Semuanya nampak baik-baik saja ketika seorang gadis berjalan di tengah teriknya matahari. Senyum mengembang, wajah ceria, dan bibirnya yang lumayan tebal menyenandungkan lirik lagu yang sudah ada di luar kepala.
Hingga sebuah mobil Jeep hitam menepi di pinggir jalan dan menyita perhatiannya. Satu orang turun dan hal itu membuat dahinya berkerut.
Tak ada yang aneh, pria bule itu hanya menanyakan alamat dengan logat berantakan, awalnya. Namun, ketika suasana sepi, pria bertopeng ketenangan itu menunjukkan wujud aslinya.
Sebuah pistol dengan moncong yang menyasar pada kening sang gadis siap memuntahkan timah panas. Mungkin, jika sang gadis sedang bernasib sial, telunjuk si bule akan langsung mengakhiri kisahnya.
"Diam atau kami tidak segan melukaimu!" bisiknya sambil menempelkan kain bernoda bius dengan tangan lain. Wajah gadis belia yang kini memberontak itu memucat.
Alih-alih ingin melawan, gadis itu justru melemas karena efek obat yang ia terima. Ia diseret paksa, kedua kaki dan tangannya diikat, serta mata yang langsung ditutup kain hitam beraroma tak sedap. Sesaat setelah mobil melaju kencang, kesadarannya benar-benar musnah hingga sepasang mata bening miliknya tertutup rapat.
Apa dan siapa yang menculiknya, gadis itu tak tahu menahu.
Yang jelas, saat ia tenggelam dalam ketenangan semu, orang-orang yang menculiknya membawanya ke sebuah tempat. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, karena mobil Jeep itu melaju di jalan setapak yang membelah hutan dalam kurun waktu yang cukup lama.
***
Namanya Mentari. Gadis asal Indonesia yang baru berusia sembilan belas tahun. Memiliki mata sebening embun, rambut indah yang akan menyatu di kegelapan malam, dan kontur wajah bulat dengan hidung minimalis.
Ia terbangun dalam keadaan mengenaskan. Kedua tangannya diikat dengan rantai yang terkait pada paku besi yang menempel di dinding berlumut.
Aroma tak sedap menguar ke segala penjuru. Membuat gadis belia itu menahan mual berkali-kali. Ruangan luas yang dibuat menyerupai penjara dengan petak-petak kurungan besi berukuran 2x3 meter itu hanya diisi oleh satu orang di setiap biliknya.
Sejak ia membuka mata setelah insiden penculikan itu, Mentari hanya diam menahan pusing. Posisinya terduduk dengan punggung bersandar pada dinding berkawan lumut.
Tak ada seorang pun yang bisa ia ajukan pertanyaan. Satu orang di bilik sebelahnya masih belum membuka mata. Mentari sadar bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban penculikan.
"Apa mau kalian?!" Teriakan kencang yang menggema dari ujung mengalihkan perhatiannya. Fokusnya tertuju pada seorang pria yang dibawa paksa dengan mata tertutup. Ia dimasukkan ke dalam kurungan yang berhadapan dengan milik Mentari.
"Siapa kalian?! Kenapa aku diikat seperti ini?" Tubuh Mentari agak condong ke depan ketika ia melontarkan pertanyaan pada dua pria berseragam hitam dengan pistol yang menggantung di sisi tubuhnya. Masih sama seperti sebelumnya, pria-pria itu adalah warga asing dengan rambut pirang dan kulit putih sebagai ciri khas.
"Kau diam! Jangan berisik atau kami akan menamparmu!" ancam salah satunya dengan suara tak kalah tinggi. Ia kemudian membantu temannya untuk merantai tubuh pemuda dengan posisi serupa seperti Mentari.
"Lepaskan aku! Kalian siapa?!" Saat penutup matanya dibuka, pemuda itu berjengit tak terima. Ada beberapa lebam yang nampaknya sudah ia terima lebih dulu sebelum memasuki kurungan besi ini.
Salah satu dari pria itu berjongkok. Ia menepuk wajah sang pemuda pelan, kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu siapa kami. Yang jelas, kami bukan orang sembarangan. Aku rasa, saat ini diam adalah pilihan yang tepat. Karena jika kau macam-macam, maka luka yang lebih serius dari yang kau terima beberapa saat lalu akan segera kau dapatkan."
Mentari meneguk ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa menyekat. Ancaman pria itu pada sang pemuda terdengar bukan untuk gertakan semata.
"Bagaimana aku harus diam saat kalian memperlakukanku seperti hewan?! Aku tidak akan terima! Lepaskan aku, Dasar payah!"
