Di Balik Pintu Gelap Diplomat

Di Balik Pintu Gelap Diplomat

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-12-15
Oleh:  DaisyBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
7Bab
7Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Maira, mahasiswi riset berusia dua puluh lima tahun, mengira tugas lapangannya di Abu Dhabi hanya akan berupa wawancara dan observasi budaya. Namun segalanya berubah ketika ia ditempatkan langsung di bawah pengawasan Wisnutama Adnan Bin Malik- seorang diplomat yang dikenal disiplin, nyaris tanpa emosi, dan memiliki reputasi berbahaya yang jarang dibicarakan secara terbuka. Perjumpaan pertama mereka membuat Maira sadar satu hal bahwa pria ini bukan tipe yang bisa ditebak atau dilawan. Terlambat satu menit saja, Wisnutama menatapnya seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal. Terlambat satu detik pun, ia mengucapkan kata hukuman tanpa berkedip. Maira tidak tahu apakah ia sedang diuji, atau sedang ditarik masuk ke dunia kerja Wisnutama yang dingin, tajam, dan teratur seperti garis map diplomatik. Namun yang tidak pernah ia duga, semakin lama ia bekerja di dekatnya, semakin jelas bahwa pria itu tidak sesederhana atau sesuci yang terlihat. Dan ketika Maira mulai menyadari bahwa dosennya menghilang tanpa jejak, penempatannya terasa janggal, dan Wisnutama terlalu tahu banyak tentang dirinya. Di antara koridor kantor diplomatik, ruangan kaca gelap lantai delapan belas, dan tatapan yang selalu menguji, Maira harus memutuskan. Melarikan diri atau mengikuti pria itu lebih jauh, meski ia tahu Wisnutama punya cara tersendiri untuk menahan siapa pun yang menarik perhatian.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bagian 1 - Riset Abu Dhabi

Maira sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan mengubah hidupnya. Ruang dosen itu sepi, hanya ada bunyi AC yang berdengung dan aroma kopi yang baru diseduh. Di meja kerjanya, berkas-berkas menumpuk seperti biasa, tapi ada satu map berlogo universitas yang diletakkan paling atas, seolah sengaja dipamerkan.

Prof. Hamdani, salah satu dosen yang paling beken dan dikagumi banyak maahsiswa menatapnya dengan senyum yang sangat hangat seperti biasa.

“Maira,” panggilnya, nada suaranya rendah tapi membawa kesan penting. “Duduklah.”

Maira duduk, menahan diri agar tidak terlihat terlalu tegang. Jari-jarinya saling meremas secara refleks. Di balik wajah manisnya, pikirannya berputar, kenapa aku dipanggil? Ada yang salah dengan proposal prngajuan risetku?

Prof. Hamdani membuka map itu perlahan, seolah ingin membangun suasana dramatik.

“Seperti yang kamu tahu,” katanya sambil menautkan kedua tangannya, “setiap tahun kita hanya memilih satu mahasiswa untuk riset lapangan di luar negeri. Tempatnya terbatas, aksesnya pun tidak mudah.”

Maira mengangguk, memahami betul akan program bergengsi itu. itu sebabnya, Maira mengikuti prosesnya, bersaing dan sangat berambisi untuk bisa terpilih. Tapi ia tidak berani berharap terlalu jauh.

Prof. Hamdani menatapnya lama, sampai-sampai Maira merasa seperti sedang dilihat tembus ke dalam dirinya.

“Kamu terpilih, Maira.”

Jantungnya terhenti sepersekian detik.

“Ter- terpilih?” suaranya nyaris pecah, meski ia berusaha menahan ekspresinya tetap profesional.

“Ya,” jawab sang profesor sambil tersenyum puas. “Kamu akan berangkat ke Abu Dhabi. Kamu akan melakukan riset langsung di Kedutaan Besar. Tidak semua orang punya kesempatan ini.”

Tubuh Maira menegang, bukan karena takut, melainkan karena kegembiraan yang coba ia kendalikan. Riset di kedutaan adalah batu loncatan besar, lebih besar dari yang ia bayangkan. Bisa mengubah karier akademiknya, bahkan masa depannya.

“Terima kasih banyak, Prof. Saya, saya sangat menghargai kesempatan ini.”

“Kesempatan ini harus kamu manfaatkan sebaik mungkin.” Nada suara Prof. Hamdani berubah tipis, bukan mengancam, tapi mengikat.

Maira mengangguk cepat. “Tentu, Prof. Saya akan bekerja keras.”

Sang profesor kemudian bersandar, matanya menyipit seperti sedang menilai sesuatu.

“Ada hal-hal yang mungkin tidak akan dicatat dalam laporan resmi mereka,” katanya pelan. “Budaya kerja, dinamika internal, bagaimana diplomat berinteraksi. Hal-hal yang tidak bisa kamu dapatkan dari buku.”

Maira mencoba menangkap arah ucapannya. Ada sesuatu yang berbeda.

“Observasi kecil itu, kadang jauh lebih berharga,” ucap Professor dengan menutup map itu dengan lembut namun tegas.

