Share

Chapter 2 : Pria Mata Elang

Ketika sosok itu sampai di depan bilik penjara milik Mentari, degup jantung gadis belia itu semakin tak terkendali. Dadanya sesak, seolah pasokan oksigen di dalam ruangan semakin menipis karena tersedot sepenuhnya. 

Maxime D'alterio, begitu nama ketua dari orang-orang yang sempat menculik Mentari dan yang lainnya. Sosok pemilik mata setajam elang dan tubuh proporsional, sekaligus pria yang ahli dalam hal mengintimidasi. 

Mentari meneguk ludahnya berat ketika sosok menjulang itu menoleh ke arahnya. Pandangan mereka sempat bertemu. Anehnya, Mentari kesulitan mengalihkan perhatian. Matanya terkunci untuk terus menyelami netra tajam milik Max. Pria bule yang jauh lebih memikat para kaum hawa dibanding pria-pria lainnya. 

"Tampan," gumam Mentari tanpa sadar.

Namun, deheman dari seseorang di seberang, memutuskan kontak mata di antara mereka karena Max langsung mengalihkan atensinya pada Sakha. 

"Jadi kau, pria yang sejak tadi dibicarakan oleh mereka?" Sakha tertawa ringan, meremehkan. "Kau tidak sekeren yang aku kira. Bahkan, satpam di tempatku bekerja lebih baik dari pria payah sepertimu." 

Seperti minyak yang tersulut api, Max menggeram marah ketika namanya disandingkan dengan pria berkasta rendah. Tak ayal, ia langsung berbalik dan memasuki bilik penjara milik Sakha. 

Max berdiri tenang dengan wajah menunduk. Kedua tangannya tetap tersimpan di dalam saku celana, sementara bibirnya mengulum senyum misterius. 

"Ulangi!" perintah Max dengan bahasa asing yang terkesan dingin dan tegas. Siapapun pasti akan gemetaran dengan suara berat itu. Namun, tidak bagi Shaka. Seperti orang yang tak kenal rasa takut, ia kembali tertawa. 

"Kau tidak dengar? Miris sekali. Wajahmu tampan tapi telingamu tuli." Tawa Sakha terdengar lebih kencang. "Baiklah, akan aku ulangi. Kali ini dengarkan baik-baik." Sakha mendekatkan tubuhnya pada Max, walaupun hasilnya ia hanya berhasil menatap lutut pria tinggi itu. "Kau tidak sebaik-arrgh!" 

Teriakan kencang lolos dari bibir Sakha ketika Max menginjak lututnya kencang. Pria itu memberontak saat merasakan sakit yang teramat. Seperti ada sendi yang bergeser dan menimbulkan efek luar biasa. 

Mentari yang sejak tadi menyaksikan tertegun. Ia tak tega pada Sakha yang terus berteriak pilu. Meskipun ia sendiri diselimuti rasa takut, tetapi keinginannya untuk menolong Sakha sangatlah besar.

"Hei, Pria Tak Punya Hati!" Max berbalik menatap Mentari. Dahinya berkerut karena melihat wajah berani dari gadis pemilik mata bening itu. "Sebenarnya apa maumu?! Kenapa kau menculik kami semua?!"

Salah satu sudut bibir Max tertarik. Ia mengangkat kakinya dari lutut Sakha dan berbalik membelakangi laki-laki itu. 

"Kau tak perlu tahu," jawabnya dengan tenang. 

"Brengsek! Jika kau ingin bermain-main, jangan jadikan nyawa manusia sebagai taruhannya." Mentari merinding kala sosok itu justru berbalik memasuki bilik penjara miliknya. 

Max berjongkok, bertumpu pada salah satu kaki dengan tangan yang terletak di atas paha. Ia mengangkat dagu Mentari kemudian menatapnya tajam. 

"Bibirmu terlalu indah jika digunakan untuk mengumpat. Sayangnya, kau hanya tawananku." 

"Tawanan kau bilang?" Mentari tertawa sinis. Hingga kemudian, "Cuih!" Ia meludah tepat di wajah tampan pria itu. Mentari terus menatapnya karena ia ingin melihat bagaimana reaksi Max. 

Max memejamkan mata. Bibirnya menipis dengan gurat-gurat kebiruan yang menonjol di lehernya. Rahang kokoh pria itu mengeras, disertai gemelutuk gigi yang saling mengadu. Bisa dipastikan bahwa Max saat ini sedang menahan amarah. 

Perlahan pria itu menyentuh wajahnya sendiri. Mengusap liur Mentari yang mengotori wajah tampannya. Ia sempat menatap jemari yang sedikit basah hingga kemudian menarik rambut Mentari dengan kasar. 

"Arrrgh!" Gadis itu memekik. Kepalanya terdongak ke belakang karena cengkraman tangan Max begitu kuat. Helai demi helai rambutnya seperti akan tercabut secara paksa. Menyakitkan. 

"Dengarkan aku baik-baik, aku tidak suka gadis pembangkang. Setelah ini, aku pastikan kau akan membayar mahal atas perbuatan yang telah kau lakukan. Hidupmu akan dipenuhi oleh penderitaan. Itu adalah janjiku."

Mentari membuang napas kasar. Kepalanya pusing, tetapi hal itu tidak membuatnya gentar. 

"Aku tidak takut. Ingatlah satu hal bahwa, aku akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku, di hadapan seorang Mentari. Kau akan tergila-gila padaku dan akan tenggelam dalam pesonaku. Suatu saat, kau sendiri yang akan membuatku pergi dari sini dalam keadaan baik-baik saja. Itu adalah janjiku." 

Max berdecih kemudian berkata, "Baiklah. Kita lihat janji siapa yang akan terpenuhi. Itu pun, saat kau masih diberi kesempatan untuk hidup."

***

Menjelang pagi, ketika jubah kegelapan masih menyelimuti sebagian bumi, orang-orang yang bernasib malang itu harus kembali dibuat tak tenang ketika para penjaga dengan teriakan besi yang kembali dipukulkan pada tralis, menarik mereka secara paksa dari alam bawah sadar. 

Satu per satu pria berbadan besar masuk ke dalam bilik penjara. Mereka melepaskan rantai yang mengikat tangan masing-masing korban lalu menggantinya dengan borgol. Mata mereka kembali ditutupi dengan kain hitam. Tak ada yang bisa melawan, karena satu pergerakan saja akan langsung dihadiahi dengan pukulan besi.

Ya, setidaknya pengecualian untuk Mentari dan Sakha. 

"Kau ingin membawaku kemana?!" Mentari bergerak brutal. Berharap pergerakannya bisa membuat ikatannya terlepas, walaupun sepertinya hal itu adalah tindakan yang mustahil. "Lepaskan aku! Lepaskan aku, Payah!" 

Plak! 

Mentari merasakan perih di pipinya ketika ia mendapat sebuah tamparan keras. Tubuhnya terhuyung. Sudut bibirnya robek dan berdarah. 

"Tutup mulutmu atau aku akan memberikan hal yang lebih!" gertak si pria yang memaksa Mentari untuk bangun. 

Gadis belia itu diseret keluar penjara. Ia kesulitan berjalan karena hanya ada kegelapan yang menyambangi penglihatannya. 

Di luar, Sakha juga bernasib serupa. Ada memar baru yang menghiasi hidung mancungnya. Bisa ditebak bahwa ia pasti melawan saat akan dibawa. 

Deretan lorong sempit yang minim cahaya, beraroma tak sedap dengan cat yang mengelupas sebagian. Lantai lembab nan kotor, setiap sudut pasti akan ditumbuhi lumut tebal yang menjadi sarang ternyaman bagi para serangga. 

Satu per satu para korban penculikan yang didominasi gadis-gadis belia digiring menyusuri lorong tersebut. Mereka membisu, terkecuali dua orang yang terus mengumpat tak jelas. 

Ketika sampai di pintu keluar, lapangan luas dengan sebuah helikopter menyambut kedatangan masing-masing orang. 

Max berdiri angkuh dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Matanya tidak kunjung berpindah dari seorang gadis bernyali besar yang sempat meludahinya. Ia kemudian berjalan mendekati gadis itu. 

"Tinggalkan gadis ini bersamaku. Kalian urus yang lain dan segera berangkat sebelum matahari terbit." Max berkata dengan mata terkunci pada wajah Mentari yang sebagian tertutup kain hitam. 

Dua anak buah Max melenggang pergi setelah membungkuk hormat. Max maju dan melepaskan penutup mata gadis di hadapannya. 

"Kalian ini sebenarnya mau membawaku kemana?! Apa mau kalian dan-" 

"Apa mulutmu tidak bisa diam? Jika memang tidak, aku bisa membuatnya bungkam secara paksa." Max menaruh kedua tangannya di belakang punggung. 

"Caranya?" 

"Dengan menjahitnya. Kau mau coba?" Seringai licik terbit di bibir tipis Max. 

Kedua mata bening Mentari memelotot. Sepertinya pria di hadapannya ia memang sudah kehilangan akal sehat. Lihatlah cara dia mengucapkan kata-kata kekerasan dengan nada yang sangat enteng. 

"Gila."

"Well, aku sarankan sebaiknya kau hirup udara di negara ini sebanyak-banyaknya. Karena setelah kau diterbangkan, aku tidak jamin kau bisa menghirupnya kembali." 

Mentari meneguk liurnya dengan berat. Degup jantungnya mendadak berdebar kencang. 

"Me-memangnya kau akan membawaku kemana?" Suara Mentari berubah gugup. 

"Tidak jauh. Masih di sekitaran dunia ini. Tepatnya, itu adalah kejutan untukmu." 

Mentari mengira, ini seperti mimpi buruk. Nyawanya sedang dipermainkan oleh seorang pria iblis yang sayangnya sangat tampan. 

Sebenarnya, kemana Max akan membawa seorang gadis belia bernasib malang itu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lindra Ifana
nyong kok deg degan bacanya yaaa.... good job authornya kereennn ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status