Bugh!
Tubuh sang pemuda terhuyung ke samping saat pukulan telak ia terima di pelipisnya. Ada noda darah yang mengalir tak lama kemudian. Ia meringis, tetapi masih mampu menatap musuhnya dengan wajah berani.
Mentari sempat memejamkan mata saat peristiwa itu terjadi. Sedikit rasa takut perlahan mengurungnya bercampur amarah.
"Hei, jangan pukul dia! Kemarilah jika kau berani, lawan aku saja!" tantang Mentari mengalihkan atensi ketiganya. Satu orang hendak memberinya pelajaran, tetapi rekannya langsung menahan.
"Kalau kau ingin memberontak, maka lakukan itu pada Leader. Kita lihat, apa yang akan dia lakukan pada gadis pembangkang sepertimu," ucap pria dengan bekas luka jahitan di kepalanya. Ia lebih tenang dibanding pria yang memukul pemuda tak berdaya itu.
Mentari dan sang pemuda mengernyitkan dahinya. Mereka pikir, kemungkinan akan ada seseorang lagi yang lebih berkuasa dibanding dua pria di hadapan mereka.
"Semoga hari kalian menyenangkan. Dan semoga, Leader tak membuat kalian berhenti bernapas sebelum diterbangkan." Tak lama setelah itu, kedua pria berseragam hitam meninggalkan bilik kurungan. Ia sempat memukul si pemuda sekali lagi, tetapi kali ini menggunakan mulut pistol.
Sejenak suasana hening menyapa. Hingga Mentari memutuskan untuk membuka obrolan.
"Apa kau juga diculik oleh mereka?" tanya Mentari pada sang pemuda yang kini meringis kesakitan.
"Iya. Mereka menculikku saat aku sedang bekerja. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi sepertinya, mereka adalah sekelompok penjahat yang selama ini menculik orang-orang di kotaku." Ia menunduk sesaat. Mentari sadar bahwa luka yang diterima pemuda itu cukup parah sehingga si empunya harus merintih beberapa kali.
"Siapa namamu?"
Yang ditanya mendongak. Ada senyuman tipis yang terbit di bibirnya.
"Waktu yang buruk untuk berkenalan. Tapi, baiklah. Shaka, panggil saja begitu."
"Baiklah. Namaku Mentari. Kurasa aku lebih muda darimu, tapi aku tidak mau memanggilmu kakak."
Shaka tertawa pelan, meskipun tak lama karena berakhir dengan perih di sudut bibirnya.
"Aku tertarik denganmu. Untuk ukuran seorang gadis, kau cukup berani. Mungkin jika aku mendapat kesempatan untuk lari dari sini, aku juga akan mengajakmu.
***
Malam itu, Mentari harus rela mengakhiri mimpi indahnya saat kegaduhan terjadi di dalam penjara. Ketika kesadarannya telah terkumpul, ia baru menyadari ada seseorang yang memukul tralis besi dengan besi lainnya. Sehingga menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.
"Hei, apa kau tidak memiliki pekerjaan? Telingaku sakit karena mendengar suara itu!" pekik si gadis pemilik netra bening. Wajahnya nampak kesal karena bukannya berhenti, pria berkepala plontos di depan pintu justru semakin kuat memukulkan besi. "Kau tuli,ya?"
"Diamlah, Nak! Aku hanya ingin membangunkan semua orang karena sebentar lagi Leader akan datang ke sini."
Mentari berdecih. Sapaan yang ia dengar sepertinya tidak cocok bagi gadis seumurannya.
"Siapa yang kau panggil Nak? Umurku sudah sembilan belas tahun, aku bukan lagi anak-anak!" Mentari membantah tak terima.
"Benarkah?" Si pria berkepala plontos itu melirik ke arah lain. "Tapi kurasa ... bukit keindahanmu tidak cocok bagi gadis sembilan belas tahun. Ukurannya terlalu kecil." Ia tertawa ringan.
Mentari yang langsung mengikuti arah pandangnya kemudian melebarkan mata. Kalau saja tangannya tidak dirantai, ia pasti akan membuat pria tanpa rambut itu menyesal.
"Dasar mesum! Pergi saja kau ke neraka!"
Bukannya merasa bersalah, pria itu justru mengeraskan tawanya. Seolah gurauan yang ia lontarkan adalah sesuatu yang sangat lucu.
Namun, tawa itu perlahan berhenti saat ia menoleh ke samping. Ada kericuhan yang terjadi selama beberapa saat.
