Share

Tawanan Mafia
Tawanan Mafia
Penulis: Fbrmanda

Chapter 1 : Bilik Penjara

Semuanya nampak baik-baik saja ketika seorang gadis berjalan di tengah teriknya matahari. Senyum mengembang, wajah ceria, dan bibirnya yang lumayan tebal menyenandungkan lirik lagu yang sudah ada di luar kepala.

Hingga sebuah mobil Jeep hitam menepi di pinggir jalan dan menyita perhatiannya. Satu orang turun dan hal itu membuat dahinya berkerut.

Tak ada yang aneh, pria bule itu hanya menanyakan alamat dengan logat berantakan, awalnya. Namun, ketika suasana sepi, pria bertopeng ketenangan itu menunjukkan wujud aslinya.

Sebuah pistol dengan moncong yang menyasar pada kening sang gadis siap memuntahkan timah panas. Mungkin, jika sang gadis sedang bernasib sial, telunjuk si bule akan langsung mengakhiri kisahnya.

"Diam atau kami tidak segan melukaimu!" bisiknya sambil menempelkan kain bernoda bius dengan tangan lain. Wajah gadis belia yang kini memberontak itu memucat.

Alih-alih ingin melawan, gadis itu justru melemas karena efek obat yang ia terima. Ia diseret paksa, kedua kaki dan tangannya diikat, serta mata yang langsung ditutup kain hitam beraroma tak sedap. Sesaat setelah mobil melaju kencang, kesadarannya benar-benar musnah hingga sepasang mata bening miliknya tertutup rapat. 

Apa dan siapa yang menculiknya, gadis itu tak tahu menahu. 

Yang jelas, saat ia tenggelam dalam ketenangan semu, orang-orang yang menculiknya membawanya ke sebuah tempat. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, karena mobil Jeep itu melaju di jalan setapak yang membelah hutan dalam kurun waktu yang cukup lama. 

***

Namanya Mentari. Gadis asal Indonesia yang baru berusia sembilan belas tahun. Memiliki mata sebening embun, rambut indah yang akan menyatu di kegelapan malam, dan kontur wajah bulat dengan hidung minimalis. 

Ia terbangun dalam keadaan mengenaskan. Kedua tangannya diikat dengan rantai yang terkait pada paku besi yang menempel di dinding berlumut. 

Aroma tak sedap menguar ke segala penjuru. Membuat gadis belia itu menahan mual berkali-kali. Ruangan luas yang dibuat menyerupai penjara dengan petak-petak kurungan besi berukuran 2x3 meter itu hanya diisi oleh satu orang di setiap biliknya. 

Sejak ia membuka mata setelah insiden penculikan itu, Mentari hanya diam menahan pusing. Posisinya terduduk dengan punggung bersandar pada dinding berkawan lumut. 

Tak ada seorang pun yang bisa ia ajukan pertanyaan. Satu orang di bilik sebelahnya masih belum membuka mata. Mentari sadar bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban penculikan. 

"Apa mau kalian?!" Teriakan kencang yang menggema dari ujung mengalihkan perhatiannya. Fokusnya tertuju pada seorang pria yang dibawa paksa dengan mata tertutup. Ia dimasukkan ke dalam kurungan yang berhadapan dengan milik Mentari. 

"Siapa kalian?! Kenapa aku diikat seperti ini?" Tubuh Mentari agak condong ke depan ketika ia melontarkan pertanyaan pada dua pria berseragam hitam dengan pistol yang menggantung di sisi tubuhnya. Masih sama seperti sebelumnya, pria-pria itu adalah warga asing dengan rambut pirang dan kulit putih sebagai ciri khas.

"Kau diam! Jangan berisik atau kami akan menamparmu!" ancam salah satunya dengan suara tak kalah tinggi. Ia kemudian membantu temannya untuk merantai tubuh pemuda dengan posisi serupa seperti Mentari. 

"Lepaskan aku! Kalian siapa?!" Saat penutup matanya dibuka, pemuda itu berjengit tak terima. Ada beberapa lebam yang nampaknya sudah ia terima lebih dulu sebelum memasuki kurungan besi ini. 

Salah satu dari pria itu berjongkok. Ia menepuk wajah sang pemuda pelan, kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu siapa kami. Yang jelas, kami bukan orang sembarangan. Aku rasa, saat ini diam adalah pilihan yang tepat. Karena jika kau macam-macam, maka luka yang lebih serius dari yang kau terima beberapa saat lalu akan segera kau dapatkan." 

Mentari meneguk ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa menyekat. Ancaman pria itu pada sang pemuda terdengar bukan untuk gertakan semata. 

"Bagaimana aku harus diam saat kalian memperlakukanku seperti hewan?! Aku tidak akan terima! Lepaskan aku, Dasar payah!" 

Bugh! 

Tubuh sang pemuda terhuyung ke samping saat pukulan telak ia terima di pelipisnya. Ada noda darah yang mengalir tak lama kemudian. Ia meringis, tetapi masih mampu menatap musuhnya dengan wajah berani. 

Mentari sempat memejamkan mata saat peristiwa itu terjadi. Sedikit rasa takut perlahan mengurungnya bercampur amarah.

"Hei, jangan pukul dia! Kemarilah jika kau berani, lawan aku saja!" tantang Mentari mengalihkan atensi ketiganya. Satu orang hendak memberinya pelajaran, tetapi rekannya langsung menahan. 

