"Leader, aku memiliki kabar buruk." Alvin berujar setelah masuk ke dalam ruang kerja Max. Kini pria itu sedang menundukkan kepalanya dengan kedua tangan berada di depan perut.
"Katakan!" Max tak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.
Terlihat sedikit ragu, akhirnya Alvin memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di benaknya. "Maaf, Leader, empat pria yang semula sudah bersedia menjadi anak buah kita mengubah keputusannya. Mereka justru memberontak dan lebih memilih untuk menjadi penyumbang organ tubuh gratis daripada harus mengabdi padamu."
Gerakan tangan Max yang semula sedang mengetik sesuatu mendadak terhenti. Meskipun wajahnya masih terlihat datar, tetapi rahangnya mengeras dan auranya berubah mencekam. Secara refleks Alvin mundur beberapa langkah ketika menyadari perubahan dalam diri Max.
"Wujudkan keinginan mereka!" Suara berat yang mengalun penuh kemarahan membuat satu-satunya orang yang berada di dalam ruangan itu meremang.
Dua hari telah berlalu. Sejak kejadian itu, Mentari lebih jarang bertemu dengan Max. Tentu hal itu menjadi keuntungan terbesar baginya. Ketidakhadiran Max tak pelak membuatnya bebas barang sesaat.Ya, dua hari lalu Mentari mengalami keracunan. Susu yang diberikan oleh Alvin diduga menjadi penyebabnya. Akan tetapi, alih-alih merasa sedih, Mentari justru sangat bahagia karena efek dari racun itu membuatnya terbebas dari ancaman kehilangan harga diri. Setidaknya, untuk beberapa saat. Karena ia yakin Max tidak akan menyerah. Setelah ini mungkin ia harus mencari cara lain untuk menghindari serangan Max. Tidak mungkin 'kan ia harus meminum susu beracun lagi untuk membuat Max berhenti?Selama dua hari pula, Mentari tak pernah bertemu dengan Shaka. Hidupnya hanya ia habiskan di kamar Max dan kamar mandinya saja. Selebihnya, pria itu tak pernah mengizinkannya keluar. Jika berniat untuk kabur pun, ia tidak pernah memiliki kesempatan. Selalu saja ada anak buah Max yang meme
Mentari bersembunyi di balik pilar. Lorong-lorong panjang dengan pajangan antik dan tirai merah yang menjuntai menjadikan Mansion Max layaknya sebuah kerajaan di masa lalu. Siapapun pasti tidak akan ada yang mengira bahwa di balik kemewahan itu tersembunyi ratusan orang kejam yang menjadikan nyawa manusia sebagai mainan.Saat pemandangan menyedihkan itu kembali menyapa, jantungnya berdegup kencang hingga keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Mentari berusaha tenang dan kembali melihat ke arah depan.Di sana, ada sekitar lima belas gadis yang tengah dikumpulkan dalam satu tempat. Tangannya diikat sehingga mereka tak mampu melawan ketika para anak buah Max mencambuk tubuh mereka. Entah apa yang dilakukan gadis-gadis itu, yang pasti mereka terlihat kesakitan dan menderita.Sejujurnya, Mentari ingin berlari menghentikan perbuatan anak buah Max. Namun, ia tak memiliki banyak waktu. Ia harus kembali ke dalam kamar sebelum seseorang datang.B
"Arrrgh!"Tubuhnya ambruk ke lantai dengan kepala bersimbah darah setelah timah panas menembus langsung tulang tengkoraknya dari jarak yang sangat dekat. Wanita itu meregang nyawa dengan mata terbuka. Diawali dengan kejang selama beberapa detik hingga akhirnya ajal menjemputnya.Pemandangan mengerikan itu tak luput dari penglihatan Mentari. Perlahan tubuhnya meluruh ke bawah hingga ia terduduk di lantai. Tak ada air mata yang mengalir di pipinya. Hanya saja rasa trauma yang bangkit untuk kesekian kali. Setelah Shaka, kini orang lain yang menjadi korban. Entah akan berapa banyak nyawa lagi yang akan tumbang di hadapan Mentari."Sudah selesai. Aku sudah mengirimnya pada Tuhan," ucap Max tenang sambil meniup mulut pistol yang masih berasap.Mentari tersadar kemudian meliriknya. "Kenapa? Kenapa kau membunuhnya? Dia tidak bersalah!""Dia bersalah. Dia sudah membantumu kel
