"Huweeek! Huweeek!"
Rasanya sudah habis tenaga Mentari untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak. Ia lemas. Makanan basi itu nyatanya memang tidak cocok dikonsumsi. Lambungnya tak menerima sekali pun ia memaksa.
Sudut ruangan adalah tempat yang ia pilih. Mentari sudah tak tahan sementara tidak terdapat toilet di ruangan sempit ini. Ia sendiri enggan untuk meminta bantuan pada para penjaga. Bisa jadi, mereka justru akan menyuruhnya untuk memakan kembali muntahan yang telah keluar.
Mentari terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Napasnya terengah-engah dan keningnya dipenuhi keringat. Wajah ayu yang semula berseri kini berubah pucat serupa mayat hidup. Mentari memejamkan matanya untuk mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.
Hingga tanpa sepengetahuannya pintu ruangan terbuka bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam. Kini sedikit berbeda. Langkah tegap yang biasanya mampu mengintimidasi, sekarang cenderung oleng hingga beberapa kali hampir terjatuh.
"Hei, Gadis Angkuh! Kau sedang apa? Kenapa ... kenapa matamu terpejam seperti itu?" Max mengerjapkan mata karena penglihatannya sedikit buram. Efek alkohol yang sampai saat ini masih ia konsumsi.
Tak ada pergerakan dari Mentari. Gadis itu tetap dalam posisinya. Hanya deru napas teratur yang terdengar. Max justru semakin tertarik dengan wajah pucat itu.
"Kau tidak mati 'kan? Hah, tidak seru jika kau mati secepat ini. Aku ... aku masih belum bermain-main denganmu." Max tertawa pelan. Ia sedikit maju lalu membangunkan Mentari dengan kakinya. "Bangun, Bodoh! Ayo, cepat bangun! Hah, payah."
Max yang sejak tadi mencekik botol minuman, perlahan menuangkan cairan yang hanya tersisa setengah itu ke rambut Mentari. Caranya memang cukup ampuh untuk membangunkan seseorang. Mentari mengerjap kemudian mengusap wajahnya dan menatap Max sebal.
"Apa maumu?" Suara Mentari terdengar lirih dan sedikit serak.
"Kupikir kau sudah mati," celetuk Max asal.
Mentari mengernyitkan dahinya. Ia bukan orang bodoh. Melihat bagaimana cara Max berbicara, sudah cukup untuk merasakan keanehan pada diri pria itu. Apalagi, aroma napas si pria bermata tajam terasa menyengat. Max sedang mabuk.
"Pergilah. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu." Mentari memalingkan wajahnya.
Pria itu menggeram. Rahangnya mengeras dan gemelutuk gigi mulai berbunyi. Ia menyamakan tubuhnya dengan Mentari kemudian mencengkram rahang gadis itu erat.
"Berani sekali kau mengusirku di rumahku sendiri." Mentari menahan napasnya karena tak kuat mencium aroma alkohol dari mulut Max. "Dengar, saat ini, aku memang belum memperlakukanmu seperti para gadis yang lainnya. Kau masih bisa bernapas lega. Tapi belum bukan berarti tidak."
Pusing yang amat menyakitkan mendera Mentari. Aroma napas Max ternyata memiliki pengaruh buruk pada tubuhnya. Ya, sebenarnya bukan hanya aroma napas, melainkan semua yang ada pada diri pria bermata tajam itu tidaklah baik.
"Apa ... apa maksudnya?" tanya Mentari pelan. Otaknya sedang dalam keadaan buruk jika harus digunakan untuk berpikir keras.
"Artinya, aku akan menjadikanmu wanita sewaan, sama seperti para gadis itu. Atau mungkin ... lebih dari itu. Kau akan aku jadikan jalang spesial." Max berbisik di akhir kalimatnya.
Gadis itu marah? Tentu saja. Siapa yang tak akan marah jika seseorang dijanjikan akan menjadi wanita murahan? Menjalani pekerjaan hina tidak pernah terlintas dalam pikiran Mentari.
Dengan sisa tenaganya, ia melepaskan tangan Max kemudian mendorong tubuhnya yang semakin lama semakin mendekat. Namun, entah karena kondisinya yang sedang tidak baik, atau tenaga Max yang terlampau kuat meskipun dalam keadaan mabuk, sehingga Mentari tak mampu menggeser satu inchi pun.
"Gila. Aku tidak mau! Lepaskan aku dari sini!" Wajah ayunya memerah. Kedua mata beningnya memelotot karena memendam rasa amarah.