"Kalau kau ingin memberontak, maka lakukan itu pada Leader. Kita lihat, apa yang akan dia lakukan pada gadis pembangkang sepertimu," ucap pria dengan bekas luka jahitan di kepalanya. Ia lebih tenang dibanding pria yang memukul pemuda tak berdaya itu. 

Mentari dan sang pemuda mengernyitkan dahinya. Mereka pikir, kemungkinan akan ada seseorang lagi yang lebih berkuasa dibanding dua pria di hadapan mereka. 

"Semoga hari kalian menyenangkan. Dan semoga, Leader tak membuat kalian berhenti bernapas sebelum diterbangkan." Tak lama setelah itu, kedua pria berseragam hitam meninggalkan bilik kurungan. Ia sempat memukul si pemuda sekali lagi, tetapi kali ini menggunakan mulut pistol. 

Sejenak suasana hening menyapa. Hingga Mentari memutuskan untuk membuka obrolan.

"Apa kau juga diculik oleh mereka?" tanya Mentari pada sang pemuda yang kini meringis kesakitan. 

"Iya. Mereka menculikku saat aku sedang bekerja. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi sepertinya, mereka adalah sekelompok penjahat yang selama ini menculik orang-orang di kotaku." Ia menunduk sesaat. Mentari sadar bahwa luka yang diterima pemuda itu cukup parah sehingga si empunya harus merintih beberapa kali. 

"Siapa namamu?" 

Yang ditanya mendongak. Ada senyuman tipis yang terbit di bibirnya. 

"Waktu yang buruk untuk berkenalan. Tapi, baiklah. Shaka, panggil saja begitu." 

"Baiklah. Namaku Mentari. Kurasa aku lebih muda darimu, tapi aku tidak mau memanggilmu kakak." 

Shaka tertawa pelan, meskipun tak lama karena berakhir dengan perih di sudut bibirnya.

"Aku tertarik denganmu. Untuk ukuran seorang gadis, kau cukup berani. Mungkin jika aku mendapat kesempatan untuk lari dari sini, aku juga akan mengajakmu.

***

Malam itu, Mentari harus rela mengakhiri mimpi indahnya saat kegaduhan terjadi di dalam penjara. Ketika kesadarannya telah terkumpul, ia baru menyadari ada seseorang yang memukul tralis besi dengan besi lainnya. Sehingga menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga. 

"Hei, apa kau tidak memiliki pekerjaan? Telingaku sakit karena mendengar suara itu!" pekik si gadis pemilik netra bening. Wajahnya nampak kesal karena bukannya berhenti, pria berkepala plontos di depan pintu justru semakin kuat memukulkan besi. "Kau tuli,ya?" 

"Diamlah, Nak! Aku hanya ingin membangunkan semua orang karena sebentar lagi Leader akan datang ke sini." 

Mentari berdecih. Sapaan yang ia dengar sepertinya tidak cocok bagi gadis seumurannya. 

"Siapa yang kau panggil Nak? Umurku sudah sembilan belas tahun, aku bukan lagi anak-anak!" Mentari membantah tak terima. 

"Benarkah?" Si pria berkepala plontos itu melirik ke arah lain. "Tapi kurasa ... bukit keindahanmu tidak cocok bagi gadis sembilan belas tahun. Ukurannya terlalu kecil." Ia tertawa ringan. 

Mentari yang langsung mengikuti arah pandangnya kemudian melebarkan mata. Kalau saja tangannya tidak dirantai, ia pasti akan membuat pria tanpa rambut itu menyesal. 

"Dasar mesum! Pergi saja kau ke neraka!" 

Bukannya merasa bersalah, pria itu justru mengeraskan tawanya. Seolah gurauan yang ia lontarkan adalah sesuatu yang sangat lucu. 

Namun, tawa itu perlahan berhenti saat ia menoleh ke samping. Ada kericuhan yang terjadi selama beberapa saat. 

"Dengar, bersikaplah sopan setelah ini. Sepertinya Leader sudah datang." Ia meninggalkan bilik kurungan setelah mengatakannya dengan nada serius. 

Jantung Mentari seketika berdebar kencang. Diliriknya Sakha yang juga tengah menatapnya di balik tralis besi. Pria itu terlihat biasa saja, tak ada raut ketakutan sama sekali. 

Bila dipikir ulang, Sakha memang sosok yang pemberani. Bahkan ia sempat melawan para penjaga meski berakhir dengan pukulan telak. 

Suasana tiba-tiba hening. Pandangan Mentari dan Sakha teralihkan ketika suara gema sepatu memantul di lantai penjara. Perlahan, tetapi terdengar mengintimidasi. Semakin lama suara itu semakin keras hingga membuat siapa saja pasti akan gemetaran. 

Tanpa diperintah, Mentari merapatkan tubuhnya pada dinding berlumut. Tak peduli meski pakaiannya kotor, tetapi ia perlu waspada pada seseorang yang sebentar lagi akan datang. 

Benar saja, beberapa detik setelah itu, sesosok pria tinggi menjulang dengan otot-otot yang tertahan di balik kaos hitam polos, berjalan melawan sumber cahaya dengan satu tangan berada di saku celana. 

Siapa sosok itu? Mentari rasa ia bukanlah pria biasa, karena auranya begitu kuat sehingga membuat siapapun yang menatapnya akan merasa terintimidasi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status