Ketika sosok itu sampai di depan bilik penjara milik Mentari, degup jantung gadis belia itu semakin tak terkendali. Dadanya sesak, seolah pasokan oksigen di dalam ruangan semakin menipis karena tersedot sepenuhnya.
Maxime D'alterio, begitu nama ketua dari orang-orang yang sempat menculik Mentari dan yang lainnya. Sosok pemilik mata setajam elang dan tubuh proporsional, sekaligus pria yang ahli dalam hal mengintimidasi.
Mentari meneguk ludahnya berat ketika sosok menjulang itu menoleh ke arahnya. Pandangan mereka sempat bertemu. Anehnya, Mentari kesulitan mengalihkan perhatian. Matanya terkunci untuk terus menyelami netra tajam milik Max. Pria bule yang jauh lebih memikat para kaum hawa dibanding pria-pria lainnya.
"Tampan," gumam Mentari tanpa sadar.
Namun, deheman dari seseorang di seberang, memutuskan kontak mata di antara mereka karena Max langsung mengalihkan atensinya pada Sakha.
"Jadi kau, pria yang sejak tadi dibicarakan oleh mereka?" Sakha tertawa ringan, meremehkan. "Kau tidak sekeren yang aku kira. Bahkan, satpam di tempatku bekerja lebih baik dari pria payah sepertimu."
Seperti minyak yang tersulut api, Max menggeram marah ketika namanya disandingkan dengan pria berkasta rendah. Tak ayal, ia langsung berbalik dan memasuki bilik penjara milik Sakha.
Max berdiri tenang dengan wajah menunduk. Kedua tangannya tetap tersimpan di dalam saku celana, sementara bibirnya mengulum senyum misterius.
"Ulangi!" perintah Max dengan bahasa asing yang terkesan dingin dan tegas. Siapapun pasti akan gemetaran dengan suara berat itu. Namun, tidak bagi Shaka. Seperti orang yang tak kenal rasa takut, ia kembali tertawa.
"Kau tidak dengar? Miris sekali. Wajahmu tampan tapi telingamu tuli." Tawa Sakha terdengar lebih kencang. "Baiklah, akan aku ulangi. Kali ini dengarkan baik-baik." Sakha mendekatkan tubuhnya pada Max, walaupun hasilnya ia hanya berhasil menatap lutut pria tinggi itu. "Kau tidak sebaik-arrgh!"
Teriakan kencang lolos dari bibir Sakha ketika Max menginjak lututnya kencang. Pria itu memberontak saat merasakan sakit yang teramat. Seperti ada sendi yang bergeser dan menimbulkan efek luar biasa.
Mentari yang sejak tadi menyaksikan tertegun. Ia tak tega pada Sakha yang terus berteriak pilu. Meskipun ia sendiri diselimuti rasa takut, tetapi keinginannya untuk menolong Sakha sangatlah besar.
"Hei, Pria Tak Punya Hati!" Max berbalik menatap Mentari. Dahinya berkerut karena melihat wajah berani dari gadis pemilik mata bening itu. "Sebenarnya apa maumu?! Kenapa kau menculik kami semua?!"
Salah satu sudut bibir Max tertarik. Ia mengangkat kakinya dari lutut Sakha dan berbalik membelakangi laki-laki itu.
"Kau tak perlu tahu," jawabnya dengan tenang.
"Brengsek! Jika kau ingin bermain-main, jangan jadikan nyawa manusia sebagai taruhannya." Mentari merinding kala sosok itu justru berbalik memasuki bilik penjara miliknya.
Max berjongkok, bertumpu pada salah satu kaki dengan tangan yang terletak di atas paha. Ia mengangkat dagu Mentari kemudian menatapnya tajam.
"Bibirmu terlalu indah jika digunakan untuk mengumpat. Sayangnya, kau hanya tawananku."
"Tawanan kau bilang?" Mentari tertawa sinis. Hingga kemudian, "Cuih!" Ia meludah tepat di wajah tampan pria itu. Mentari terus menatapnya karena ia ingin melihat bagaimana reaksi Max.
Max memejamkan mata. Bibirnya menipis dengan gurat-gurat kebiruan yang menonjol di lehernya. Rahang kokoh pria itu mengeras, disertai gemelutuk gigi yang saling mengadu. Bisa dipastikan bahwa Max saat ini sedang menahan amarah.
Perlahan pria itu menyentuh wajahnya sendiri. Mengusap liur Mentari yang mengotori wajah tampannya. Ia sempat menatap jemari yang sedikit basah hingga kemudian menarik rambut Mentari dengan kasar.
"Arrrgh!" Gadis itu memekik. Kepalanya terdongak ke belakang karena cengkraman tangan Max begitu kuat. Helai demi helai rambutnya seperti akan tercabut secara paksa. Menyakitkan.
"Dengarkan aku baik-baik, aku tidak suka gadis pembangkang. Setelah ini, aku pastikan kau akan membayar mahal atas perbuatan yang telah kau lakukan. Hidupmu akan dipenuhi oleh penderitaan. Itu adalah janjiku."
Mentari membuang napas kasar. Kepalanya pusing, tetapi hal itu tidak membuatnya gentar.
"Aku tidak takut. Ingatlah satu hal bahwa, aku akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku, di hadapan seorang Mentari. Kau akan tergila-gila padaku dan akan tenggelam dalam pesonaku. Suatu saat, kau sendiri yang akan membuatku pergi dari sini dalam keadaan baik-baik saja. Itu adalah janjiku."
Max berdecih kemudian berkata, "Baiklah. Kita lihat janji siapa yang akan terpenuhi. Itu pun, saat kau masih diberi kesempatan untuk hidup."
***
Menjelang pagi, ketika jubah kegelapan masih menyelimuti sebagian bumi, orang-orang yang bernasib malang itu harus kembali dibuat tak tenang ketika para penjaga dengan teriakan besi yang kembali dipukulkan pada tralis, menarik mereka secara paksa dari alam bawah sadar.
Satu per satu pria berbadan besar masuk ke dalam bilik penjara. Mereka melepaskan rantai yang mengikat tangan masing-masing korban lalu menggantinya dengan borgol. Mata mereka kembali ditutupi dengan kain hitam. Tak ada yang bisa melawan, karena satu pergerakan saja akan langsung dihadiahi dengan pukulan besi.
Ya, setidaknya pengecualian untuk Mentari dan Sakha.
"Kau ingin membawaku kemana?!" Mentari bergerak brutal. Berharap pergerakannya bisa membuat ikatannya terlepas, walaupun sepertinya hal itu adalah tindakan yang mustahil. "Lepaskan aku! Lepaskan aku, Payah!"
Plak!
Mentari merasakan perih di pipinya ketika ia mendapat sebuah tamparan keras. Tubuhnya terhuyung. Sudut bibirnya robek dan berdarah.
"Tutup mulutmu atau aku akan memberikan hal yang lebih!" gertak si pria yang memaksa Mentari untuk bangun.
Gadis belia itu diseret keluar penjara. Ia kesulitan berjalan karena hanya ada kegelapan yang menyambangi penglihatannya.
Di luar, Sakha juga bernasib serupa. Ada memar baru yang menghiasi hidung mancungnya. Bisa ditebak bahwa ia pasti melawan saat akan dibawa.
Deretan lorong sempit yang minim cahaya, beraroma tak sedap dengan cat yang mengelupas sebagian. Lantai lembab nan kotor, setiap sudut pasti akan ditumbuhi lumut tebal yang menjadi sarang ternyaman bagi para serangga.
Satu per satu para korban penculikan yang didominasi gadis-gadis belia digiring menyusuri lorong tersebut. Mereka membisu, terkecuali dua orang yang terus mengumpat tak jelas.
Ketika sampai di pintu keluar, lapangan luas dengan sebuah helikopter menyambut kedatangan masing-masing orang.
Max berdiri angkuh dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Matanya tidak kunjung berpindah dari seorang gadis bernyali besar yang sempat meludahinya. Ia kemudian berjalan mendekati gadis itu.
"Tinggalkan gadis ini bersamaku. Kalian urus yang lain dan segera berangkat sebelum matahari terbit." Max berkata dengan mata terkunci pada wajah Mentari yang sebagian tertutup kain hitam.
Dua anak buah Max melenggang pergi setelah membungkuk hormat. Max maju dan melepaskan penutup mata gadis di hadapannya.
"Kalian ini sebenarnya mau membawaku kemana?! Apa mau kalian dan-"
"Apa mulutmu tidak bisa diam? Jika memang tidak, aku bisa membuatnya bungkam secara paksa." Max menaruh kedua tangannya di belakang punggung.
"Caranya?"
"Dengan menjahitnya. Kau mau coba?" Seringai licik terbit di bibir tipis Max.
Kedua mata bening Mentari memelotot. Sepertinya pria di hadapannya ia memang sudah kehilangan akal sehat. Lihatlah cara dia mengucapkan kata-kata kekerasan dengan nada yang sangat enteng.
"Gila."
"Well, aku sarankan sebaiknya kau hirup udara di negara ini sebanyak-banyaknya. Karena setelah kau diterbangkan, aku tidak jamin kau bisa menghirupnya kembali."
Mentari meneguk liurnya dengan berat. Degup jantungnya mendadak berdebar kencang.
"Me-memangnya kau akan membawaku kemana?" Suara Mentari berubah gugup.
"Tidak jauh. Masih di sekitaran dunia ini. Tepatnya, itu adalah kejutan untukmu."
Mentari mengira, ini seperti mimpi buruk. Nyawanya sedang dipermainkan oleh seorang pria iblis yang sayangnya sangat tampan.
Sebenarnya, kemana Max akan membawa seorang gadis belia bernasib malang itu?
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past