“Kamu paham maksud saya?”

Maira terdiam. Ia paham atau ia pikir ia paham. Bagaimanapun, dosennya tak pernah memberikan instruksi secara gamblang. Dosennya selalu menyelipkan makna, meminta muridnya membaca di antara baris. Dan karena Maira ambisius, terlalu ambisius, mahasiswi itu selalu mencoba memenuhi ekspektasi itu.

“Baik, Prof,” ucapnya akhirnya. “Saya akan mengamati semuanya.”

Profesor Hamdani tersenyum puas, lalu menyodorkan map itu padanya.

“Berangkat minggu depan. Persiapkan diri, dan,” matanya menatap lebih dalam, “jangan ceroboh, Maira. Kedutaan bukan tempat yang bisa kamu perlakukan seperti ruang penelitian biasa.”

Ada sesuatu pada cara ia mengucapkannya yang membuat bulu kuduk Maira berdiri. Namun ia mengabaikannya. Fokusnya hanya satu yaitu peluang yang tidak boleh ia lewatkan. Ambisi itu menutup rapat semua kemungkinan bahaya yang tersembunyi.

“Terima kasih, Prof,” ucapnya sekali lagi, kali ini dengan suara lebih mantap. “Saya tidak akan mengecewakan.”

Saat ia keluar dari ruangan menuju kelasnya, map di tangannya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Bukan hanya karena dokumen-dokumen di dalamnya, tapi karena tanggung jawab, ekspektasi, dan sesuatu yang belum ia sadari sepenuhnya.

Suasana ruang kelas sudah sepi. Hanya terdengar bunyi gesekan kursi dan kertas yang dilipat tergesa. Maira masih membereskan buku-bukunya, matanya fokus pada tumpukan catatan yang berantakan. Ia hampir melonjak kaget ketika suara seseorang memecah kesunyian.

“Lo kepilih riset ke kedutaan di Abu Dhabi?!”

Maira menoleh cepat. Mela berdiri beberapa langkah darinya, mata terbelalak seperti habis mendengar gosip paling gila seantero kampus. Maira mengatupkan bibir, sedikit menahan senyum.

“Kok lo tau?”

“Prof Hamdani kan pasti keliatan banget kalau ada yang berhasil ikut program limited begini,” desis Mela sambil mendekat. “Terus dia nyari lo tado. Gue udah curiga.”

Maira mendesah, memasukkan satu map terakhir ke tas. “Iya. Gue kepilih.”

Mela langsung menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. “Gila. Lo. Sumpah.”

Ada kekaguman di suaranya, tapi juga sesuatu yang terdengar seperti kekhawatiran. Maira pura-pura tidak mendengarnya.

“Ini kesempatan bagus, Mel. Sekali seumur hidup.”

“Ya jelas bagus,” balas Mela cepat. “Tapi lo sadar kan, ini bukan kayak riset biasa? Itu kedutaan, Mai. Aksesnya terbatas, protokolnya ribet, dan-”

Maira memotong, “dan justru itu yang bikin ini berharga.”

Mela menatapnya lama, seolah sedang mencoba menerobos lapisan ambisi yang begitu tebal di mata sahabatnya itu.

“Lo sadar gak,” katanya pelan, “kalau Prof Hamdani itu suka banget nitip hal-hal ‘tambahan’? Kayak yang waktu riset di perbatasan itu. Lo yang jungkir balik sendirian, dia tinggal nunggu hasil.”

Maira berhenti mengancingkan tasnya. Ada jeda kecil, tipis, sebelum ia tersenyum tipis.

“Itu bagian dari proses belajar.”

“Serius?” Mela memicingkan mata, “atau lo cuma terlalu percaya sama beliau? Selalu iya-iya aja karena lo pengen perform?”

Pernyataan itu menusuk lebih dalam dari yang Maira harapkan. Ia berdiri, menutup resleting tasnya dengan sedikit terlalu keras. “Gue tau batasan, Mel. Gue tau apa yang gue kerjain.”

“Lo pikir lo tau,” gumam Mela, hampir tidak terdengar.

Tapi Maira mendengarnya. Dan entah kenapa, kata-kata itu membuat dadanya terasa berat, seolah memang ada kemungkinan kecil bahwa Mela bisa saja benar.

Maira menepis perasaan itu. “Gue cuma butuh fokus. Ini kesempatan emas.”

Mela mengembuskan napas panjang, lalu berdiri dan meraih bahu Maira. “Gue bangga sama lo. Beneran. Lo kerja keras banget selama ini. Tapi janji satu hal.”

Maira mengangkat dagu. “Apa?”

“Jangan jadi alat. Bahkan buat orang yang lo hormatin.”

Kata-kata itu menggantung di udara.

Maira tersenyum kecil, tapi matanya tidak sepenuhnya tenang. “Gue tau apa yang gue lakuin.”

Mela tidak membalas. Dia hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan yang sulit, seperti seseorang yang sedang melihat seseorang lain berjalan menuju tempat yang tidak benar-benar ia pahami.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Tidak ada komentar
7 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status