Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang.
Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah.
Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan.
Sreeet!
Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya.
"Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah.
Dia duduk bersimpuh di atas dedaunan kering lalu memeriksa kondisi kakinya. Ada sisa ranting yang masih menancap dan hal itu membuat perihnya semakin tak tertahankan.
"Mentari! Astaga." Shaka ikut berjongkok dengan air muka panik. "Kita harus mencabut rantingnya. Jika tidak, lukanya akan menjadi infeksi."
Mentari menggeleng cepat dengan sudut mata berair. "Tidak, aku tidak mau. Ini sakit, Shaka."
Otaknya berpikir keras. Ia menundukkan kepala lalu melepas jaket yang sebagian sudah basah oleh keringat. Shaka menggulung jaket itu hingga berbentuk memanjang.
"Untuk apa itu?"
Shaka mengabaikan pertanyaan Mentari. "Buka mulutmu!"
"Untuk apa?"
"Buka saja!"
Gadis itu mencebik kesal. Kemudian ia membuka mulutnya seperti yang diperintahkan Shaka.
Tak menunggu lama, Shaka langsung menyumpul mulut Mentari dengan untaian jaket yang ia buat. Gadis itu sempat melawan, tetapi tatapan tajam dari Shaka membuatnya diam.
"Maafkan aku. Aku harus melakukan ini agar para penjahat itu tidak mendengar teriakanmu."
Mentari membalasnya dengan tatapan tak mengerti. Namun, ketika Shaka mulai menyentuh lukanya, ia baru menyadari sesuatu.
Ia menggeleng pelan, berusaha mencegah Shaka. Akan tetapi, pemuda itu sudah lebih dulu melakukan niatnya.
Sreeet!
"Arrrgh!" Wajah Mentari memerah dan matanya mengeluarkan air mata. Ia memekik kencang, tetapi suaranya teredam oleh jaket yang membekap mulutnya.
"Sudah beres. Rasanya pasti sangat sakit, tapi cuma sebentar. Itu jauh lebih baik daripada kau mengalami infeksi." Shaka melepaskan ikatan di mulut Mentari. Ia mengusap bahunya pelan lalu membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya untuk menenangkan.
"Lain kali, aku akan, memukulmu, jika kau mengulangi, mengulanginya lagi," ucap gadis itu tersengal-sengal.
Shaka tersenyum lalu mengurai pelukannya. Ia memandang wajah Mentari kemudian menghapus jejak air mata yang masih mengalir di permukaan pipi.
"Pukul saja, tidak masalah. Yang penting kau baik-baik saja." Shaka mengalihkan perhatian.
Dia membuka untaian jaket kemudian menarik kaki Mentari agar naik ke atas pahanya. Shaka membelit luka yang masih mengeluarkan darah itu perlahan-lahan agar Mentari tidak kembali berteriak kesakitan. Setelahnya Shaka membantu Mentari berdiri.
"Kau tahu, apa yang paling buruk saat kau mengikat lukaku tadi?" Ia melingkarkan tangan ke leher Shaka dan berdiri dengan kaki sebelah.
"Rasa sakitnya?"
"Bukan," kata Mentari sambil menggeleng pelan.
"Lalu?"
Gadis itu membuang napas kasar. Mata sendunya berubah kesal dengan bibir yang sedikit menipis. Shaka yang melihatnya mewanti-wanti apa yang akan dia katakan.
"Bukan rasa sakit, bukan darah yang banyak, bukan pula ranting yang menancap. Tapi yang paling buruk adalah ... kau mengikat mulutku dengan jaket bekas keringatmu."
Bugh!
Dia memukul bahu Shaka dengan sebelah tangannya. Setelah itu, bibirnya yang masih sedikit maju diusap kasar beberapa kali.
"Menyebalkan. Baunya masih terasa sampai sekarang. Sudah berapa hari kau tidak mandi? Aromanya seperti ketiak gosong milik orang yang tidak pernah mandi seumur hidupnya."
