Share

Episode 3

 Aku menatap lembar demi lembar kertas itu. Berkali-kali kubuka, tetap aja ada nama dan tanganku di sana. Tanganku gemetaran memegang lembaran kertas itu. Kertas yang menunjukkan ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku.

"Kenapa harus begini, kalau kamu butuh uang tinggal bilang sama Saya, Move, tidak harus melakukan tindakan ini kan ... ?" suara itu  menggema di ruang manager keuangan.

 "Harus berapa kali, dijelaskan, Saya tidak melakukannya?!" suaraku tak kalah menggema. Merasa bahwa aku benar dan tidak melakukan perbuatan itu.

"Tapi bukti ini mengarah padamu, Move!" Fito menunjuk kertas tanda bukti transferan itu padaku. Aku meraup mukaku dengan kasar. Antara bingung dan tidak percaya, drngan apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa, ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku? Kalau aku sendiri saja tidak pernah menerima uang itu? Anehnya di hari dan tanggal itu direkeningku tidak  ada uang yang masuk. Terus uang itu kemana?

"Saya difinah, Pak!" ucapku tegas dengan nada dingin. Fito, selaku manager keuangan menarik nafas panjang.

"Kamu sepertinya, harus menghadap ke ruang pimpinan, Move," aku tercekat mendengar kata-katanya.

"Aku yakin tidak lama lagi, pak Ray, akan memanggilmu ke ruangannya."

Aku semakin gusar dengan keadaanku sendiri. Dan memang benar  tak perlu menunggu waktu sampai 5 menit, tiba-tiba sekertaris direktur sudah mencariku. Aku menghela nafas, ada debar jantung yang kian membuatku ciut. Tapi, buat apa aku takut, toh aku tak pernah melakukan itu.

Di waktu yang cuma beda 5 menit, aku sudah berdiri di depan meja kerja pimpinan.  Dengan wajah menunduk dan kaki berkeringat, aku menunggu reaksi dari laki-laki yang sedari tadi berdiri menatapku dengan mata tajamnya. Rasanya kaki ku sudah lemas, tapi laki-laki itu masih diam seribu bahasa.

Dia maju selangkah, dengan reflek ada pergerakan dari badanku. Kaki ku semakin gemetar aku rasakan. Dengan wajah menunduk, aku menyembunyikan ketakutanku.

"Kamu butuh uang berapa?" suaranya datar. Sedatar mukanya yang tanpa ekspresi.

Aku terpanana mendengar pertanyaan itu. Tanpa kusadari kepaku menggeleng pelan.

"Kalau kamu tidak membutuhkan uang, kenapa harus bertindak seperti ini?" Kali iin, aku seperti tertampar. Jadi benar, dia juga percaya bahwa akulah yang melakukan melakukan perbuatan itu.

"Saya tidak me-,

"Tapi bukti itu mengarah ke dirimu, ada nama dan tanda tanganmu."

Aku menelan saliva dengan susah payah. Beberap detik yang lalu, dia menyambar ucapanku yang belum selesai.

"Besok, kita akan mengadakan rapat darurat. Kamu wajib ada di sana, karema semua petinggi perusahaan, akan menentukan nasib kamu!" Sekali lagi aku menelan salivaku yang mulai mengering, mendengar ucapan tegasnya. Aku tak berani sama sekali menatap mukanya yang datar itu.

Dengan lemah aku mmenganggu, "baik, Pak."

"Kamu boleh keluar!" usirnya membuatku tercengang. "Selama masalah ini belum ada titik terangnya, jangan berani-berani ambil cuti!" perintahnya tegas. Sekali lagi, aku mengangguk.

Aku bergegas keluar menuju meja kerjaku. Riuh rendah karyawan lain membicarakanku dengan nada sinis. 9 tahun aku kerja di perusahaan iin, baru kali ini tersandung kasus memalukan seperti iin, bahkan kesalahan yang tidak pernah aku lakukan sama sekali. Aku menelungkupkan mukaku dengan kedua tangan. Ada beban berat di sana.

Selama ini, masalah seberat aapapu, aku selalu tenang menghadapinya. Dan ku pastikan ada jalan keluarnya. Tapi kali ini, aku mengeluh. Apakah jalan satu-satunya aku mengundurkan diri saja? Mukaku terasa panas  ada cairan yang menggenang di dalam mataku.

Ketukan di meja kerja ku, membuat wajahku  mendongak ke atas. Ku lihat sosok Feronika di sampingku, dengan senyum sinis mengejek. Sebenarnya dia ada masalah apa sich, sama aku, kenapa seolah-olah membenciku?

Dengan Mata yang menukik tajam ke arahku, dia menghembuskan nafas sebelum memulai pembicaraan.

"Ada perlu apa kamu datang ke meja kerjaku Fero?" tanyaku enggan sambil membuang muka.

"Sebegitu ingin tenarnya kamu ,Move, sampai membuat kasus yang memalukan seperti itu!" Aku terpana mendengar ucapannya. Bahkan, dia mengabaikan pertanyaanku.

 Aku menggeleng geram. Ada kemarahan di mataku, tapi dia setenang air sungai gangga, tanpa menghiraukan aku.

"Maksud kamu apa Fero, kamu mau bilang, bahwa aku menerima suap dalam kasus penggelapan uang itu?"

"Kenyataannya memang begitu!" Dia menyambar kalimatku. 

"Move,! aku rasa, bukan cuma aku saja yang sudah tahu kasus kamu ini. Bahkan seluruh karyawan dari lantai dasar pun sudah tahu berita ini!" ucapnya lantang membuat semua karyawan yang ada di ruangan itu sejenak memperhatikan kami. Aku menyingsut mundur ke meja kerjaku, mencoba tetap bertahan. 

"Jangan mentang-mentang kamu senior, bisa berbuat semau kamu! Saat ini perbuatan kamu ini, bisa bikin rugi perusahaan. Tolong, tempatkan posisimu di tempat yang sewajarnya."

Jlek-kk,

Aku terhenyak mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Fero. Wanita itu begitu rendah memandang harga dirinya.

25 menit sudah berlalu, semenjak Feronika meninggalkan meja kerjaku.

Sampai detik ini aku belum paham, kenapa Feronika seolah-olah sangat membenciku. Entah salah apa yang sudah aku perbuat padanya. Kuarahkaan tatapanku pada layar komputer. Otakku bekerja keras untuk menyelidiki masalah yang menimpaku.

Terlintas sosok Fito, manager keuangan di perusahaanku, mungkin akan lebih baik kalau minta tolong sama dia, karena kasus ini bermula di sana.

Kasus yang tiba-tiba muncul, menghebohkan seluruh karyawan perusahaan. 

Saat aku baru saja menengadahkan muka, ada sosok yang detik itu membuat jantungku berhenti berdetak. Dengan gugup aku berdiri

"Pak-k Ray! maaf ada yang bisa saya bantu?" Suaraku gagap. Lidahku seperti kelu. Menyadari sosok berwajah dingin itu sudah ada di depanku.

"Buatin saya kopi! sekarang-!" Perintah yang bernada penekanan itu membuat aku menelan salivaku pahit.

"Baik, Pak." jawabku menunduk dan selang 5 menit kemudian aku sudah di pantry. Seumur-umur baru kali ini aku ditugaskan membuat kopi buat bos. Entah takarannya seberapa. 

"Move!" suara itu membuatku menoleh. Kulihat wajah mempesona itu sudah  berada tepat di belakangku berdiri.

"Dattan," gumamku sambil tersenyum. Aku membalikkan badan. Masih tersisa di sana, di mataku yang sembab kesedihan yang luar biasa. Laki-laki itu meraih pundakku dan merengkuhnya untuk memberi kekuatan. Mataku mengerjab, ada air hangat yang jatuh di pipiku. 

"Dont cry," bisiknya lembut di telingaku. Aku semakin terisak, punggungku bergetar. Tanpa sungkan Dattan menjatuhkan kepalaku di pundaknya, Merangkulku dengan lembut, saat seluruh pesonanya meruntuhkanku.

Tanpa aku sadari, ada seseorang yang sudah berdiri tepat di depan pintu pantry.

"Jadi ini, yang kamu lakukan saat jam kerja? suara itu mengagetkanku dan juga Dattan. Reflek, Dattan merenggangkan rangkulannya.

Aku menundukkan wajahku yang pias. Detak jantungku tak karuan, antara takut dan malu. 

"Aku bisa jelasin, Ray, semua tidak seperti yang kamu fikirkan. Aku hanya menghibur Move karena  kejadian ini pasti membuat dia down."

Dattan Sergio Sesha, manager HRD, yang punya tampang mempesona, digilai banyak wanita, sekaligus sahabat kental Ray Dinata. Mecoba memberikan penjelasan, bahwa yang dilihat barusan tidak seperti yang ia pikirkan. Tapi Ray tetaplah Ray. Dia tidak mau peduli pendapat orang lain.

"Penjelasanmu itu tidak penting, Pak Manager!" tukasnya tajam. Aku bergidik mendengar sergahan direktur muda itu. Kalau Dattan saja tidak dihargai  apalagi aku? Lagi-lagi kudukku meremang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti, kalau aku sudah di ruang pimpinan.

"Move! Bawa kopinya ke ruangan direksi dan kamu!" tunjuknya tajam ke arah mukaku. "Jelaskan semua di ruangan, Saya!" lagi-lagi perintahnya membuatku gemetararan.

BERSAMBUNG

Ai

Di baca ya teman-teman

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status