"Dengar, bersikaplah sopan setelah ini. Sepertinya Leader sudah datang." Ia meninggalkan bilik kurungan setelah mengatakannya dengan nada serius.
Jantung Mentari seketika berdebar kencang. Diliriknya Sakha yang juga tengah menatapnya di balik tralis besi. Pria itu terlihat biasa saja, tak ada raut ketakutan sama sekali.
Bila dipikir ulang, Sakha memang sosok yang pemberani. Bahkan ia sempat melawan para penjaga meski berakhir dengan pukulan telak.
Suasana tiba-tiba hening. Pandangan Mentari dan Sakha teralihkan ketika suara gema sepatu memantul di lantai penjara. Perlahan, tetapi terdengar mengintimidasi. Semakin lama suara itu semakin keras hingga membuat siapa saja pasti akan gemetaran.
Tanpa diperintah, Mentari merapatkan tubuhnya pada dinding berlumut. Tak peduli meski pakaiannya kotor, tetapi ia perlu waspada pada seseorang yang sebentar lagi akan datang.
Benar saja, beberapa detik setelah itu, sesosok pria tinggi menjulang dengan otot-otot yang tertahan di balik kaos hitam polos, berjalan melawan sumber cahaya dengan satu tangan berada di saku celana.
Siapa sosok itu? Mentari rasa ia bukanlah pria biasa, karena auranya begitu kuat sehingga membuat siapapun yang menatapnya akan merasa terintimidasi.
Ketika sosok itu sampai di depan bilik penjara milik Mentari, degup jantung gadis belia itu semakin tak terkendali. Dadanya sesak, seolah pasokan oksigen di dalam ruangan semakin menipis karena tersedot sepenuhnya.Maxime D'alterio, begitu nama ketua dari orang-orang yang sempat menculik Mentari dan yang lainnya. Sosok pemilik mata setajam elang dan tubuh proporsional, sekaligus pria yang ahli dalam hal mengintimidasi.Mentari meneguk ludahnya berat ketika sosok menjulang itu menoleh ke arahnya. Pandangan mereka sempat bertemu. Anehnya, Mentari kesulitan mengalihkan perhatian. Matanya terkunci untuk terus menyelami netra tajam milik Max. Pria bule yang jauh lebih memikat para kaum hawa dibanding pria-pria lainnya."Tampan," gumam Mentari tanpa sadar.Namun, deheman dari seseorang di seberang, memutuskan kontak mata di antara mereka karena Max langsung mengalihkan atensinya pada Sakha."Jadi kau, pria yang sejak tadi dibicara
Enam truk dan sebuah Jeep hitam yang menjadi pemimpin berjalan konvoi ke sebuah daerah di kaki gunung. Lebatnya hutan menjadi saksi bagaimana para korban itu bergelung dalam rasa takutnya.Dua jam berlalu, semua kendaraan itu memasuki gerbang yang di baliknya berdiri rumah lima lantai. Kemegahan senantiasa menyambut. Namun, tak ada yang pernah tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata 'megah' itu sendiri.Para korban dikeluarkan secara paksa kemudian diseret masuk. Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk berbaris di ruang utama. Kain penutup mata dibuka dan mereka diharuskan tetap bungkam. Tak boleh bersuara apalagi melawan.Lagi, suara sepatu menggema di lantai marmer. Meskipun pesona seorang Max mampu memikat mata, tetapi kebanyakan tak ada yang bernyali besar untuk membalas tatapan tajam dari mata elang itu.Seorang pria menggeser kursi lalu membersihkannya dengan tissue. Max duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kak
"Huweeek! Huweeek!"Rasanya sudah habis tenaga Mentari untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak. Ia lemas. Makanan basi itu nyatanya memang tidak cocok dikonsumsi. Lambungnya tak menerima sekali pun ia memaksa.Sudut ruangan adalah tempat yang ia pilih. Mentari sudah tak tahan sementara tidak terdapat toilet di ruangan sempit ini. Ia sendiri enggan untuk meminta bantuan pada para penjaga. Bisa jadi, mereka justru akan menyuruhnya untuk memakan kembali muntahan yang telah keluar.Mentari terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Napasnya terengah-engah dan keningnya dipenuhi keringat. Wajah ayu yang semula berseri kini berubah pucat serupa mayat hidup. Mentari memejamkan matanya untuk mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.Hingga tanpa sepengetahuannya pintu ruangan terbuka bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam. Kini sedikit berbeda. Langkah tegap yang biasanya mampu mengintimidasi, sekarang
"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri."Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya."Shaka, aku–""Kita tidak punya banyak waktu, Me
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek