Share

Chapter 6 : Darah di Permukaan Daun

Waktu kian berlalu. Tirai kegelapan yang menutupi sebagian bumi mulai tersingkap. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan perlahan membuat suasana hutan menjadi terang. 

Berjam-jam kedua anak manusia itu berlari tak kenal lelah. Tanpa tujuan dan buta arah. Niat mereka sudah bulat. Meskipun resiko besar tengah mengintai, mereka tetap tak menyerah. 

Pergelangan Mentari terasa seperti akan lepas. Kram yang ia rasakan sudah tak terhitung lamanya. Napasnya yang tak beraturan dan tenggorokan yang menyekat ia kesampingkan demi sebuah kata 'bebas' dari gelar sang Tawanan. 

Sreeet!

Ranting pohon menggores telapak kakinya hingga menimbulkan luka yang cukup dalam. Ujung celana panjang yang Mentari kenakan juga sedikit koyak. Gadis itu berhenti dan mendesis pelan. Ia menarik Shaka agar mengetahui keadaannya. 

"Berhenti sebentar. Kakiku ... kakiku terluka, Shaka," kata Mentari dengan napas terengah-engah. 

Dia duduk bersimpuh di atas dedaunan kering lalu memeriksa kondisi kakinya. Ada sisa ranting yang masih menancap dan hal itu membuat perihnya semakin tak tertahankan. 

"Mentari! Astaga." Shaka ikut berjongkok dengan air muka panik. "Kita harus mencabut rantingnya. Jika tidak, lukanya akan menjadi infeksi." 

Mentari menggeleng cepat dengan sudut mata berair. "Tidak, aku tidak mau. Ini sakit, Shaka." 

Otaknya berpikir keras. Ia menundukkan kepala lalu melepas jaket yang sebagian sudah basah oleh keringat. Shaka menggulung jaket itu hingga berbentuk memanjang. 

"Untuk apa itu?" 

Shaka mengabaikan pertanyaan Mentari. "Buka mulutmu!" 

"Untuk apa?" 

"Buka saja!" 

Gadis itu mencebik kesal. Kemudian ia membuka mulutnya seperti yang diperintahkan Shaka. 

Tak menunggu lama, Shaka langsung menyumpul mulut Mentari dengan untaian jaket yang ia buat. Gadis itu sempat melawan, tetapi tatapan tajam dari Shaka membuatnya diam. 

"Maafkan aku. Aku harus melakukan ini agar para penjahat itu tidak mendengar teriakanmu." 

Mentari membalasnya dengan tatapan tak mengerti. Namun, ketika Shaka mulai menyentuh lukanya, ia baru menyadari sesuatu. 

Ia menggeleng pelan, berusaha mencegah Shaka. Akan tetapi, pemuda itu sudah lebih dulu melakukan niatnya. 

Sreeet! 

"Arrrgh!" Wajah Mentari memerah dan matanya mengeluarkan air mata. Ia memekik kencang, tetapi suaranya teredam oleh jaket yang membekap mulutnya. 

"Sudah beres. Rasanya pasti sangat sakit, tapi cuma sebentar. Itu jauh lebih baik daripada kau mengalami infeksi." Shaka melepaskan ikatan di mulut Mentari. Ia mengusap bahunya pelan lalu membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya untuk menenangkan.  

"Lain kali, aku akan, memukulmu, jika kau mengulangi, mengulanginya lagi," ucap gadis itu tersengal-sengal. 

Shaka tersenyum lalu mengurai pelukannya. Ia memandang wajah Mentari kemudian menghapus jejak air mata yang masih mengalir di permukaan pipi. 

"Pukul saja, tidak masalah. Yang penting kau baik-baik saja." Shaka mengalihkan perhatian. 

Dia membuka untaian jaket kemudian menarik kaki Mentari agar naik ke atas pahanya. Shaka membelit luka yang masih mengeluarkan darah itu perlahan-lahan agar Mentari tidak kembali berteriak kesakitan. Setelahnya Shaka membantu Mentari berdiri. 

"Kau tahu, apa yang paling buruk saat kau mengikat lukaku tadi?" Ia melingkarkan tangan ke leher Shaka dan berdiri dengan kaki sebelah. 

"Rasa sakitnya?" 

"Bukan," kata Mentari sambil menggeleng pelan. 

"Lalu?" 

Gadis itu membuang napas kasar. Mata sendunya berubah kesal dengan bibir yang sedikit menipis. Shaka yang melihatnya mewanti-wanti apa yang akan dia katakan. 

"Bukan rasa sakit, bukan darah yang banyak, bukan pula ranting yang menancap. Tapi yang paling buruk adalah ... kau mengikat mulutku dengan jaket bekas keringatmu." 

Bugh!

Dia memukul bahu Shaka dengan sebelah tangannya. Setelah itu, bibirnya yang masih sedikit maju diusap kasar beberapa kali. 

"Menyebalkan. Baunya masih terasa sampai sekarang. Sudah berapa hari kau tidak mandi? Aromanya seperti ketiak gosong milik orang yang tidak pernah mandi seumur hidupnya." 

Shaka tergelak mendengar Mentari yang terus berceloteh dengan gaya khasnya. Ia balas merengkuh tubuh mungil Mentari kemudian mengusap rambutnya pelan. 

"Mau bagaimana lagi? Para penjahat itu tidak membiarkan aku mandi. Kalau begini 'kan, ketampananku jadi berkurang setengah." Ia melanjutkan dengan kekehan ringan. 

Mereka melanjutkan perjalanan dengan diselingi candaan. Shaka membantu Mentari yang berjalan pincang meskipun rasa lelah terasa menerkamnya. 

***

Max mengangkat sebelah tangannya sehingga membuat anak buah yang lain turut berhenti. Ia menunduk kemudian berjongkok. Tangannya mengambil sehelai daun yang permukaannya terkena noda darah. 

Tak puas hanya dengan pengamatan mata, ia menyentuhnya dengan jari telunjuk kemudian mengendus aromanya. 

"Ini darah manusia, masih segar. Kemungkinan mereka baru saja melewati area ini," kata Max kemudian berdiri. 

"Kau yakin, Leader?" tanya Alvin di sebelahnya. 

Jonathan yang semula berada di posisi belakang mendekat. Ia melirik selembar daun yang dipegang oleh Max. Netranya seperti pemindai yang melakukan observasi pada sebuah benda.

"Leader tidak salah, ini memang darah manusia," katanya kemudian menelisik ke sekitar. Tidak ada pergerakan atau hal-hal yang mencurigakan. Kedua tawanannya sudah melarikan diri. 

Namun, ketika penglihatannya sedikit bergeser ke arah Barat, pupilnya memicing karena mendapati ada beberapa tumbuhan semak yang patah. Bisa jadi ada makhluk besar atau bahkan manusia yang baru saja melewatinya. Jonathan langsung menduga bahwa itu adalah Shaka dan Mentari. 

"Leader, li–" Kalimat Jonathan terpotong.

"Tapi, Leader, bagaimana kau bisa mengetahui kalau itu adalah darah manusia? Bisa saja 'kan, itu adalah milik hewan buas yang tidak sengaja terkena duri di sekitar sini?" Alvian ikut menimpali. 

Max tak menanggapi. Ia menjatuhkan lembaran daun itu kemudian maju beberapa langkah. Netranya seperti mata elang yang sedang memilih mangsa untuk dijadikan santapan. 

Jonathan kembali mendekati Max kemudian membisikkan sesuatu di dekat telinga pria itu. Max menyeringai tipis. 

"Kerahkan anak buah untuk menyisir ke sekitar. Aku yakin, mereka masih ada di sekitar sini." Max berbalik menghadap Jonathan. "Apa tidak ada sungai atau sumber mata air?" 

Jonathan berpikir sejenak kemudian berkata, "Ada. Sekitar satu kilometer ke arah Barat, ada sungai yang airnya sangat jernih dan bisa diminum." 

Seringai Max semakin melebar. "Kita ke sana. Aku sangat yakin jika kali ini mereka tidak akan bisa lolos." 

Semua pengawal mengangguk. Satu per satu dari mereka kembali menelusuri hutan dengan Max yang tetap memimpin di depan. 

"Memangnya Leader ingin mandi, ya? Kenapa dia mencari sungai?" Alvian bertanya pada saudara kembarnya. 

"Tidak, bukan mandi. Leader ingin menenggelamkanmu di sana agar otakmu tidak konslet," jawab Alvin asal.

"Apakah air di sungai itu memiliki kekuatan? Aku ingin ke sana kalau memang ada." 

"Sudah diam, kau selalu saja membuat kepalaku pusing. Aku menyesal kenapa tidak menendangmu keluar dari rahim ibu dulu."

"Kakak ...."

"Berhenti merengek seperti anak kecil. Jika saja ibu masih hidup, aku akan memarahinya karena telah memberikan saudara sepertimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status