Share

Tumbal

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-14 09:35:14

Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.

Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.

Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.

---

Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:

> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."

---

Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.

Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.

---

Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.

Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah rawa.

Padahal... tidak ada siapa pun yang membawa lonceng.

---

Di rumah Bu Darmi, aroma melati menguar dari dalam kamar meski tak ada bunga. Lampu mati sendiri setiap pukul tiga pagi. Dan setiap malam, seseorang seperti mengetuk-ngetuk jendela rumahnya sambil bersenandung lagu Belanda kuno.

> "Slaap kindje slaap..."

---

Bu Darmi akhirnya mengunjungi kembali Mbah Rono, yang kini terlihat jauh lebih kurus dan pucat.

> “Desa ini butuh tumbal sejati,” ujar Mbah Rono tanpa basa-basi. “Seseorang yang rela... bukan dipaksa.”

> “Kalau tidak?”

> “Bangsa mereka akan memilih sendiri. Dan pilihan mereka... tak bisa dibantah.”

---

Malam itu, Bu Darmi berdiri di tengah lapangan desa. Ia membawa sesajen lengkap: ayam cemani, bunga kantil, air dari sumber mata air yang sudah lama ditinggalkan.

Ia bersimpuh di bawah langit gelap, memohon ampun dan perlindungan.

Tapi tak lama kemudian... suara langkah terdengar dari balik kegelapan.

Pelan, tapi pasti... seseorang mendekat.

Reza.

Tapi itu bukan Reza yang dulu. Wajahnya masih sama, tapi matanya... hitam sepenuhnya, tak ada bagian putih. Ia tak berkedip. Mulutnya kaku. Dan setiap langkahnya... meninggalkan bekas lumpur yang menghitam di tanah.

> “Kau memanggil kami... dan kini waktunya membayar,” ucapnya dengan suara seperti dua orang bicara bersamaan.

---

Bu Darmi menunduk, lalu berdiri perlahan.

> “Ambil aku... lepaskan desa ini.”

Tapi Reza—or whatever he had become—menggeleng.

> “Bukan kau yang kami inginkan. Kau sudah tua. Tubuhmu tak cocok.”

Lalu dari belakangnya muncul sosok lain. Tinggi, berjubah kabut, wajah tertutup kain lusuh, dan dari tubuhnya menguap aroma tanah basah.

> “Kami pilih yang muda... dan yang penuh kehidupan.”

---

Teriakan terdengar dari rumah sebelah. Seorang gadis kecil, anak pasangan muda di desa itu, menghilang dari tempat tidur. Jendela kamarnya terbuka lebar. Di tanah, jejak kaki kecil menuju ke arah... rawa.

Bu Darmi berlari sekencang-kencangnya. Tapi setibanya di rawa, hanya bayangan yang tersisa. Bayangan seperti tangan... menarik sesuatu ke dalam.

Gadis itu... lenyap.

---

Keesokan harinya, desa geger. Warga menuntut tindakan.

Mbah Rono kembali berkata, “Satu tumbal tidak cukup. Mereka ingin tujuh.”

> “Tujuh?” suara Pak Kepala Desa gemetar.

> “Tujuh jiwa... mewakili tujuh pelanggaran. Kalian yang membongkar bedeng, membuka sumur, menebang beringin, mengambil dari rawa tanpa izin, menertawakan peringatan, menolak tanda... dan terakhir, kalian yang pura-pura tak tahu.”

Semua saling pandang.

Satu per satu... mereka merasa menjadi bagian dari tujuh kesalahan itu.

---

Malam harinya, satu keluarga muda pergi diam-diam. Ingin lari dari desa. Tapi mobil mereka tak pernah sampai ke kota. Esoknya, ditemukan terguling di jalan turunan, seluruh tubuh gosong, seperti terbakar dari dalam.

Tak ada api. Tak ada bensin meledak. Tapi tubuh mereka... hangus.

Di kaca depan mobil, tertulis dengan lumpur:

> “Tak bisa lari dari tanah larangan.”

---

Bu Darmi akhirnya menulis surat.

> "Aku tahu aku bukan pilihan mereka. Tapi aku akan mencoba. Jika aku tak kembali, kuburkan aku di bawah pohon beringin. Jangan menangis. Jangan mencariku. Hanya doa yang bisa membantu."

Surat itu ditemukan pagi hari, bersama kain putih dan dupa sisa ritual.

Bu Darmi... tak pernah ditemukan lagi.

---

Tapi sejak malam itu, rawa mulai tenang.

Tak ada lagi bau amis.

Tak ada lagi jeritan.

Dan suara lonceng kecil... hilang.

---

Tapi saat warga mulai mencoba hidup kembali, satu hal kecil muncul kembali.

Di tengah lapangan desa... tumbuh pohon kecil.

Pohon beringin baru.

Tepat di tempat darah pertama tumpah.

Dan setiap malam Jumat, suara kecil terdengar dari akar pohon itu.

> “Masih empat lagi...”

Di malam-malam berikutnya, suasana desa makin berubah. Suara jangkrik menghilang. Angin tak lagi bertiup. Langit pun seperti murka, diselimuti awan kelam yang tak kunjung bubar.

Pak Sastro bukan satu-satunya korban.

Dalam sepekan, dua warga lainnya ditemukan tak bernyawa. Satu orang pemuda, Tegar, ditemukan terkapar di sawah, matanya terbuka lebar dan mulutnya dipenuhi lumpur. Tubuhnya dingin dan kaku seperti telah meninggal berhari-hari, padahal sore sebelumnya ia masih terlihat sehat dan ceria.

Korban lainnya adalah Mbak Weni, guru PAUD di desa. Ia ditemukan di dekat sumber mata air, tubuhnya terendam setengah di dalam air, seperti ditarik oleh sesuatu. Di sekelilingnya, bunga kantil berserakan tanpa ada yang menanam.

Desa kembali berduka.

Namun yang membuat warga semakin takut adalah satu fakta yang tak bisa dijelaskan…

Semua korban seminggu sebelum meninggal pernah melintasi daerah beringin dan berbicara tidak sopan.

---

Salah satu pemuda, Indra, pernah menantang dengan sengaja:

> “Ah, masa iya cuma karena nyari jangkrik aja bisa mati? Itu kan cuma mitos!”

Ia bahkan tertawa sambil meludah ke arah rawa saat berkata begitu.

Seminggu kemudian, Indra menghilang.

Motor miliknya ditemukan di tepi rawa. Mesin masih hangat, lampu masih menyala, tapi tak ada jejak keberadaannya. Satu-satunya petunjuk hanya helm yang tergeletak... dan sehelai rambut panjang putih melilit di pegangannya.

---

Warga mulai tak tidur malam.

Beberapa keluarga mulai membakar kemenyan dan menyalakan lampu minyak di tiap sudut rumah. Tapi semua itu terasa percuma.

Karena setiap malam, suara-suara dari balik pohon beringin makin jelas. Bukan hanya tawa... tapi juga suara tangis. Tangis anak kecil, tangis perempuan, dan bahkan suara teriakan orang dewasa—semuanya berbaur menjadi simfoni kesengsaraan.

---

Di malam Jumat Kliwon berikutnya, beberapa warga nekat melakukan ronda. Mereka tak ingin kehilangan korban lagi.

Empat orang: Pak Mukri, Darto, Leman, dan Andi.

Mereka membawa senter, bambu runcing, dan kitab suci di saku.

Malam itu sunyi. Langkah mereka berat menyusuri jalan setapak dekat rawa.

Namun saat melewati selokan kecil dekat sumber mata air, suara seperti orang menangis membuat mereka berhenti.

Tangisan lirih. Seperti suara anak kecil yang kesepian.

“Jangan dengerin...” bisik Pak Mukri.

Namun Darto yang paling muda penasaran. Ia mengarahkan senter ke arah semak-semak.

Dan di sana… terlihat sosok kecil membelakangi mereka. Berambut panjang, bajunya basah kuyup.

> “Dek, kamu kenapa?” tanya Darto pelan.

Tak ada jawaban.

Sosok itu berdiri perlahan. Kepalanya mulai menoleh... tapi bukan ke kiri atau kanan.

Lehernya memutar 180 derajat ke belakang. Matanya hitam kelam. Dan ia tersenyum.

> “Kamu bagian keempat…”

Lampu senter mati seketika.

Empat orang itu menjerit. Warga menemukan mereka pagi hari, gemetar, tak mampu berkata apa-apa.

Mulut mereka terbuka, tetapi hanya suara serak yang keluar. Mata mereka... kosong.

Dan di dada mereka masing-masing... tergores angka samar:

“4”

---

Kepanikan melanda. Warga ingin meninggalkan desa, tapi semua jalan keluar tertutup kabut tebal setiap malam. Seolah desa ini telah terputus dari dunia luar.

Mbah Rono, yang selama ini menjadi rujukan spiritual desa, mendadak tak sadarkan diri selama tiga hari. Saat sadar, ia hanya berkata:

> “Terlambat. Mereka sudah memilih... yang keempat sudah ditandai. Tiga lagi... dan tanah ini akan menjadi milik mereka sepenuhnya.”

---

Di akhir malam itu, satu hal aneh terjadi di langit desa.

Awan membentuk lingkaran. Di tengahnya, tampak kilatan cahaya merah seperti mata mengintip dari balik langit.

Dan terdengar bisikan... lembut namun menusuk:

> “Tiga jiwa lagi…”

---

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status