"Talak aku, Mas. Talak aku, sekarang!" Aku mengucapkannya dengan marah. Walaupun begitu, air mataku tetap saja turun dengan derasnya. Mas Gandhy, suamiku itu malah terlihat bingung seolah tak tahu harus menuruti keinginanku atau tidak. Sementara itu, aku melihat Deva yang ikut menangis. Dasar munafik, batinku. "Mbak, kok malah kamu ikutan nangis? Bukannya harusnya kamu senang karena dah berhasil rebut hati suamiku ya," ucapku. Deva menarik tanganku, "Sumpah, Ra. Aku nggak pernah berniat hancurin pernikahan kamu. Aku sama Gandhy hanya mesra di chat aja. Kami nggak pernah..." "Nggak pernah apa?" potongku.
View More"Maaf, Mas. Tadi aku di belakang lagi nonton televisi sama Fuchsia," ucapku saat aku sudah membukakan pintu rumah.
Aku mencium tangan suamiku sebelum membiarkan dia masuk ke dalam rumah."Nggak apa-apa. Ini bawa ke belakang," ucap Mas Gandhy menyerahkan dua bungkus besar belanjaan yang aku langsung tahu betul berasal dari minimarket.Aku agak terkejut saat melihat begitu banyak isinya, "Mas, kok banyak banget. Eh, ini ada susu kedelai juga."Aku senang sekali karena dia membelikanku minuman favoritku semenjak melahirkan.
"Iya, kamu kan suka itu," ucapnya lalu tersenyum.Suamiku mencubit daguku lembut."Aku ke kamar mandi dulu," ucapnya lagi.Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci tangannya seperti biasanya. Dia sudah hafal kalau dia harus cuci tangan dulu sebelum bertemu dengan putri kami yang masih belum genap berusia dua tahun.Aku langsung membawa makanan dan minuman yang dibawakan Mas Gandhy dan menaruh sebagian di kulkas. Aku mulai tersenyum saat aku rasa suamiku mulai lebih perhatian.Dia ternyata tak hanya membelikanku minuman kesukaanku tapi juga roti keju yang juga aku sukai. Tak hanya itu, dia bahkan juga membelikan Fuchsia mainan.
Fuchsia sedang bermain lego di depan televisi saat aku menghampiri gadis kecil itu."Fuchsia, lihat! Ini Papa beliin mainan baru untuk Fuchsia. Bagus kan, Sayang?" ucapku pada anakku yang kemudian menoleh."Ma, Main." Dia meraih mainan barunya, boneka kucing yang bisa bergerak.Aku menunggu suamiku yang lama di kamar mandi. Jadi, aku pun menyusulnya. Saat aku melihatnya, dia memasang ekspresi terkejut. Dia ternyata sedang mengetik sesuatu di ponselnya."Kok lama banget, Mas?" tanyaku tanpa menaruh curiga."Iya, ini Mbak Deva tanya stok barang. Ada barang yang datang," jawabnya.Aku hanya mengangguk.Mas Gandhy lalu mendekati Fuchsia dan bermain dengannya."Bapak, Ibu ke mana, Dik?""Ada acara yasinan, Mas. Mas, sudah buka puasa belum tadi?" tanyaku."Udah tadi, Ibu masak oseng-oseng jamur," jawabnya.Aku kecewa mendengarnya. Padahal aku sudah memasak untuknya tadi. Aku hanya mengembuskan napasku dengan pelan. Aku tahu aku tidak pintar memasak dan bisa dikatakan jarang memasak.Walaupun begitu, sesekali aku ingin suamiku makan makanan masakanku. Akan tetapi, semakin lama aku merasa susah sekali membuatnya makan masakanku.
"Enak pasti," ucapku yang memang mengakui masakan ibu mertuaku yang tidak mengecewakan.Bahkan beliau juga sering mengajariku masak saat aku berada di rumah barat. Kami selalu menyebutnya begitu. Rumah mertuaku rumah barat, sedangkan rumah orangtuaku rumah timur.
Aku dan Mas Gandhy sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan kami sudah memiliki putri cantik yang dalam waktu dekat akan segera berusia dua tahun.Mas Gandhy bekerja sebagai seorang sales snack di usaha kecil milik tetangga kami. Sedangkan aku masih belum kembali bekerja karena masih ingin membesarkan putriku sendiri, setidaknya sampai dia berusia tiga tahun.Aku dulunya seorang guru di sekolah swasta dan harus resign karena kandunganku saat itu yang lemah.
Aku dan Mas Gandhy tidak tinggal dalam satu rumah. Aku tinggal di rumah timur, Mas Gandhy tinggal di rumah barat. Rumah barat dan timur berjarak sekitar dua puluh lima kilometer dan hal itu yang dijadikan alasan Mas Gandhy untuk tidak mau tinggal serumah denganku dan memilih tinggal di rumah barat. Itu juga karena kebetulan saja tempat kerja Mas Gandhy berada tepat di belakang rumah mertuaku itu.Mas Gandhy hanya datang menjengukku satu kali dalam satu minggu. Orangtuaku berulang kali menyarankan Mas Gandhy untuk mencari kerja baru di tempat lain, tetapi dia tak pernah mau. Jadi terpaksa, kami tinggal berjauhan sekarang.Mengingat ulang tahun Fuchsia yang tinggal sepuluh hari lagi itu aku berbicara, "Mas, ulang tahun Fuchsia nanti gimana? Dirayakan nggak?"Mas Gandhy yang sedang bermain bersama Fuchsia itu menjawab, "Iya dong. Iya kan, Nduk? Anak Papa mau dibelikan apa, Sayang nanti?"Dia menggendong putrinya itu dan mencium pipinya dengan gemas."Pe-men." Gadis kecil itu menjawab dengan bersemangat."Hah!? Kok permen, sih. Nanti giginya bolong-bolong lho, Nduk." Mas Gandhy mencium lagi pipi Fuchsia."Mau pe-men," ucap Fuchsia sambil menampilkan ekspresi cemberutnya yang lucu sekali.Aku jadi ikutan gemas dan duduk di samping Mas Gandhy dan ikut mencium pipi putriku itu. Kami pun menggelitik Fuchsia sampai gadisku itu tertawa."Mas, nanti dirayakan kaya gimana?" tanyaku lagi."Adik aja yang atur, Mas Ikut aja. Nanti uangnya Mas transfer ya," jawabnya.Aku tertegun. Pasalnya, Mas Gandhy terlihat begitu mudahnya menyetujui itu. Biasanya, dia tidak begitu. Dia pasti akan bertanya ini itu dulu sebelum mengiyakan.Suamiku itu memang bukan orang yang pelit tapi dia tidak juga terlalu royal. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk, tetapi untuk sekarang aku lega karena bisa membuat acara syukuran kecil-kecilan untuk Fuchsia.***"Dik, kamu nggak makan lagi?" tanya Mas Gandhy setelah aku selesai menidurkan Fuchsia."Enggak terlalu lapar. Mas mau makan?" tanyaku. Aku masih berharap dia mau makan masakanku."Enggak. Masih kenyang. Eh, Mas ke depan dulu ya? Mau udud sebentar," pamitnya dan dia membawa ponselnya ke luar kamar.Aku tetap di kamar dan mengambil ponselku sendiri. Aku membuka status orang-orang di salah satu aplikasi chat.Tak ada yang menarik. Tetapi kemudian aku membuka status dari Mbak Deva, Bos suamiku.Isinya begini: Ah, pengangguran. Wanita hebat itu wanita yang bisa ngurus anak sekaligus bisa mencari uang.Dia menambahkan emoticon tersenyum.Siapa yang dia sindir?Hatiku tiba-tiba panas. Masalahnya, aku saat ini memang masih menganggur dan hanya mengurus anak.Aku membuka nomornya dan berniat mengirim pesan kepadanya. Saat melihat dia sedang online, aku langsung mengetik beberapa kata."Bentar-bentar, kan belum tentu aku yang disindir. Kenapa aku kesal?" gumamku pelan.Aku langsung menghapus pesan itu dan tak jadi mengirimkannya."Jangan gampang baper, Zara!" Aku berbicara pada diriku sendiri.Aku lalu dengan iseng membuka nomor suamiku dan agak terkejut saat dia sedang online. Biasanya kalau ke depan sambil merokok itu dia akan bermain game atau nonton video saja.Aku tersenyum dan langsung mengetik: 'Kok malah online, Mas?'Aku menunggu beberapa detik, pesanku langsung berubah biru, tanda dia sudah membacanya. Dia menjawab: 'Iya, Dik. Ada masalah dengan barang yang datang tadi. Mbak Deva nanyain.'Setelah membaca pesan itu, aku memilih untuk mendengarkan musik sambil menunggu Mas Gandhy masuk.Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian, entah kenapa aku malah mulai kepikiran lagi. Aku kembali membuka aplikasi chat itu dan membuka nomor Mas Gandhy dan dia masih online. Lalu aku membuka nomor Mbak Deva dan ternyata juga sedang online.Oke, aku tahu mereka memang anak buah dan bos. Masalah barang datang itu pasti juga didiskusikan bersama. Tetapi masa iya diskusi hampir setengah jam lamanya.Aku berpikir sebentar sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan menuju teras."Mas, kok lama banget ngerokoknya?" tanyaku.Dia yang sedang tersenyum sambil mengetik sesuatu yang entah apa dan kepada siapa itu kaget luar biasa dan hampir menjatuhkan ponselnya.Aku juga jadi ikut terkejut saat melihat wajah Mas Gandhy yang kaget itu."I-iya, ini dah habis."Dia kemudian berdiri dari kursi dan menggandengku masuk ke kamar."Udah beres, Mas?" tanyaku setelah kami sudah berada di dalam kamar."Apanya?" tanyanya bingung."Tadi barang yang baru datang.""Oh, itu. Udah. Ayo tidur," ajaknya.Dia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya yang dia gantung di dekat lemari.Firasatku mulai tak enak. Dia tak pernah begitu. Ponselnya harus ada di sampingnya saat dia tidur. Ini pertama kalinya dia tak menaruh ponselnya di dekatnya."Kenapa?" tanyanya."Nggak apa-apa," jawabku pelan.Aku membiarkan dia tidur sambil memelukku di kasur bagian bawah. Kasur kami ada dua di kamar, sebuah spring bed dan sebuah kasur busa biasa. Spring bed untuk Fuchsia, busa untuk Mas Gandhy dan aku.Aku tidak bisa tidur dan saat aku lihat Mas Gandhy sudah tertidur pulas, secara perlahan aku menggeser tubuhku dan berdiri. Dengan pelan-pelan aku berjalan agar tidak ketahuan. Aku lalu membuka tas selempang hitam Mas Gandhy dan mengambil ponselnya.Tidak dikunci, aku lega. Dia memang tidak pernah mengunci ponselnya.Aku dengan cepat membuka aplikasi chat itu dan langsung mencari nomor Mbak Deva. Aku agak terkejut saat nomor itu di pinned. Padahal setahuku hanya nomorku saja yang di pinned.Aku menggigit bibirku mulai takut. Aku memejamkan mataku sebelum membuka isi chat dari bos suamiku itu.Tetapi kemudian aku hanya bisa terdiam saat membacanya."Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments