Share

Chapter 3 : Neraka Dunia

Enam truk dan sebuah Jeep hitam yang menjadi pemimpin berjalan konvoi ke sebuah daerah di kaki gunung. Lebatnya hutan menjadi saksi bagaimana para korban itu bergelung dalam rasa takutnya. 

Dua jam berlalu, semua kendaraan itu memasuki gerbang yang di baliknya berdiri rumah lima lantai. Kemegahan senantiasa menyambut. Namun, tak ada yang pernah tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata 'megah' itu sendiri. 

Para korban dikeluarkan secara paksa kemudian diseret masuk. Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk berbaris di ruang utama. Kain penutup mata dibuka dan mereka diharuskan tetap bungkam. Tak boleh bersuara apalagi melawan.

Lagi, suara sepatu menggema di lantai marmer. Meskipun pesona seorang Max mampu memikat mata, tetapi kebanyakan tak ada yang bernyali besar untuk membalas tatapan tajam dari mata elang itu. 

Seorang pria menggeser kursi lalu membersihkannya dengan tissue. Max duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kaki lainnya di kursi tersebut. Matanya menyisir satu per satu di antara wajah lima pria dan dua puluh lima wanita yang kini menjadi tawanannya. Mata Max berhenti pada sosok Mentari. 

"Pisahkan gadis angkuh itu. Dia tidak boleh dicampur dengan tawanan yang lain. Aku tidak mau pikiran mereka terkontaminasi dengan sifat pembangkangnya." 

Kedua lingkar mata Mentari melebar. Seorang anak buah menghalangi langkahnya dengan senjata laras panjang ketika ingin mendekat ke arah Max, tetapi Max sendiri justru memberinya izin.

"Kau berkata seperti itu seolah-olah aku adalah virus mematikan yang wajib dibasmi. Tapi, ya, aku memang akan memengaruhi pikiran mereka agar tidak diam saja saat diperlakukan semena-mena," kata Mentari. Pupilnya menatap nyalang, tak mengenal takut sama sekali.

Max tertawa pelan. Ia menurunkan kakinya kemudian bangkit. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana lalu ia mendekati Mentari. 

"Aku suka caramu berbicara. Mungkin jika kau tidak bernasib sial, kau bisa menjadi juru bicara yang baik. Tapi sekarang kau hanyalah tawananku, tugasmu bukan untuk berbicara dan melawan, melainkan-" Max bergerak memutar kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Mentari. "-menjerit di bawahku." 

"Kau!" Sontak Mentari menoleh. Keningnya menabrak pelipis Max hingga mereka terhenyak karena berada dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan, hembusan napas Mentari terasa menyapu kulit Max hingga membuatnya meremang. 

"Jangan mengagumi wajah tampan dari pria yang berstatus rivalmu." 

Mentari ingin membantah, tetapi urung karena berpikir Max akan membalasnya dengan kata-kata mesum yang semakin membuatnya kesal. 

Jarak mereka kembali berjauhan ketika Max menarik dirinya dan menghadap para tawanan yang lain. Sikapnya yang datar dan tenang membuat seorang pria di barisan paling belakang berdecih. 

"Aku hanya ingin berkata untuk mereka yang mengaku pria. Jadilah anak buahku, atau kalian akan aku jadikan penyumbang organ tubuh gratis." Kalimat Max membuat lima tawanan prianya menggeram marah. Besar keinginan mereka untuk membantah tawaran Max. Namun, lorong panjang dari senjata yang menggantung di setiap bahu para penjaga membuat mereka gentar. 

"Dan, ya, untuk para gadis, kalian pasti tahu apa tugas kalian di sini." Max menjeda kalimatnya. "Kalian akan dijadwal untuk menjadi wanita sewaan. Jika sedang tidak bekerja, kalian akan menjadi pelayan di sini." 

Seringai tipis mengakhiri kalimat Max karena sesaat kemudian ia melenggang pergi bersama dua orang yang ... berwajah sama. Ya, karena mereka adalah kembar identik. 

***

Di dalam ruangan sempit di lantai tiga, tubuh mungil Mentari meringkuk kedinginan. Salah satu kakinya dipasangi rantai sehingga meskipun pintu terbuka lebar, ia tidak akan bisa melarikan diri. 

Ruangan yang saat ini dia tempati jauh lebih layak dari sebelumnya. Lantai yang ia pijak bukan lagi lantai semen yang sudah rusak dan banyak ditumbuhi lumut. Melainkan lantai marmer yang berharga jutaan.

Namun, apa yang disebut baik jika Mentari tetap diikat layaknya seorang tawanan? Terlebih, saat ini ia berada di negeri asing yang jauh dari tempat tinggalnya. Istilah terkurung dalam sangkar emas, sepertinya sudah cocok disematkan untuk keadaannya saat ini. 

Rintihan kecil lolos dari bibir tebalnya. Ia kelaparan. Terhitung sudah lebih dari dua puluh empat jam perutnya tidak diisi dengan makanan atau minuman. Para pria berwajah bule itu tidak berperasaan sama sekali. 

Wajah Mentari terdongak ketika ujung sepatu pantofel mengilap menyapa penglihatannya. Paras menawan Max kembali mengganggu. Kali ini, terlukis begitu indah saat Mentari menyaksikannya dari bawah. 

"Ambil makanan ini dan cepat habiskan!" Pria itu berjongkok kemudian meletakkan sebuah piring seng yang di atasnya terdapat makanan yang ... jauh dari kata layak. Nasi putih berlendir dengan aroma tak sedap ditemani sepotong daging panggang yang pinggirnya telah berkurang. Kemungkinan, daging itu adalah makanan sisa kemarin dari para anak buahnya. 

Mentari ingin muntah. Bahkan, ayam peliharaannya di rumah mungkin enggan memakan nasi basi seperti ini. 

"Ini ...?" 

"Makanan basi, aku tahu. Tapi bukankah seorang tawanan tidak pernah mendapatkan sesuatu yang layak? Terima saja, sebelum aku berubah pikiran dan membawanya kembali." Max menyeringai. Ia kembali bangkit kemudian menggeser piring itu dengan ujung sepatunya. 

Tak ada yang tahu kapan Mentari akan kembali dipertemukan dengan makanan. Jadi, ia memutuskan untuk memakan makanan itu meskipun berulang kali harus menahan mual. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Karena makanan anjing jauh lebih nikmat daripada makanan basi yang masuk ke dalam tubuh Mentari. 

Matanya berkaca-kaca saat Mentari menyadari, ia sedang berada di neraka. Neraka dunia. Entah sampai kapan. Karena yang jelas, saat ia sudah masuk ke dalam kurungan Max, maka terasa mustahil untuk bisa keluar darinya. 

"Ini baru awal. Jangan menangis dulu. Bukankah aku sudah berjanji untuk membuatmu menderita?" Max menyeringai sebelum ia meninggalkan Mentari bersama dukanya. 

***

"Cambuk dia!" perintah seorang pria berambut gondrong pada tiga anak buah berseragam hitam di depannya. 

Shaka, pria yang saat ini duduk bersimpuh dengan kedua tangan yang diikat ke belakang menggeram marah. Pria itu-Jonathan-sejak tadi memberinya pilihan sulit yang membuatnya muak. 

Tar! 

Entah sudah berapa kali kulit sawo matangnya ditampar oleh untaian tali yang ujungnya digenggam oleh anak buah Max. Sakit? Tentu saja. Permukaan kulitnya seperti terbakar dan memerah. Namun, Sakha tetaplah Sakha. Pria keras kepala yang tegak pada pendiriannya. 

"Apa kau masih ingin melawan? Cepat tentukan pilihanmu! Jadi anak buah Leader atau menyerahkan nyawamu dengan menjadi penyumbang organ tubuh gratis?" Jonathan berteriak hingga gurat-gurat di lehernya mencuat. 

"Aku tidak sudi! Menentukan pilihan artinya menggali lubang kematianku sendiri!" 

"Brengsek-"

"Ada apa?" Suara berat mengalihkan perhatian semua orang. 

Masing-masing kepala-kecuali Sakha-menunduk hormat. Jonathan dan yang lainnya memberi jalan untuk Max serta dua orang pengawalnya, si kembar Alvin dan Alvian. 

"Leader, pria angkuh ini tidak mau memilih. Mungkin aku harus memberinya hukuman yang lebih berat." Jonathan angkat bicara tanpa menatap Max. Karena sikap hormatnya mengharuskan ia tetap menundukkan kepala. 

"Tidak usah. Biar aku yang tangani." Max mendekati Sakha. Tangan kanannya menjambak rambut pemuda itu hingga si empunya terdongak. "Arshaka Nusantara, itu namamu 'kan?"

Bibir Shaka menipis. Aura kemarahannya semakin terasa, tetapi hal itu justru membuat Max merasa geli. 

"Kudengar kau dan gadis bernama Mentari itu sudah berteman sejak kalian bertemu di penjaraku, benar?" 

"Bukan urusanmu!" jawab Shaka ketus.

"Okay, tidak masalah. Tapi bagaimana jika teman barumu itu menjadi temanku juga? Ah, teman tidur maksudnya." Max tertawa pelan. 

Sakha tercekat. Ia ingin menyingkirkan tangan Max. Namun, cengkraman pria itu justru semakin menguat. 

"Jangan pernah menyentuhnya, Brengsek! Kau akan berhadapan denganku jika sekali saja kau menyakitinya!" Shaka memberontak. 

"Tepat sekali. Jika kau tidak ingin aku menyakitinya ... lagi, kau harus menentukan pilihanmu. Karena aku tidak mau memaksa seseorang untuk menjadi anak buahku. Jadi aku memberinya pilihan." Max menyeringai. "Anak buah atau penyumbang organ tubuh gratis?" 

Sakha menghembuskan napas kasar. Baginya, tidak ada pilihan. Mungkin jauh di dalam hatinya lebih memilih mati daripada harus menjadi anak buah Max. Namun, keberadaan Mentari sebagai teman barunya, mengharuskan Sakha untuk tetap hidup agar bisa memberi perlindungan pada gadis itu. Tak tahu mengapa, tetapi besar keinginan Sakha untuk terus menjaga Mentari sejak pertemuan pertama mereka. 

"Baiklah. Aku akan menjadi anak buahmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status