Yang menjadi lawan bicara justru tertawa kencang. Sangat kencang hingga membuat Mentari merinding karena mendengarnya di ruangan sempit ini. Tawa Max terus memantul dan hal tersebut membuat indra pendengarannya terasa seperti akan rusak.
"Max tidak pernah menarik kembali kata-katanya. Apa yang aku ucapkan, pasti akan aku lakukan. Kau hanya tinggal menunggu waktu saja."
***
Dua jam setelah kepergian Max dari ruangannya, kondisi Mentari sudah jauh lebih baik. Entahlah. Mungkin ini adalah efek dari obat yang sempat diberikan Alvin atas perintah dari Tuannya. Mentari tak lagi merasa mual atau pusing seperti tadi.
Gadis bermata bening itu terkesiap dan mengalihkan atensinya pada pintu saat kenopnya bergerak. Secara spontan ia merapatkan tubuhnya ke dinding sebagai bentuk waspada jika pria gila itu kembali datang dan membuat kekacauan.
Namun, dugaan Mentari salah. Kali ini bukan Max yang datang. Melainkan seorang gadis yang didorong hingga tubuhnya terjerembab ke lantai sesaat setelah pintunya terbuka. Gadis itu menangis dengan kondisi yang mengenaskan.
Mentari berusaha mendekat. Beruntung, saat ini hanya kaki kanannya yang dipasangi rantai. Sementara kedua tangan dan kaki kirinya dibebaskan. Ia meraih tubuh gadis itu kemudian memeluknya.
"Ada apa? Mengapa kau menangis? Apa yang mereka lakukan kepadamu?" Gadis itu membalas pelukan Mentari dengan erat. Punggungnya bergetar hebat.
"Kapan kita akan terbebas dari sini? Aku ingin pulang," ucapnya di sela-sela isak tangis. Suaranya parau dan sedikit teredam karena wajahnya menempel pada bahu Mentari.
"Aku juga tidak tahu. Berdoa saja semoga ada pihak kepolisian yang menemukan kita dan membawa kita pergi dari sini." Tangannya mengusap rambut sang gadis yang beraroma tak sedap.
Gadis itu menarik dirinya. Ia menatap Mentari dengan mata berkantung dan wajah sembab. Hidungnya memerah sementara bibirnya masih gemetar. Mentari iba pada gadis itu. Yang ia tebak, mungkin usianya masih dibawahnya.
"Mereka itu jahat. Kau tahu apa yang mereka lakukan padaku?" Mentari menggeleng lemah. "Mereka ... mereka menyuruhku untuk melayani pria-pria hidung belang. Aku sudah kotor. Aku sudah tidak suci lagi. Mereka sudah menyentuhku dan aku membenci itu."
Hatinya teriris mendengar pengakuan gadis itu. Max memang bukan manusia. Dia iblis. Rasanya, semua umpatan tidak akan pernah cukup untuk mencacinya.
Lalu, ada yang lebih Mentari takutkan saat ini. Sesuatu yang mungkin akan menjadi mimpi buruk di setiap malamnya.
Bagaimana jika Max melakukan hal yang sama pada Mentari? Ia diharuskan untuk tidur bersama pria asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya?
"Aku ... aku harus bagaimana, Tuhan?" pikirnya di dalam hati.
Mentari menatap gadis itu lagi. Tak sedikit pun rasa sedihnya berkurang. Ia justru semakin menangis kencang. Mentari sangat tahu rasanya. Saat harga diri dihancurkan, maka tidak ada lagi keinginan untuk bertahan hidup.
Beberapa saat kemudian, tubuh gadis itu semakin memberat. Saat Mentari melihatnya, ia telah memejamkan mata. Deru napas yang teratur membuat Mentari tahu bahwa gadis itu sudah jatuh ke dalam buaian mimpi. Ia tertidur setelah lelah menangis.
Baguslah, setidaknya itu jauh lebih baik daripada harus melihatnya bercucuran air mata. Mentari hanya membenarkan posisi tidur gadis itu dengan memangku kepalanya. Melihatnya, Mentari teringat akan sosok adik yang mungkin sedang mengkhawatirkan keadaannya di rumah.
***
Mentari terbangun dari tidurnya ketika seseorang menepuk-nepuk pipinya pelan. Ia mengerjapkan mata sebentar lalu terkejut setelah melihat seseorang yang ia kenal berada di hadapannya.
"Shaka?" lirih Mentari.
Kehadiran pemuda itu di tengah malam adalah suatu keanehan. Jadi, Mentari menyimpulkan bahwa Shaka sampai ke hadapannya dengan mengendap-endap.
Pria itu menaruh jari telunjuk di depan bibir. Ia seolah memberi perintah agar Mentari tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" Mentari berbicara hanya dengan gerakan bibir. Untunglah, Shaka bisa membacanya dengan baik.
Akan tetapi, pria itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng. Sepertinya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
Shaka bergeser ke samping. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya kemudian berusaha membuka gembok rantai di kaki kanan Mentari. Bermodalkan jepit rambut, pria itu sedikit kesulitan pada awalnya. Namun, sekitar satu menit, ia berhasil membukanya.
Shaka menarik tangan Mentari agar berdiri. Ia meringis pelan hingga membuat Mentari sadar bahwa ada banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Gadis itu ingin bertanya, tetapi ada hal yang lebih menarik rasa ingin tahunya saat ini.
"Kau mau apa?"
Shaka mendekatkan wajahnya ke telinga Mentari kemudian berkata, "Melarikan diri."
Di detik yang sama, sepasang mata bening itu membulat. Apa ... apa ia tidak salah dengar? Shaka ingin mengajaknya kabur dari rumah Max?
"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara.Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri."Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!"Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya."Shaka, aku–""Kita tidak punya banyak waktu, Me
Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.Sreeet!Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya."Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.Dia dudu
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek
Mentari membuka matanya secara perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya sekitar yang terasa menusuk retinanya. Pusing yang teramat sangat tiba-tiba mendera hingga gadis itu kembali memejamkan mata sembari mendesis.Saat merasa lebih baik, Mentari baru sadar akan suasana sekitar. Pandangannya langsung jatuh pada pria yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Terlihat sangat angkuh karena ia menaruh salah satu kaki di atas kaki yang lain. Asap mengepul dari rokok yang tersemat di antara jemarinya. Seolah menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di sana.Mentari berdecih. Pandangannya bergulir hingga sampai pada kondisinya saat ini. Terduduk di sebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. Padahal ruangan yang saat ini dia tempati adalah aula yang cukup besar. Hatinya bertanya-tanya. Kemana Shaka dibawa pergi?"Apa kau mencari temanmu itu?" Max buka suara membuat asap keluar dari mulut dan hi
"Arrrgh ...!" Teriakan Shaka bersahutan dengan suara Mentari yang menjerit keras. Bersamaan dengan terputusnya kaki kanan Shaka saat benda tajam itu menghantam lututnya.Darah menyembur keluar seperti kran air yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Mengenai wajah Mentari yang kini pucat pasi dengan tubuh membeku. Namun, itu tak berlangsung lama. Di detik berikutnya kesadarannya hilang hingga kepalanya tertunduk ke bawah. Peristiwa yang baru saja ia lihat, pasti akan menjadi kenangan paling buruk saat ia membuka mata nantinya.Di saat yang sama, Shaka limbung lalu terjatuh ke lantai sambil merintih kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana-kemari menahan perih maha dahsyat. Ia tak menyangka hukuman yang diberikan Max akan seperti ini. Bila boleh memilih, ia lebih meminta kematian daripada dibuat cacat.Penderitaan Shaka semakin menyakitkan ketika suara tawa terdengar memekakkan telinga. Max memutari tubuh pem
Arshaka Nusantara, pria itu sudah sadar beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, kondisinya tak jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tetap merintih kesakitan karena kaki yang kini diperban tidak disuntik obat bius oleh dokter yang menangani. Tentu saja, ini adalah perintah Max. Pria itu sengaja membuat Shaka menderita dengan kondisinya.Pemuda itu melirik ke arah pintu ketika langkah kaki seseorang mengalihkan pikirannya. Mimik wajah penuh penderitaan kini berganti dengan ekspresi datar saat netranya menangkap sosok Max yang kini berdiri di depan pintu setelah benda itu terbuka.Max melangkah dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Ia baru bersuara ketika sudah sampai di sisi ranjang Shaka."Bagaimana keadaanmu? Kuharap ... tidak jauh lebih baik." Dilanjutkan dengan kekehan ringan saat pandangannya menyapu kaki kanan Shaka yang kini hanya tinggal setengah dan berbalut perban. Bermaksud untuk mengejeknya. "Kakimu–""Dimana Men