Xavier menyandarkan tubuhnya di sofa kulit hitam mewah, matanya tak lepas dari layar televisi lebar yang menampilkan Hazel sedang mengamuk di apartemennya. Perempuan itu berjalan mondar-mandir seperti badai kecil, mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah yang justru membuat bibir Xavier melengkung dalam senyum puas."Dia seperti kucing liar yang baru saja dicabut kukunya," gumamnya sambil menikmati segelas kopi hangat.Hazel melempar bantal ke dinding, lalu mulai memeriksa setiap sudut ruangan dengan gerakan kasar."Kau bajingan penguntit! Aku akan menemukan semua kamera sialanmu ini!"Xavier terkekeh. Ah, Hazel...Tiba-tiba, dering ponsel memecah kesenangannya. Tanpa melihat, ia menyambar telepon dimana suara asistennya langsung terdengar. "Tuan, proyek humanoid sukses besar. Banyak investor yang-""Serahkan semuanya pada Diego," potong Xavier dingin, lalu memutuskan sambungan tanpa penjelasan.Matanya kembali tertuju pada layar. Kini Hazel sedang berdiri di atas kursi, memeriksa la
Hazel melihat pantulan bayangannya di cermin, ada bekas memar di bagian tengkuknya dan ia yakin itu pasti ulah Neil sore tadi untuk melumpuhkan kesadarannya. Tapi satu hal yang membuatnya jauh lebih bingung daripada rasa sakit adalah, 'Kenapa saat terbangun, ia justru berada di kamar Xavier?'Dadanya sesak dipenuhi pertanyaan yang tak berjawab. Apa Xavier dan Neil sekarang bermain di pihak yang sama? Tapi Hazel segera menggeleng cepat. Tidak, itu terdengar terlalu gila. Neil dan Xavier sama sekali bukan dua orang yang bisa bersekutu. Mereka seperti dua kutub magnet yang saling tolak-menolak tak pernah akur bahkan hanya dalam percakapan singkat.Wajahnya kembali menghadap cermin. Mata hazelnya menatap lekat bayangan diri sendiri. Penuh curiga, penuh waspada, dan dibalik semua itu… ada ketakutan yang diam-diam muncul."Aku tidak ingat apapun, apa yang sudah aku lewatkan sebenarnya?" pikirannya kini penuh tanda tanya, tidak mungkin Xavier hanya kebetulan menemukannya, kan?Hazel memijat p
Hazel terbangun dengan kepala berdenyut-denyut, seperti dipukul palu. Perlahan, ia mengerang kesakitan sambil mencoba menahan rasa pusing yang menggerogoti. Matanya terbuka setengah, pandangannya kabur sebelum akhirnya mulai fokus.Ini bukan kamarnya.Dan yang lebih mengejutkan adalah... ini kamar Xavier."Kenapa aku bisa di sini?" gumamnya serak, suaranya parau seperti teriris pisau. Ia mencoba duduk, tubuhnya terasa berat, seolah ditindih oleh sesuatu yang tak terlihat. Tangannya meraba tengkuknya yang nyeri, bekas tekanan jari-jari Neil masih terasa jelas.Sore itu… Neil menyerangku.Ingatannya samar, tapi satu hal yang pasti, ia pingsan. Dan sekarang, entah bagaimana, ia terbangun di apartemen Xavier.Dengan langkah goyah, Hazel berdiri. Kamar itu sunyi, terlalu sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. Pakaiannya masih lengkap, tapi ada sesuatu yang menggelitik nalurinya, sesuatu yang salah.Ia melangkah keluar, matanya menyapu setiap sudut apartemen yang megah itu. Kos
Beberapa hari terakhir, Hazel seperti mesin yang dipaksa bekerja tanpa henti. Menggantikan posisi Jacob yang kini terbaring lemah di rumah sakit, itu bukanlah hal mudah. Segunung tanggung jawab, dokumen yang tak kunjung habis, dan rapat-rapat mendesak menghabiskan setiap detik waktunya. Andai bukan karena ayahnya yang turun tangan, mungkin tubuhnya sudah kolaps di tengah jalan, tumbang oleh kelelahan yang tak tertahankan.Tapi malam ini, tubuhnya yang lelah semakin lelah gara-gara kehadiran Xavier, ia tidak tau cara mengusir pria itu pergi darinya.Pria itu seperti bayangan yang tak bisa diusir. Setiap kali Hazel berpikir telah melupakannya, Xavier selalu muncul kembali, mengintai dari balik kegelapan, meninggalkan jejak yang membuatnya merinding."Hari ini cukup melelahkan untukku," Hazel menghela nafas panjang sebelum tubuhnya ambruk ke sofa. Matanya yang lelah menyapu setiap sudut apartemennya, mencari sesuatu yang asing, sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana."Dia pasti memasa
Di tengah kerumunan orang yang hanya bisa terpana menyaksikan aksi Hazel menghajar si pencuri, gadis itu berhasil merebut kembali ponselnya. Wajah pria itu memar, nafasnya terengah-engah. Jelas, dia tak menyangka korbannya justru akan membalikkan keadaan. Hazel bahkan sempat menggenggam kerah bajunya, siap menyeretnya ke kantor polisi. Tapi si pencuri, dengan sisa tenaga yang dimiliki, melepaskan diri dan melesat kabur.Hazel tidak mengejar. Toh, yang ia inginkan sudah kembali. Tapi darahnya masih mendidih. Tangannya mengepal, matanya menyala seperti bara. Hari ini benar-benar bukan harinya untuk macam-macam.Dari dalam mobil hitam yang diparkir tak jauh, Xavier mengamati semuanya dengan senyum puas. 'Ternyata kucing liarku punya cakar yang tajam.'Hazel tidak lemah. Bahkan, ia bisa melindungi dirinya sendiri. Tapi Xavier tahu, kemampuannya masih jauh dari cukup. Dan justru itu yang membuatnya semakin tertarik."Kita pergi sekarang?" Kevin bertanya, suaranya datar.Tapi Xavier tidak me
"Kau membiarkan dia tahu bahwa kamera di apartemennya adalah ulahmu?" Kevin menyeringai, suaranya rendah tapi penuh makna. Sebagai orang yang paling dekat dengan Xavier, ia tahu betul bagaimana pria itu bermain api.Xavier tidak langsung menjawab. Ia duduk dengan santai di kursi kulit mahalnya, satu kaki disilangkan, sementara pandangannya terpaku pada layar iPad di tangannya. Di sana, Hazel tampak tengah mengacak-acak apartemennya sendiri, matanya liar, langkahnya cepat dan penuh emosi. Dua dari empat kamera tersembunyi telah ditemukan dan dicabut dengan amarah yang hampir bisa terasa melalui layar. Namun Xavier hanya tersenyum kecil.Dua lagi masih aman, pikirnya. Termasuk satu yang terpasang tepat di atas tempat tidur Hazel, tempat favoritnya untuk mengamati setiap ekspresi perempuan itu, mulai dari frustasi, kewaspadaan, sampai ketika perempuan itu menggunakan koleksi vibratornya.“Lihat dia...” gumam Xavier, suaranya serak oleh hasrat yang dipendam. "Lihat bagaimana dia marah. Ak
Sepanjang malam, Hazel tidak bisa tidur memikirkan apakah benar yang menyusup ke dalam apartemennya adalah Xavier? Namun kenapa pria itu melakukannya? Apa dia sudah tidak waras lagi sampai masuk di kediaman seseorang tanpa permisi seperti ini?Tiba di pagi hari yang menyambut kesibukan Hazel, ia tetap bekerja sebagaimana mestinya selama Jacob belum bangkit dari ranjang rumah sakit. Dari pagi hingga malam, Hazel disibukkan dengan pertemuan dan juga dokumen yang datang silih berganti, tubuhnya lelah saat ia kembali tiba di apartemen saat pukul tujuh malam.Tapi sekali lagi ia mencium aroma yang tidak asing itu ada di sana, ia melangkah menuju kamarnya dan mendapatkan secarik kertas tergeletak di atas mejanya."Kau tidak akan bisa kemana mana, sayangku."Hazel meremas kertas tersebut sampai tidak berbentuk lagi, ia semakin yakin kalau pelakunya adalah Xavier. Tanpa pikir dua kali, Hazel langsung pergi ke apartemen Xavier malam itu juga dengan perasaan marah.Dan seolah tau kalau Hazel aka
Dua hari, waktu yang Hazel gunakan untuk tidak pulang ke apartemennya. Dan hari ini, ia pulang ke apartemen dengan pandangan waspada. Matanya melihat setiap barang yang ada di kamarnya, ia hafal setiap tempat barang-barang ditempatkan, jadi jika bergeser sedikit saja, ia pasti akan mengetahui hal itu."Apa yang dia cari di sini? Tidak mungkin dia menyusup begitu saja tanpa alasan," gumamnya, suara rendah yang hampir seperti desisan ular. Tasnya ia letakkan di meja dengan gerakan tegas, lalu ia mulai menggeledah. Setiap laci, setiap celah, bahkan ruang tersempit sekalipun tak luput dari pemeriksaannya. Ruang tamu, kamar tidur, hingga sudut yang paling gelap, semuanya ia bolak-balik dengan cermat.Ketika kelelahan mulai menyerang, Hazel menjatuhkan diri di tepi ranjang, tangan menggenggam helai rambutnya yang acak-acakan. "Tidak ada. Tidak ada apa-apa," pikirnya, frustasi.Tapi kemudian, saat matanya nyaris menyerah, sesuatu menangkap perhatiannya, sebuah titik merah kecil, samar, bersem
Beberapa waktu telah berlalu sejak kecelakaan yang membuat Jacob terbaring koma. Dalam keadaan seperti itu, Hazel mengambil alih tanggung jawab yang ditinggalkan Jacob, memikul beban pekerjaan yang biasanya mereka tangani bersama. Hari-harinya kini dipenuhi laporan, rapat mendadak, dan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Jacob yang belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Sudah satu minggu, dan Luna selalu setia datang untuk menemani Jacob.Dengan tubuh nyaris remuk karena kelelahan, Hazel akhirnya tiba di apartemennya. Ia berdiri mematung di depan pintu, sesuatu menusuk indra penciumannya. Aroma yang asing sekaligus familiar. Parfum pria. Dan bukan sembarang parfum. Itu aroma yang pernah dia kenal. Aromanya tajam, maskulin, meninggalkan jejak samar di udara."Apa... ada orang masuk ke sini?" pikir Hazel, instingnya seketika waspada.Tangannya bergerak cepat menuju sebuah laci tersembunyi di balik dinding dekat pintu masuk. Ia mengeluarkan senjata api yang biasa ia gunak