Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan
Setelah makan di tepi danau—ditemani semilir angin dan suara gemericik air—mereka berempat bersandar santai di atas tikar. Tawa dan percakapan ringan masih mengalir, sampai akhirnya langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan."Ayo kita beres-beres, udah sore," ucap Emily sambil mulai melipat taplak kecil bekas makan."Iya, nanti keburu gelap. Jalannya lumayan juga turun naik," sahut Elio sambil mengemasi botol minuman.Sylvester membantu membawa keranjang, sementara ibu Emily memeriksa kembali barang-barang mereka agar tidak ada yang tertinggal.Mereka mulai berjalan pulang melewati jalur setapak kecil yang lebih sepi dari sebelumnya. Angin berembus agak kencang, dan suasana hutan ringan di sekeliling mereka terasa sedikit lebih hening dari biasanya.Saat mereka mencapai tikungan kecil di tengah jalan, tiba-tiba Sylvester berhenti. Ia menajamkan pendengaran."Tunggu sebentar."Emily menatapnya dengan dahi berkerut."Kenapa?""Aku dengar sesuatu..." jawab Sylvester pelan, matan
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
"Listriknya turun, tapi aku reset di meterannya," jelasnya."Aneh… tidak ada alat berat yang dinyalakan," kata sang ibu sambil menggeleng pelan."Selama tinggal di sini, belum pernah listrik turun tanpa sebab."Mereka akhirnya melanjutkan makan malam. Namun suasana tak lagi sehangat tadi. Hanya suara sendok dan piring yang beradu pelan, serta desir angin dari luar jendela yang kini terdengar makin jelas.Sylvester duduk tenang, tapi matanya tetap awas, mengamati sekitar.Emily menatapnya sesekali. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Syl… kamu pikir ini cuma kebetulan?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester menggeleng pelan. Tangannya meraih tangan Emily di bawah meja, menggenggamnya erat."Jangan khawatir. Aku akan berjaga malam ini."Emily mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, rasa tidak tenang itu belum juga pergi.…Malam semakin sunyi. Setelah makan malam dibereskan dan Elio kembali tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, Emily pun masuk ke kamarnya. I
Sang ibu lalu berkomentar lagi, saat melihat amore selesai dengan makannya dan bersiap akan pergi"Eh, tapi kok temanmu ini cepat sekali makannya. Baru datang langsung pulang?"Sylvester mengangkat wajah dan menjawab,"Dia hanya mampir makan siang, Bu. Setelah ini dia harus kembali.""Kenapa nggak menginap saja? Biar bisa ngobrol lebih lama," ucap ibu Emily, terlihat sungguh-sungguh.Sylvester menatap Amore, lalu berbicara dalam bahasa Inggris agar ibu Emily tidak menangkap isi pembicaraannya,"Kau bisa cari penginapan di sekitar sini. Aku dan Emily masih beberapa hari di sini."Emily mendengar dan tampak sedikit heran."Kenapa dia nggak tidur di sini saja? Toh, kita bertiga sudah biasa bersama. Lagipula, kenapa kamu ke kota ini? Hanya ingin bertemu denganku? Kalau iya, kenapa nggak tidur sekamar denganku saja?"Amore tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang,"Aku sekalian kerja, Em. Butuh sedikit ruang dan privasi juga
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve