirimu, ada nama dan tanda tanganmu."
Aku menelan saliva dengan susah payah. Beberap detik yang lalu, dia menyambar ucapanku yang belum selesai.
"Besok, kita akan mengadakan rapat darurat. Kamu wajib ada di sana, karema semua petinggi perusahaan, akan menentukan nasib kamu!" Sekali lagi aku menelan salivaku yang mulai mengering, mendengar ucapan tegasnya. Aku tak berani sama sekali menatap mukanya yang datar itu.
Dengan lemah aku mmenganggu, "baik, Pak."
"Kamu boleh keluar!" usirnya membuatku tercengang. "Selama masalah ini belum ada titik terangnya, jangan berani-berani ambil cuti!" perintahnya tegas. Sekali lagi, aku mengangguk.
Aku bergegas keluar menuju meja kerjaku. Riuh rendah karyawan lain membicarakanku dengan nada sinis. 9 tahun aku kerja di perusahaan iin, baru kali ini tersandung kasus memalukan seperti iin, bahkan kesalahan yang tidak pernah aku lakukan sama sekali. Aku menelungkupkan mukaku dengan kedua tangan. Ada beban berat di sana.
Selama ini, masalah seberat aapapu, aku selalu tenang menghadapinya. Dan ku pastikan ada jalan keluarnya. Tapi kali ini, aku mengeluh. Apakah jalan satu-satunya aku mengundurkan diri saja? Mukaku terasa panas ada cairan yang menggenang di dalam mataku.
Ketukan di meja kerja ku, membuat wajahku mendongak ke atas. Ku lihat sosok Feronika di sampingku, dengan senyum sinis mengejek. Sebenarnya dia ada masalah apa sich, sama aku, kenapa seolah-olah membenciku?
Dengan Mata yang menukik tajam ke arahku, dia menghembuskan nafas sebelum memulai pembicaraan.
"Ada perlu apa kamu datang ke meja kerjaku Fero?" tanyaku enggan sambil membuang muka.
"Sebegitu ingin tenarnya kamu ,Move, sampai membuat kasus yang memalukan seperti itu!" Aku terpana mendengar ucapannya. Bahkan, dia mengabaikan pertanyaanku.
Aku menggeleng geram. Ada kemarahan di mataku, tapi dia setenang air sungai gangga, tanpa menghiraukan aku.
"Maksud kamu apa Fero, kamu mau bilang, bahwa aku menerima suap dalam kasus penggelapan uang itu?"
"Kenyataannya memang begitu!" Dia menyambar kalimatku.
"Move,! aku rasa, bukan cuma aku saja yang sudah tahu kasus kamu ini. Bahkan seluruh karyawan dari lantai dasar pun sudah tahu berita ini!" ucapnya lantang membuat semua karyawan yang ada di ruangan itu sejenak memperhatikan kami. Aku menyingsut mundur ke meja kerjaku, mencoba tetap bertahan.
"Jangan mentang-mentang kamu senior, bisa berbuat semau kamu! Saat ini perbuatan kamu ini, bisa bikin rugi perusahaan. Tolong, tempatkan posisimu di tempat yang sewajarnya."
Jlek-kk,
Aku terhenyak mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Fero. Wanita itu begitu rendah memandang harga dirinya.
25 menit sudah berlalu, semenjak Feronika meninggalkan meja kerjaku.
Sampai detik ini aku belum paham, kenapa Feronika seolah-olah sangat membenciku. Entah salah apa yang sudah aku perbuat padanya. Kuarahkaan tatapanku pada layar komputer. Otakku bekerja keras untuk menyelidiki masalah yang menimpaku.
Terlintas sosok Fito, manager keuangan di perusahaanku, mungkin akan lebih baik kalau minta tolong sama dia, karena kasus ini bermula di sana.
Kasus yang tiba-tiba muncul, menghebohkan seluruh karyawan perusahaan.
Saat aku baru saja menengadahkan muka, ada sosok yang detik itu membuat jantungku berhenti berdetak. Dengan gugup aku berdiri
"Pak-k Ray! maaf ada yang bisa saya bantu?" Suaraku gagap. Lidahku seperti kelu. Menyadari sosok berwajah dingin itu sudah ada di depanku.
"Buatin saya kopi! sekarang-!" Perintah yang bernada penekanan itu membuat aku menelan salivaku pahit.
"Baik, Pak." jawabku menunduk dan selang 5 menit kemudian aku sudah di pantry. Seumur-umur baru kali ini aku ditugaskan membuat kopi buat bos. Entah takarannya seberapa.
"Move!" suara itu membuatku menoleh. Kulihat wajah mempesona itu sudah berada tepat di belakangku berdiri.
"Dattan," gumamku sambil tersenyum. Aku membalikkan badan. Masih tersisa di sana, di mataku yang sembab kesedihan yang luar biasa. Laki-laki itu meraih pundakku dan merengkuhnya untuk memberi kekuatan. Mataku mengerjab, ada air hangat yang jatuh di pipiku.
"Dont cry," bisiknya lembut di telingaku. Aku semakin terisak, punggungku bergetar. Tanpa sungkan Dattan menjatuhkan kepalaku di pundaknya, Merangkulku dengan lembut, saat seluruh pesonanya meruntuhkanku.
Tanpa aku sadari, ada seseorang yang sudah berdiri tepat di depan pintu pantry.
"Jadi ini, yang kamu lakukan saat jam kerja? suara itu mengagetkanku dan juga Dattan. Reflek, Dattan merenggangkan rangkulannya.
Aku menundukkan wajahku yang pias. Detak jantungku tak karuan, antara takut dan malu.
"Aku bisa jelasin, Ray, semua tidak seperti yang kamu fikirkan. Aku hanya menghibur Move karena kejadian ini pasti membuat dia down."
Dattan Sergio Sesha, manager HRD, yang punya tampang mempesona, digilai banyak wanita, sekaligus sahabat kental Ray Dinata. Mecoba memberikan penjelasan, bahwa yang dilihat barusan tidak seperti yang ia pikirkan. Tapi Ray tetaplah Ray. Dia tidak mau peduli pendapat orang lain.
"Penjelasanmu itu tidak penting, Pak Manager!" tukasnya tajam. Aku bergidik mendengar sergahan direktur muda itu. Kalau Dattan saja tidak dihargai apalagi aku? Lagi-lagi kudukku meremang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti, kalau aku sudah di ruang pimpinan.
"Move! Bawa kopinya ke ruangan direksi dan kamu!" tunjuknya tajam ke arah mukaku. "Jelaskan semua di ruangan, Saya!" lagi-lagi perintahnya membuatku gemetararan.
BERSAMBUNG
Di baca ya teman-teman
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala