Sementara itu, di luar ruangan, Mr. Whiteller membuka kotak makan siangnya dan tersenyum tipis saat aroma masakan buatan Emily menguar. Ia mulai menyantap makanannya dengan tenang, menikmati setiap suapan yang terasa lebih personal dibandingkan makanan mewah yang biasa ia nikmati.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu, dan masuklah Amore. Dengan langkah percaya diri, Amore berjalan mendekati meja kerja Sylvester, tangannya bersedekap.
"Makanannya terlihat enak," ucap Amore dengan nada datar, matanya menatap kotak makan siang yang sedang dinikmati Sylvester.
"Ya," jawab Sylvester singkat tanpa mengalihkan perhatian dari makanannya.
Amore mengangkat alis, tidak puas dengan respons singkat itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin?" tanyanya, mencoba memancing percakapan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke meja. "Mengapa kau sekarang begitu 'terkenal'? Hampir semua penghuni Whiteller Corp membicarakan dirimu dan Emily. Apa yang
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
"Listriknya turun, tapi aku reset di meterannya," jelasnya."Aneh… tidak ada alat berat yang dinyalakan," kata sang ibu sambil menggeleng pelan."Selama tinggal di sini, belum pernah listrik turun tanpa sebab."Mereka akhirnya melanjutkan makan malam. Namun suasana tak lagi sehangat tadi. Hanya suara sendok dan piring yang beradu pelan, serta desir angin dari luar jendela yang kini terdengar makin jelas.Sylvester duduk tenang, tapi matanya tetap awas, mengamati sekitar.Emily menatapnya sesekali. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Syl… kamu pikir ini cuma kebetulan?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester menggeleng pelan. Tangannya meraih tangan Emily di bawah meja, menggenggamnya erat."Jangan khawatir. Aku akan berjaga malam ini."Emily mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, rasa tidak tenang itu belum juga pergi.…Malam semakin sunyi. Setelah makan malam dibereskan dan Elio kembali tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, Emily pun masuk ke kamarnya. I
Sang ibu lalu berkomentar lagi, saat melihat amore selesai dengan makannya dan bersiap akan pergi"Eh, tapi kok temanmu ini cepat sekali makannya. Baru datang langsung pulang?"Sylvester mengangkat wajah dan menjawab,"Dia hanya mampir makan siang, Bu. Setelah ini dia harus kembali.""Kenapa nggak menginap saja? Biar bisa ngobrol lebih lama," ucap ibu Emily, terlihat sungguh-sungguh.Sylvester menatap Amore, lalu berbicara dalam bahasa Inggris agar ibu Emily tidak menangkap isi pembicaraannya,"Kau bisa cari penginapan di sekitar sini. Aku dan Emily masih beberapa hari di sini."Emily mendengar dan tampak sedikit heran."Kenapa dia nggak tidur di sini saja? Toh, kita bertiga sudah biasa bersama. Lagipula, kenapa kamu ke kota ini? Hanya ingin bertemu denganku? Kalau iya, kenapa nggak tidur sekamar denganku saja?"Amore tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang,"Aku sekalian kerja, Em. Butuh sedikit ruang dan privasi juga
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve
...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki
Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca
Sebuah tamparan mendarat di pipi Sylvester."Ibu!" seru Emily terkejut."Itu untukmu—yang membawa pengaruh buruk pada anakku."PLAK!"Untukmu—yang merenggut mahkota anakku."PLAK!"Untuk kehamilan ini yang menghancurkan hati seorang ibu."PLAK!"Dan ini, kalau kau sampai lepas tanggung jawab."Sylvester tidak mengelak. Ia menerima semuanya dengan kepala tertunduk."Saya terima, Bu. Saya pantas menerimanya."Suasana hening beberapa detik. Sang ibu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berkata pelan:"Boleh Ibu duduk?"Emily langsung berdiri dan mempersilakan."Tentu, Bu. Silakan duduk."Sang ibu duduk di kursi seberang mereka. Tatapannya tajam tapi tidak lagi penuh amarah, hanya kelelahan seorang ibu yang sedang mencoba memahami."Ibu... maafkan aku," ucap Emily dengan suara bergetar."Aku tahu ini mengejutkan. Aku tahu aku mengecewakan Ibu."Sang ibu menggeleng perlahan."Kamu tidak mengecewakan Ibu, Emily. Kamu hanya membuat Ibu sangat takut."Emily tertunduk. Sylvester masih me
Emily menoleh, lalu menggenggam tangan Sylvester."Bu, ini Sylvester..."Sylvester menunduk sopan."Selamat siang, Bu. Saya kekasih Emily."Emily menatapnya terkejut—bukan karena kata-katanya, tapi karena... Sylvester berbicara dalam bahasa Indonesia."Weh, hebat! Kamu udah berapa lama tinggal di Indonesia, kok bisa bahasa Indonesia?" tanya sang ibu sambil terkekeh."Semenjak bersama Emily, Bu. Saya masih belajar." jawab Sylvester ramah."Loh, kamu kok nggak bilang-bilang, Emily? Punya pacar bule!" goda ibunya sambil menepuk pelan lengan anaknya.Emily hanya meringis, lalu tertawa."Yasudah, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak sang ibu hangat.Emily menggandeng tangan Sylvester masuk ke dalam rumah, sambil berbisik,"Sejak kapan kamu bisa bahasa Indonesia? Kenapa aku nggak tahu?""Masih tahap belajar," bisik Sylvester sambil tersenyum. "Tapi aku yakin, seminggu lagi aku akan fasih.""Sangat tidak adil," gumam Emily sambil duduk di sofa ruang tamu. "Kau kaya, kau tampan, dan sekara
Dokter hanya membalas dengan senyuman tenang, lalu mulai melakukan pemeriksaan fisik sederhana di bagian perut Emily.Beberapa menit kemudian, Emily kembali duduk di samping Sylvester, menggenggam tangannya erat. Tangannya dingin, dan wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya."Apa pun hasilnya, kita hadapi bersama," bisik Sylvester, jemarinya menyentuh pipi Emily dengan penuh kelembutan.Tak lama, pintu diketuk. Dokter masuk kembali sambil membawa sebuah amplop berisi hasil tes. Ia duduk, menatap mereka berdua dengan sorot mata hangat."Emily... selamat. Hasil tesnya positif. Kamu hamil."Seketika, waktu seolah berhenti.Emily menatap dokter itu dengan pandangan kosong, seakan otaknya butuh waktu untuk benar-benar mencerna kata-kata tersebut. Ia perlahan menoleh ke arah Sylvester, yang kini menatapnya penuh haru, tak mampu menyembunyikan campuran antara syok dan kebahagiaan."Aku... hamil?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester mengangguk perlahan, lalu merengkuhnya ke dalam