Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi.
Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi Reza hanya diam. Ia masuk ke rumahnya... lalu mengunci pintu rapat-rapat. Malam itu, terdengar suara aneh dari dalam rumahnya—bunyi air menetes, lalu suara langkah kaki basah, seperti berjalan di rawa. --- Keesokan harinya, kejadian-kejadian aneh mulai muncul lagi. Tapi kali ini... hanya terjadi di sekitar rumah Reza. Lampu rumah-rumah tetangga berkedip tanpa alasan. Anjing menggonggong ke arah dinding kosong. Seorang anak kecil tiba-tiba histeris, mengaku melihat “Om Reza” duduk di atas plafon rumah sambil menatapnya tanpa berkedip. Bu Darmi, yang sempat dirawat karena sakit, memanggil Pak Sastro dan berbisik, > “Itu bukan Reza... tubuhnya memang iya, tapi bukan dia.” --- Malamnya, Pak Sastro dan beberapa warga berkumpul di masjid untuk berdoa bersama. Saat itulah terdengar suara ketukan dari luar. Tok... tok... tok... Tiga kali. Pelan. Teratur. Saat pintu dibuka... tak ada siapa-siapa. Hanya angin dingin yang menyapu masuk, membawa bau lumpur dan bunga kenanga busuk. Salah satu warga, Pak Rahman, langsung muntah darah. Matanya merah seperti habis menangis seharian. Ia pingsan, dan saat sadar—ia lupa siapa dirinya. --- Sementara itu, Reza mulai bertingkah aneh. Ia bicara sendiri, kadang tertawa, kadang menangis. Kadang berdiri berjam-jam di tepi sumur belakang rumahnya sambil menatap ke dalam—seolah ada yang memanggil dari dasar sumur. Anak-anak kecil dilarang main ke sana. Tapi larangan itu datang terlambat. Suatu sore, tiga anak bermain di halaman belakang rumah Reza. Salah satunya—namanya Rendi—menghilang. Yang tersisa hanyalah sandal kecil dan bekas telapak tangan berlumur tanah di dinding sumur. --- Bu Darmi memanggil Reza untuk bicara. Ia membawa kendi tua itu, meyakini benda itu kunci dari segalanya. “Za... kalau kamu masih di sana... tolong beri tanda,” lirihnya. Reza memalingkan wajah. Tiba-tiba ia tertawa—tapi tawanya bukan milik Reza. Suaranya berat, bergema, seperti berasal dari perut bumi. > “Reza sudah pergi... dia menukar tempatnya. Sekarang giliran kalian yang menunggu... giliran kalian yang akan dijemput.” Bu Darmi gemetar. Ia melempar kendi itu ke tanah. Pecah. Dan dari pecahan itu... keluar kabut hitam yang langsung menyelimuti kaki Reza. --- Kabar cepat menyebar. Warga mulai ketakutan lagi. Tapi kali ini berbeda—tidak ada yang berani bergerak. Karena setiap malam, satu demi satu warga mulai menghilang. Tanpa jejak. Tanpa suara. Hanya ada tanda: jejak lumpur di depan rumah mereka. Pak Sastro memutuskan untuk mengumpulkan orang-orang dan membakar rumah Reza, berharap api bisa mengusir makhluk yang bersemayam di dalam tubuhnya. Malam itu mereka datang, membawa obor dan bensin. Namun saat mereka hendak menyiramkan api... pintu rumah terbuka sendiri. Di dalam... duduk Reza. Atau sesuatu yang menyerupainya. Wajahnya setengah busuk. Matanya hitam legam. Ia tersenyum—senyum yang membuat darah mereka membeku. > “Ayo... bakar. Tapi pastikan kalian siap... untuk menggantikanku.” Dan saat api menyala... seluruh rumah lenyap begitu saja. Tak ada api. Tak ada puing. Hanya... lumpur. Menggenang di tempat rumah itu berdiri. Dan di tengah lumpur... sebuah tangan perlahan muncul dari dalam, melambai pelan... Seolah memanggil siapa saja yang berani mendekat. Beberapa malam setelah rumah Reza “lenyap”, warga desa tak lagi berani keluar selepas Magrib. Pintu-pintu rumah digembok dari dalam. Jendela ditutup rapat. Tapi suara-suara aneh tetap terdengar—ratapan, jeritan, suara kaki berlari... semuanya tanpa wujud. Bu Darmi yang dulu berani kini hanya bisa komat-kamit membaca doa. Ia percaya, bangsa lelembut sudah tak lagi tinggal di bukit... mereka kini ada di antara manusia. --- Pak Sastro mencoba bicara dengan seorang sesepuh desa, Mbah Rono, yang sudah lama menarik diri dari kehidupan masyarakat. Ia tinggal di gubuk bambu dekat makam tua. Ketika Pak Sastro datang, Mbah Rono sudah menunggu di depan pintu. Seolah tahu kedatangannya. > “Kowe terlambat, Nak. Pintu sudah kebuka... dan mereka marah.” Pak Sastro gemetar. “Apa yang harus kita lakukan, Mbah?” Mbah Rono memejamkan mata, lalu berkata, > “Ada yang ditukar. Arwah lama dibangkitkan. Tubuh Reza sudah jadi wadah... dan kini mereka mencari tubuh lain. Kalau tidak dihentikan, seluruh desa ini akan menjadi desa mereka.” --- Malamnya, langit berubah merah darah. Tak ada angin, tapi daun-daun beterbangan. Rawa di belakang bukit menghitam, airnya berbuih. Bau amis menyebar sampai ke tengah desa. Anak-anak kecil mulai demam tinggi. Beberapa warga melihat penampakan sosok-sosok besar berjalan di pinggiran desa—tinggi, berjubah gelap, dan tidak menyentuh tanah. Orang-orang mulai pingsan tanpa sebab. Yang bangun, bicara dengan suara bukan miliknya. Seorang ibu tua bahkan ditemukan duduk di atas genteng rumahnya sendiri, menangis sambil memeluk boneka lumpur. --- Malam keempat sejak rumah Reza hilang, mimpi-mimpi buruk mulai merayap ke semua warga. Dalam mimpinya, mereka melihat desa tenggelam dalam rawa. Rumah-rumah terendam, dan dari dasar air... ribuan tangan pucat menarik mereka ke dalam. Semua mimpi itu berakhir sama: suara berbisik pelan, > "Kalian melanggar... tanah ini bukan milikmu." --- Bu Darmi menemukan catatan tua dari ayahnya, yang dulunya adalah juru kunci area bukit. Di dalamnya, tertulis: > “Bedeng Belanda yang dulu berdiri... adalah segel. Di bawahnya tertidur makhluk tua yang pernah memakan satu desa utuh pada masa penjajahan. Sumur itu adalah mata mereka, dan dua beringin adalah penjaganya. Jika ketiganya rusak, mereka akan bangun... dan dunia manusia takkan aman lagi.” Bedeng sudah dibongkar. Sumur sudah dibuka. Salah satu beringin—dipotong warga tiga tahun lalu. Semua segel... telah rusak. --- Pak Sastro dan Mbah Rono memutuskan untuk mengadakan ritual terakhir—memanggil kembali arwah Reza, jika masih bisa, dan memutuskan perjanjian gaib yang telah terbuka. Tapi untuk itu... seseorang harus menjadi umpan. Bu Darmi menawarkan diri. Malam purnama tiba. Ritual dimulai di bawah pohon beringin yang tersisa. Lilin menyala membentuk lingkaran. Kendi yang pecah disatukan kembali, lalu diisi air dari rawa yang menghitam. Bu Darmi duduk di tengah. Mata tertutup kain putih. Mantra dilantunkan. Dan tak lama kemudian... ia menjerit. Tubuhnya kejang. Mata terbuka, penuh darah. Dari mulutnya keluar suara yang sangat berat—bukan suara manusia. > “Kenapa kalian ganggu? Dia sudah milik kami! Kalian... semua... akan jadi bayangan di hutan kami!” Lilin padam serentak. Angin kencang berhembus dari rawa. Lalu... semuanya gelap. --- Ketika cahaya kembali, Bu Darmi tergeletak. Tapi ia sadar. “Reza... masih di sana. Terkunci. Tapi belum terlambat,” ucapnya lemah. Warga mulai berkumpul. Semua sepakat: rawa harus ditutup. Sumur harus dikunci. Dan pohon beringin tak boleh disentuh lagi. Malam itu, mereka menutup mulut sumur dengan batu besar dan tanah merah. Kendi dikubur dalam di bawah akar beringin. Mereka bakar dupa dan tabur bunga tujuh rupa. Saat upacara selesai, angin berhenti. Bau amis hilang. Dan langit kembali hitam... biasa. --- Tapi ketika semua kembali ke rumah, Mbah Rono menatap bukit dari kejauhan. Ia tahu... itu belum akhir. Karena dari jauh... di balik kabut malam... tampak satu sosok berdiri di atas bukit. Tersenyum. Dengan mata yang sangat... sangat kosong. --- ---Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe
Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol
Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip
Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har
Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu
Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k