Mentari mematut dirinya di depan cermin. Balutan gaun pengantin dengan riasan cantik membuatnya menjelma layaknya seorang putri dari negeri dongeng. Sayang, semua keindahan itu tak selaras dengan air mata yang sejak tadi mengalir di permukaan pipinya. Wajahnya sembab, itulah mengapa pelayan kewalahan memperbaiki riasannya. Tak ada yang tahu seberapa hancur dirinya saat ini. Di usia yang masih dikatakan belia, ia dipaksa menikahi iblis untuk menyelematkan nyawa banyak orang. Mengorbankan dirinya sendiri untuk membebaskan para tawanan agar bisa kembali ke negaranya. Jika boleh berharap, ia hanya ingin semuanya tak berakhir sia-sia. Para gadis itu bahagia, dirinya juga. Hening yang tercipta terpecahkan saat langkah sepatu menggema di lantai marmer. Semua pelayan menghentikan aktivitasnya. Mereka langsung membungkuk untuk memberi penghormatan. Max berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada, posisinya berada di belakang Men
Sebuah pintu lebar terbuka menunjukan sepasang pengantin yang berada di baliknya. Mereka berjalan beriringan melewati karpet merah bertabur kelopak bunga mawar.Semua atensi teralihkan. Suasana hening yang langsung tercipta membuat aura sakral semakin terasa. Orang-orang yang berada di ruangan itu, sepenuhnya adalah anak buah Max yang berdandan rapi layaknya menghadiri undangan pejabat. Max memang tidak mengundang siapapun karena pernikahan mereka terbilang sederhana. Mungkin lokasi Mansionnya yang berada di tengah hutan juga turut menjadi pertimbangan.Max semakin mengeratkan tangannya ke pinggang Mentari ketika mereka menaiki altar. Senyum culas kembali terbit saat ternyata calon istrinya itu masih saja menangis padahal ia sudah melarang keras.Acara pernikahan dimulai. Tak ada seorang pun yang berani membuka suara seakan menikmati suasana itu. Padahal tidak sepenuhnya benar. Kebanyakan dari mereka justru
Mentari harus merasa beruntung karena malam pertama itu belum terjadi. Semalam Max meninggalkannya seorang diri di dalam kamar karena harus menangani urusan penting. Ia dapat bernapas lega. Meskipun di malam-malam selanjutnya pasti tidak akan sama.Pagi-pagi sekali Mentari sudah dibangunkan oleh pelayan. Mereka memintanya untuk segera turun ke bawah atas perintah Max. Mau tak mau Mentari harus menurutinya.Ketika ia sampai di bawah, rasa terkejut menelannya. Orang-orang yang semula dijadikan tawanan oleh Max kini dikumpulkan di satu tempat. Yang menarik perhatian Mentari adalah Raisa. Kini gadis itu berdiri dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajah manisnya. Ketika tatapan mereka bertemu, Raisa langsung berlari menghampiri Mentari kemudian memeluknya."Terimakasih, terimakasih banyak. Karena kau, kami semua dibebaskan dan akan segera pulang," ucap Raisa berbinar-binar.Bak mendapat permata berharga, awan mendung di wajah Ment
Mentari masuk ke kamar Max dengan emosi yang naik ke ubun-ubun. Terlihat pria itu duduk di dekat jendela yang ada di pojok ruangan sambil bertumpang kaki dan menghisap rokok. Ada satu botol minuman keras berjenis The Winston Cocktails yang terletak di atas meja di depannya dan hanya tersisa setengah, mungkin setengahnya lagi sudah masuk ke dalam kerongkongannya. Max adalah tipe peminum berat sehingga setengah botol saja tak bereaksi apa-apa pada kesadarannya.Max sadar akan kehadiran Mentari, hanya saja ia mengabaikannya. Justru sibuk memandangi luar jendela dengan asap yang mengepul keluar dari mulut."Apa yang kau lakukan?" Gadis itu berjalan mendekat.Hanya dibalas lirikan sekilas oleh Max. "Duduk, merokok, dan minum. Silahkan duduk jika kau juga ingin mencicipinya."Mentari berjengit kesal, Max terlihat sangat tenang seolah tak melakukan kesalahan apapun.
Mentari duduk di ranjang dengan harap-harap cemas. Secara tak sadar, tangannya mencengkram pinggiran ranjang. Matanya tak henti bergulir pada jam di dinding. Terhitung sudah satu jam Max menguncinya di dalam kamar dan meninggalkannya sendirian. Satu hal yang ia takutkan, pria itu benar-benar menginginkan malam pertama di pernikahan mereka.Ayolah, Max adalah pria yang sangat kejam. Akan bagaimana keadaannya jika dia menyentuh Mentari? Terlebih gadis itu juga masih belum siap menyerahkan kehormatannya meskipun status mereka sudah menikah.Ceklek.Perasaan Mentari semakin tak keruan saat tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ia terhenyak karena mendapati Max melangkah masuk dan mengunci pintunya, kemudian berjalan sempoyongan ke arah Mentari. Sepertinya pria itu mabuk lagi.Secara refleks, Mentari berdiri takut. Perasannya benar-benar tak enak meskipun disuguhkan oleh Max yang bertelanjang dada d