"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
"Maaf, Mas. Tadi aku di belakang lagi nonton televisi sama Fuchsia," ucapku saat aku sudah membukakan pintu rumah. Aku mencium tangan suamiku sebelum membiarkan dia masuk ke dalam rumah."Nggak apa-apa. Ini bawa ke belakang," ucap Mas Gandhy menyerahkan dua bungkus besar belanjaan yang aku langsung tahu betul berasal dari minimarket.Aku agak terkejut saat melihat begitu banyak isinya, "Mas, kok banyak banget. Eh, ini ada susu kedelai juga." Aku senang sekali karena dia membelikanku minuman favoritku semenjak melahirkan. "Iya, kamu kan suka itu," ucapnya lalu tersenyum. Suamiku mencubit daguku lembut. "Aku ke kamar mandi dulu," ucapnya lagi.Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci tangannya seperti biasanya. Dia sudah hafal kalau dia harus cuci tangan dulu sebelum bertemu dengan putri kami yang masih belum genap berusia dua tahun.Aku langsung membawa makanan dan minuman yang dibawakan Mas Gandhy dan menaruh sebagian di kulkas. Aku mulai tersenyum saat aku rasa suamiku mulai lebih
Kosong. Tak ada chat dari wanita itu. Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali? Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba."Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah."Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku."Alhamdul
Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku. "Kenapa, Ra?" Mama bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Ah, nggak apa-apa, Ma."Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan ha