Shaka tergelak mendengar Mentari yang terus berceloteh dengan gaya khasnya. Ia balas merengkuh tubuh mungil Mentari kemudian mengusap rambutnya pelan.
"Mau bagaimana lagi? Para penjahat itu tidak membiarkan aku mandi. Kalau begini 'kan, ketampananku jadi berkurang setengah." Ia melanjutkan dengan kekehan ringan.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan diselingi candaan. Shaka membantu Mentari yang berjalan pincang meskipun rasa lelah terasa menerkamnya.
***
Max mengangkat sebelah tangannya sehingga membuat anak buah yang lain turut berhenti. Ia menunduk kemudian berjongkok. Tangannya mengambil sehelai daun yang permukaannya terkena noda darah.
Tak puas hanya dengan pengamatan mata, ia menyentuhnya dengan jari telunjuk kemudian mengendus aromanya.
"Ini darah manusia, masih segar. Kemungkinan mereka baru saja melewati area ini," kata Max kemudian berdiri.
"Kau yakin, Leader?" tanya Alvin di sebelahnya.
Jonathan yang semula berada di posisi belakang mendekat. Ia melirik selembar daun yang dipegang oleh Max. Netranya seperti pemindai yang melakukan observasi pada sebuah benda.
"Leader tidak salah, ini memang darah manusia," katanya kemudian menelisik ke sekitar. Tidak ada pergerakan atau hal-hal yang mencurigakan. Kedua tawanannya sudah melarikan diri.
Namun, ketika penglihatannya sedikit bergeser ke arah Barat, pupilnya memicing karena mendapati ada beberapa tumbuhan semak yang patah. Bisa jadi ada makhluk besar atau bahkan manusia yang baru saja melewatinya. Jonathan langsung menduga bahwa itu adalah Shaka dan Mentari.
"Leader, li–" Kalimat Jonathan terpotong.
"Tapi, Leader, bagaimana kau bisa mengetahui kalau itu adalah darah manusia? Bisa saja 'kan, itu adalah milik hewan buas yang tidak sengaja terkena duri di sekitar sini?" Alvian ikut menimpali.
Max tak menanggapi. Ia menjatuhkan lembaran daun itu kemudian maju beberapa langkah. Netranya seperti mata elang yang sedang memilih mangsa untuk dijadikan santapan.
Jonathan kembali mendekati Max kemudian membisikkan sesuatu di dekat telinga pria itu. Max menyeringai tipis.
"Kerahkan anak buah untuk menyisir ke sekitar. Aku yakin, mereka masih ada di sekitar sini." Max berbalik menghadap Jonathan. "Apa tidak ada sungai atau sumber mata air?"
Jonathan berpikir sejenak kemudian berkata, "Ada. Sekitar satu kilometer ke arah Barat, ada sungai yang airnya sangat jernih dan bisa diminum."
Seringai Max semakin melebar. "Kita ke sana. Aku sangat yakin jika kali ini mereka tidak akan bisa lolos."
Semua pengawal mengangguk. Satu per satu dari mereka kembali menelusuri hutan dengan Max yang tetap memimpin di depan.
"Memangnya Leader ingin mandi, ya? Kenapa dia mencari sungai?" Alvian bertanya pada saudara kembarnya.
"Tidak, bukan mandi. Leader ingin menenggelamkanmu di sana agar otakmu tidak konslet," jawab Alvin asal.
"Apakah air di sungai itu memiliki kekuatan? Aku ingin ke sana kalau memang ada."
"Sudah diam, kau selalu saja membuat kepalaku pusing. Aku menyesal kenapa tidak menendangmu keluar dari rahim ibu dulu."
"Kakak ...."
"Berhenti merengek seperti anak kecil. Jika saja ibu masih hidup, aku akan memarahinya karena telah memberikan saudara sepertimu."
Rasa lelah yang melingkupi membuat dua orang itu langsung berjalan ke arah sungai. Shaka membantu Mentari yang masih berjalan terpincang-pincang. Mereka berjongkok di pinggiran sungai kemudian meminum airnya."Cepatlah! Mereka bisa datang kapan saja." Shaka berdiri lebih awal setelah menuntaskan dahaganya. Memperhatikan keadaan sekitar yang amat sepi dan lengang."Aku ... aku lelah sekali. Tidak bisakah kita berhenti sejenak untuk beristirahat?" Ia duduk di atas batuan kering sembari meluruskan kakinya.Shaka bertolak pinggang dan berbalik. Wajahnya juga terlihat lelah. Akan tetapi, tak ada sedikit pun niatan untuk mengabulkan permintaan Mentari. Baginya, saat ini waktu terasa amat mencekik. Anak buah Max bisa datang kapan dan darimana saja."Kita baru akan beristirahat setelah kita menemukan jalan raya dan terbebas dari sini."Satu helaan napas panjang lolos dari bibir tebal Mentari. Ia mengurut kakinya yang terasa kr
Di kedalaman jurang yang dipenuhi semak belukar. Tempat yang mungkin saja menjadi sarang ternyaman para ular beracun yang tengah mencari mangsa. Di sanalah kedua anak manusia berbeda jenis kelamin itu tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah segar.Matanya masih terpejam. Begitu damai seolah kelopak mata keduanya tidak akan terbuka lagi.Hingga Shaka yang mengawali. Netranya bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka. Terdengar desisan kecil dari bibirnya yang menandakan bahwa ia tak baik-baik saja. Luka-luka di sekujur tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Apalagi, ada sebuah peluru yang kini masih bersarang di betisnya.Meskipun begitu, pemuda dua puluh lima tahun itu tetap berusaha bangun untuk memeriksa keadaan sekitar. Matanya terperangah ketika mendapati tubuh Mentari yang tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Kepalanya berdarah, beberapa bagian dari pakai
Kedua insan itu mematung dengan bibir terbuka dan pupil membesar. Tubuhnya kaku mematung di tempat. Meskipun mereka masih berpegangan tangan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa jantungnya berdebar-debar. Membuat lidah mereka terasa kelu hingga tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun.Secara refleks, mereka berjalan mundur. Genggaman dari tangan Shaka semakin menguat untuk menghilangkan rasa takut dalam benak Mentari. Di detik selanjutnya, pemuda dua puluh lima tahun itu menoleh dan membuat gadis di sampingnya juga melakukan hal serupa hingga pandangan mereka bertemu."Shaka, harimaunya ...," lirih Mentari nyaris menyatu dengan desisan angin.Dia meneguk ludahnya yang terasa berat dan kembali mengalihkan perhatian pada hewan besar di depan sana.Ini memang hari yang sial bagi mereka. Setelah selamat dari maut karena terjatuh dari jurang, kini mereka harus dihadapkan pada harimau besar yang sedang kelaparan. Jaraknya hanya sek
Mentari membuka matanya secara perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya sekitar yang terasa menusuk retinanya. Pusing yang teramat sangat tiba-tiba mendera hingga gadis itu kembali memejamkan mata sembari mendesis.Saat merasa lebih baik, Mentari baru sadar akan suasana sekitar. Pandangannya langsung jatuh pada pria yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Terlihat sangat angkuh karena ia menaruh salah satu kaki di atas kaki yang lain. Asap mengepul dari rokok yang tersemat di antara jemarinya. Seolah menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di sana.Mentari berdecih. Pandangannya bergulir hingga sampai pada kondisinya saat ini. Terduduk di sebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. Padahal ruangan yang saat ini dia tempati adalah aula yang cukup besar. Hatinya bertanya-tanya. Kemana Shaka dibawa pergi?"Apa kau mencari temanmu itu?" Max buka suara membuat asap keluar dari mulut dan hi
"Arrrgh ...!" Teriakan Shaka bersahutan dengan suara Mentari yang menjerit keras. Bersamaan dengan terputusnya kaki kanan Shaka saat benda tajam itu menghantam lututnya.Darah menyembur keluar seperti kran air yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Mengenai wajah Mentari yang kini pucat pasi dengan tubuh membeku. Namun, itu tak berlangsung lama. Di detik berikutnya kesadarannya hilang hingga kepalanya tertunduk ke bawah. Peristiwa yang baru saja ia lihat, pasti akan menjadi kenangan paling buruk saat ia membuka mata nantinya.Di saat yang sama, Shaka limbung lalu terjatuh ke lantai sambil merintih kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana-kemari menahan perih maha dahsyat. Ia tak menyangka hukuman yang diberikan Max akan seperti ini. Bila boleh memilih, ia lebih meminta kematian daripada dibuat cacat.Penderitaan Shaka semakin menyakitkan ketika suara tawa terdengar memekakkan telinga. Max memutari tubuh pem
Arshaka Nusantara, pria itu sudah sadar beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, kondisinya tak jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tetap merintih kesakitan karena kaki yang kini diperban tidak disuntik obat bius oleh dokter yang menangani. Tentu saja, ini adalah perintah Max. Pria itu sengaja membuat Shaka menderita dengan kondisinya.Pemuda itu melirik ke arah pintu ketika langkah kaki seseorang mengalihkan pikirannya. Mimik wajah penuh penderitaan kini berganti dengan ekspresi datar saat netranya menangkap sosok Max yang kini berdiri di depan pintu setelah benda itu terbuka.Max melangkah dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Ia baru bersuara ketika sudah sampai di sisi ranjang Shaka."Bagaimana keadaanmu? Kuharap ... tidak jauh lebih baik." Dilanjutkan dengan kekehan ringan saat pandangannya menyapu kaki kanan Shaka yang kini hanya tinggal setengah dan berbalut perban. Bermaksud untuk mengejeknya. "Kakimu–""Dimana Men
"Leader, aku memiliki kabar buruk." Alvin berujar setelah masuk ke dalam ruang kerja Max. Kini pria itu sedang menundukkan kepalanya dengan kedua tangan berada di depan perut."Katakan!" Max tak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.Terlihat sedikit ragu, akhirnya Alvin memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di benaknya. "Maaf, Leader, empat pria yang semula sudah bersedia menjadi anak buah kita mengubah keputusannya. Mereka justru memberontak dan lebih memilih untuk menjadi penyumbang organ tubuh gratis daripada harus mengabdi padamu."Gerakan tangan Max yang semula sedang mengetik sesuatu mendadak terhenti. Meskipun wajahnya masih terlihat datar, tetapi rahangnya mengeras dan auranya berubah mencekam. Secara refleks Alvin mundur beberapa langkah ketika menyadari perubahan dalam diri Max."Wujudkan keinginan mereka!" Suara berat yang mengalun penuh kemarahan membuat satu-satunya orang yang berada di dalam ruangan itu meremang.
Dua hari telah berlalu. Sejak kejadian itu, Mentari lebih jarang bertemu dengan Max. Tentu hal itu menjadi keuntungan terbesar baginya. Ketidakhadiran Max tak pelak membuatnya bebas barang sesaat.Ya, dua hari lalu Mentari mengalami keracunan. Susu yang diberikan oleh Alvin diduga menjadi penyebabnya. Akan tetapi, alih-alih merasa sedih, Mentari justru sangat bahagia karena efek dari racun itu membuatnya terbebas dari ancaman kehilangan harga diri. Setidaknya, untuk beberapa saat. Karena ia yakin Max tidak akan menyerah. Setelah ini mungkin ia harus mencari cara lain untuk menghindari serangan Max. Tidak mungkin 'kan ia harus meminum susu beracun lagi untuk membuat Max berhenti?Selama dua hari pula, Mentari tak pernah bertemu dengan Shaka. Hidupnya hanya ia habiskan di kamar Max dan kamar mandinya saja. Selebihnya, pria itu tak pernah mengizinkannya keluar. Jika berniat untuk kabur pun, ia tidak pernah memiliki kesempatan. Selalu saja ada anak buah Max yang meme