Tak lama setelah itu, mata Emily menangkap sosok yang sangat ia kenali. Mr. Whiteller berjalan ke arah mereka dengan langkah santai namun penuh wibawa. Emily langsung bangkit dari kursinya, berusaha menjaga sikap seformal mungkin."Selamat malam, Sir," sapa Emily sopan sambil sedikit menundukkan kepala."Selamat malam," balas Mr. Whiteller sambil tersenyum tipis. Kemudian matanya melirik ke arah Amore yang sudah setengah terlelap di kursinya. "Terima kasih sudah menjaganya," ucapnya sambil mengangguk rngan ke arah Emily."Ahh... tampannya aku," gumam Amore di antara tawa kecilnya, membuat Emily tersenyum canggung."Ikut kami. Aku akan mengantar ke apartemen mu," tawar Mr. Whiteller."Oh, tidak, tidak perlu, Sir. Setelah ini saya masih ingin mampir ke suatu tempat. Anda bisa pulang lebih dulu," tolak Emily sopan namun tegas.Mr. Whiteller mengangguk, menghormati keputusan Emily. "Baiklah, kami akan pergi lebih dulu," ucapnya singkat. Dengan sigap, ia membungkuk dan menggendong Amore ta
Setelah beberapa saat berbasa-basi, "Kenapa kita tidak makan bersama? Aku tahu tempat yang bagus di dekat sini."Emily dan Dimas saling pandang. Emily terlihat ragu, sementara Dimas hanya mengangkat bahu seolah menyerahkan keputusan padanya."Kami sebenarnya sedang berencana langsung pulang setelah ini," ucap Emily pelan, mencoba mencari alasan."Ah, ayolah," bujuk Alice. "Ini cuma makan santai. Lagipula, kau pasti lapar setelah belanja lama seperti ini. Aku akan traktir kalian."Dimas langsung merespons, "Kalau ditraktir, aku setuju!" katanya setengah bercanda, membuat Emily mendengus kecil."Baiklah," kata Emily akhirnya, merasa sulit untuk menolak.Alice tersenyum senang. "Bagus! Tempatnya tidak jauh, hanya lima menit dari sini. Ayo, kita pergi bersama."…Mereka tiba di sebuah restoran kecil namun elegan dengan suasana hangat dan pencahayaan redup. Alice memilih meja di sudut yang nyaman, dan mereka segera duduk.Setelah memesan makanan, Alice mulai berbicara. "Dimas, bagaimana me
"Jadi, bagaimana pengalaman kalian selama di apartemen? Adakah kendala?" tanya Mr. Whiteller begitu mobil yang mereka tumpangi berbelok keluar dari lingkungan restoran tadi. Suara tenangnya memecah keheningan di dalam mobil."Sejauh ini tidak ada kendala, Sir. Terima kasih atas fasilitas yang Mr. Whiteller berikan kepada kami," jawab Dimas yang duduk di sebelah Mr. Whiteller, yang sedang mengemudi."Saya senang jika tamu-tamu saya merasa nyaman," balas Mr. Whiteller sambil sesekali melirik ke arah jalan."Kami merasa sangat nyaman, Sir," tambah Dimas dengan nada penuh keyakinan.Mr. Whiteller melirik kaca spion tengah, kali ini tatapannya tertuju pada Emily. "Bagaimana denganmu, Emily? Apakah ada kendala selama di sini?" tanyanya.Emily sedikit terkejut mendapatkan perhatian langsung, tetapi dengan cepat menjawab, "Tidak ada, Sir. Terima kasih untuk semua fasilitas yang telah dipersiapkan untuk kami."Mr. Whiteller mengangguk pelan, tampak puas dengan jawaban itu. Namun, jeda sesaat m
Setelah makan siang, Emily dan Leni, yang diikuti oleh Dimas, akhirnya menuju lantai 11 untuk melihat pengerjaan proyek. Saat mereka tiba di lokasi, mereka mendapati Beni dan Mr. Whiteller sudah berada di sana."Selamat siang, Sir. Pak Beni," sapa mereka bertiga hampir serempakBeni, yang tampaknya sedang menyelesaikan sesuatu pada laptopnya, mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Selamat siang," balasnya ramah, lalu mengarahkan pandangannya ke Emily. "Hai, Emily. Sudah lama tidak bertemu," ucap Beni dengan nada yang terdengar cukup akrab.Emily tersenyum sopan. "Hai, Pak Beni," balasnya pendek, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional.Namun, momen singkat itu tidak luput dari perhatian Mr. Whiteller, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Di sisi lain, Leni memandang ke arah Emily dan Beni dengan tatapan yang jelas menunjukkan rasa tidak suka."Baiklah, saya harus pergi ke lantai lain. Semoga pengerjaan disini berjalan lancar," ucap Beni sambil m
Di Klinik kantorSetelah tiba di klinik, Emily segera diperiksa oleh petugas medis yang ada di sana. Untungnya, luka di lengannya tidak terlalu dalam dan tidak memerlukan jahitan."Syukurlah" ucap Dimas lega sambil duduk di kursi dekat tempat tidur Emily.Emily hanya mengangguk kecil sambil memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. "Aku merasa bodoh. Aku bahkan tidak melihat balok itu," gumamnya pelan."Ini bukan salahmu, Em," ucap Dimas mencoba menghibur. "Lagipula, balok itu seharusnya tidak diletakkan sembarangan di tempat yang bisa membahayakan orang."Emily mengangguk lagi, meskipun dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia teringat gerakan kecil Leni sebelumnya, tetapi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Tak lama kemudian, pintu klinik terbuka, dan Mr. Whiteller masuk. Wajahnya tampak serius seperti biasa, namun ada sedikit kekhawatiran dalam tatapannya."Bagaimana keadaannya?" tanya Mr. Whiteller langsung kepada petugas medis."Dia baik-baik saja, Sir. Tidak
"Dim, aku mau ke bawah dulu, ya," ucap Emily sambil meletakkan handphonenya."Mau ke mana?" tanya Dimas"Ada Amore di bawah." jawab Emily sambil merapikan tempat tidurnya"Tunggu," ucapnya sambil berjalan mendekat. "Biar aku saja yang jemput Amore."Emily menatapnya dengan tatapan bingung. "Dim, aku bisa sendiri"Dimas mengabaikan protes Emily dan mengambil langkah cepat ke pintu. "Tunggu di sini, aku yang jemput dia."Emily hanya bisa menghela napas dan menggeleng pelan melihat tindakan Dimas yang selalu terlalu protektif. "Baiklah," ucapnya akhirnya.Sambil menggeleng kecil. Ia lalu kembali duduk di kasurnya, menunggu Dimas kembali bersama Amore."Emmmilllyyy!" teriak Amore begitu tiba di depan kamar Emily. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung masuk dan memeriksa Emily dari kepala hingga kaki. Tangannya sibuk menyentuh lengan dan bahu Emily, seolah memastikan tidak ada luka serius."Aku tidak apa-apa, Amore. Kamu terlalu berlebihan," ucap Emily sambil berusaha melepaskan tangan A
Emily hanya menggelengkan kepalanya tanpa berkata apa-apa lagi. Dia tahu Dimas bukan tipe orang yang mudah melepaskan rasa penasarannya, tapi dia juga tidak ingin terlalu memikirkan urusan pribadi orang lain.…"Tiba-tiba dia menjerit... ternyata jatuh," ucap Dimas kemudian terkekeh. "Dan dia masih sempat membenarkan poninya lagi, tidak ingat dengan jenggotnya," tambah Emily sambil tertawa. Mereka tertawa bersama, mengenang kejadian lucu yang mereka alami di jalan saat menuju kantor.Saat tiba di meja masing-masing, Emily terkejut melihat sebuah kantong berisi salep dan kapas di atas mejanya. "Kau yang menaruh ini, Dim?" tanya Emily sambil mengangkat kantong tersebut."Bukan, kan kita berangkat bersama tadi," balas Dimas sambil mengernyitkan dahi. "Siapa ya?" tanya Emily dengan nada penasaran, matanya memperhatikan sekeliling ruangan.Dimas mengangkat bahu, kemudian mendekat untuk melihat isi kantong itu. "Mungkin seseorang merasa kasihan pa
Emily menelan ludah. "Terima kasih, Sir. Tapi saya yakin luka ini akan sembuh dengan cepat," ucap Emily, mencoba mengakhiri pembicaraan."Saya memang selalu memastikan mitra atau partner kerja saya dalam kondisi prima," ucap Mr. Whiteller tegas. "karena Proyek ini membutuhkan semua orang dalam kondisi terbaik mereka."Dimas hampir tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia menundukkan kepala, berpura-pura fokus pada piringnya yang sudah kosong. Sementara Beni masih terdiam, matanya berpindah-pindah antara Mr. Whiteller dan Emily, seolah mencoba memahami dinamika aneh yang baru saja ia saksikan.Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller berdiri. "Saya akan kembali ke ruangan. Beni, ikut saya," ucapnya, memecah keheningan."Baik, Sir," jawab Beni, dengan cepat mengikuti langkah bosnya.Begitu mereka berdua pergi, Dimas langsung meledak tertawa. "Ya ampun, Em. Ini semakin menarik. Bos kita perhatian banget sama kamu!""Hush, jangan begitu!" Emily memukul lengan Dimas dengan pelan. "Dia hanya peduli
"Listriknya turun, tapi aku reset di meterannya," jelasnya."Aneh… tidak ada alat berat yang dinyalakan," kata sang ibu sambil menggeleng pelan."Selama tinggal di sini, belum pernah listrik turun tanpa sebab."Mereka akhirnya melanjutkan makan malam. Namun suasana tak lagi sehangat tadi. Hanya suara sendok dan piring yang beradu pelan, serta desir angin dari luar jendela yang kini terdengar makin jelas.Sylvester duduk tenang, tapi matanya tetap awas, mengamati sekitar.Emily menatapnya sesekali. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Syl… kamu pikir ini cuma kebetulan?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester menggeleng pelan. Tangannya meraih tangan Emily di bawah meja, menggenggamnya erat."Jangan khawatir. Aku akan berjaga malam ini."Emily mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, rasa tidak tenang itu belum juga pergi.…Malam semakin sunyi. Setelah makan malam dibereskan dan Elio kembali tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, Emily pun masuk ke kamarnya. I
Sang ibu lalu berkomentar lagi, saat melihat amore selesai dengan makannya dan bersiap akan pergi"Eh, tapi kok temanmu ini cepat sekali makannya. Baru datang langsung pulang?"Sylvester mengangkat wajah dan menjawab,"Dia hanya mampir makan siang, Bu. Setelah ini dia harus kembali.""Kenapa nggak menginap saja? Biar bisa ngobrol lebih lama," ucap ibu Emily, terlihat sungguh-sungguh.Sylvester menatap Amore, lalu berbicara dalam bahasa Inggris agar ibu Emily tidak menangkap isi pembicaraannya,"Kau bisa cari penginapan di sekitar sini. Aku dan Emily masih beberapa hari di sini."Emily mendengar dan tampak sedikit heran."Kenapa dia nggak tidur di sini saja? Toh, kita bertiga sudah biasa bersama. Lagipula, kenapa kamu ke kota ini? Hanya ingin bertemu denganku? Kalau iya, kenapa nggak tidur sekamar denganku saja?"Amore tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang,"Aku sekalian kerja, Em. Butuh sedikit ruang dan privasi juga
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve
...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki
Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca
Sebuah tamparan mendarat di pipi Sylvester."Ibu!" seru Emily terkejut."Itu untukmu—yang membawa pengaruh buruk pada anakku."PLAK!"Untukmu—yang merenggut mahkota anakku."PLAK!"Untuk kehamilan ini yang menghancurkan hati seorang ibu."PLAK!"Dan ini, kalau kau sampai lepas tanggung jawab."Sylvester tidak mengelak. Ia menerima semuanya dengan kepala tertunduk."Saya terima, Bu. Saya pantas menerimanya."Suasana hening beberapa detik. Sang ibu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berkata pelan:"Boleh Ibu duduk?"Emily langsung berdiri dan mempersilakan."Tentu, Bu. Silakan duduk."Sang ibu duduk di kursi seberang mereka. Tatapannya tajam tapi tidak lagi penuh amarah, hanya kelelahan seorang ibu yang sedang mencoba memahami."Ibu... maafkan aku," ucap Emily dengan suara bergetar."Aku tahu ini mengejutkan. Aku tahu aku mengecewakan Ibu."Sang ibu menggeleng perlahan."Kamu tidak mengecewakan Ibu, Emily. Kamu hanya membuat Ibu sangat takut."Emily tertunduk. Sylvester masih me
Emily menoleh, lalu menggenggam tangan Sylvester."Bu, ini Sylvester..."Sylvester menunduk sopan."Selamat siang, Bu. Saya kekasih Emily."Emily menatapnya terkejut—bukan karena kata-katanya, tapi karena... Sylvester berbicara dalam bahasa Indonesia."Weh, hebat! Kamu udah berapa lama tinggal di Indonesia, kok bisa bahasa Indonesia?" tanya sang ibu sambil terkekeh."Semenjak bersama Emily, Bu. Saya masih belajar." jawab Sylvester ramah."Loh, kamu kok nggak bilang-bilang, Emily? Punya pacar bule!" goda ibunya sambil menepuk pelan lengan anaknya.Emily hanya meringis, lalu tertawa."Yasudah, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak sang ibu hangat.Emily menggandeng tangan Sylvester masuk ke dalam rumah, sambil berbisik,"Sejak kapan kamu bisa bahasa Indonesia? Kenapa aku nggak tahu?""Masih tahap belajar," bisik Sylvester sambil tersenyum. "Tapi aku yakin, seminggu lagi aku akan fasih.""Sangat tidak adil," gumam Emily sambil duduk di sofa ruang tamu. "Kau kaya, kau tampan, dan sekara
Dokter hanya membalas dengan senyuman tenang, lalu mulai melakukan pemeriksaan fisik sederhana di bagian perut Emily.Beberapa menit kemudian, Emily kembali duduk di samping Sylvester, menggenggam tangannya erat. Tangannya dingin, dan wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya."Apa pun hasilnya, kita hadapi bersama," bisik Sylvester, jemarinya menyentuh pipi Emily dengan penuh kelembutan.Tak lama, pintu diketuk. Dokter masuk kembali sambil membawa sebuah amplop berisi hasil tes. Ia duduk, menatap mereka berdua dengan sorot mata hangat."Emily... selamat. Hasil tesnya positif. Kamu hamil."Seketika, waktu seolah berhenti.Emily menatap dokter itu dengan pandangan kosong, seakan otaknya butuh waktu untuk benar-benar mencerna kata-kata tersebut. Ia perlahan menoleh ke arah Sylvester, yang kini menatapnya penuh haru, tak mampu menyembunyikan campuran antara syok dan kebahagiaan."Aku... hamil?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester mengangguk perlahan, lalu merengkuhnya ke dalam
Cahaya matahari menembus tirai kamar, membasuh ruangan dengan kehangatan lembut. Di dalam kamar, Emily tengah bersiap. Gaun sederhana berwarna biru muda membalut tubuhnya, rambutnya disisir rapi ke belakang. Tapi sebelum sempat menyentuh sepatu di dekat ranjang, perutnya tiba-tiba terasa mual.Ia buru-buru menutup mulut, lalu berlari ke kamar mandi."Ugh..." suara muntah terdengar, disusul oleh isakan kecil yang tertahan.Sylvester, yang baru saja datang membawa jaketnya, sontak panik."Emily?" Ia segera menghampiri, langkahnya cepat dan wajahnya cemas.Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi yang terbuka setengah, melihat Emily berpegangan pada wastafel dengan wajah pucat."Em, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, hampir berbisik.Emily berdiri lemas, membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia mencoba tersenyum melalui cermin"Aku nggak tahu... tiba-tiba saja mual."Sylvester masuk dan memegang bahunya dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya."Kamu sakit? Kita nggak usah ke mana-ma