Home / Thriller / Tawanan Mafia / Chapter 5 : Melarikan Diri

Share

Chapter 5 : Melarikan Diri

Author: Fbrmanda
last update Huling Na-update: 2022-02-10 15:19:19

"Kau ingin melarikan diri? Apa kau sudah gila? Ini adalah sarang iblis. Ada banyak penjaga di sini dan pasti tidak mudah untuk melarikan diri. Jika kita tertangkap, entah apa yang akan terjadi pada diri kita, Shaka," bisik Mentari kali ini sedikit bersuara. 

Ketakutan Mentari bukan tidak beralasan. Bila Max saja mampu membuat para tawanannya hidup serupa di neraka, maka bukan tidak mungkin dia juga akan bertindak lebih pada mereka yang berniat melarikan diri. 

"Apa maksudmu? Apa kau tidak ingin pergi dari sini? Apa kau ingin disiksa setiap hari? Dijadikan wanita sewaan lalu jika kau menolak kau akan diberi cambukan lima puluh kali?" Shaka menggeleng pelan. "Tidak, Mentari, ini adalah kesempatan kita. Kita harus melarikan diri dari sini sebelum hidup kita benar-benar dibuat hancur. Ayo!" 

Shaka menarik pergelangan tangan Mentari, tetapi gadis itu tetap dalam posisinya. 

"Shaka, aku–" 

"Kita tidak punya banyak waktu, Mentari. Cepatlah, sebelum para penjaga itu sadar bahwa aku sudah tidak ada di penjara." Lagi, Shaka menarik Mentari. Namun, gadis itu hanya bergeser satu langkah kemudian berhenti. "Ada apa lagi?" 

"Gadis itu, kita harus membawanya juga. Tunggu sebentar, aku akan membangunkannya." Mentari melepaskan tangan Shaka kemudian berbalik. Akan tetapi, matanya membulat saat menyadari satu hal, gadis itu sudah tidak ada di dalam ruangannya. 

"Siapa yang kau maksud?" tanya Shaka, tidak mengerti karena sejak tadi hanya Mentari yang ia temui di ruangan sempit itu. 

"Tadi ... tadi ada seorang gadis di sini. Dia menangis dan memelukku. Kemana dia?" Mentari memperhatikan seluruh penjuru ruangan. Nihil, hanya dia dan bekas muntahannya yang hampir mengering. 

Sakha mendekati Mentari dan kembali meraih tangannya. Gadis itu berbalik hingga pandangan mereka bertemu. 

"Sudahlah. Waktu kita semakin menipis. Jika kita berhasil lolos, kita akan meminta bantuan pihak kepolisian untuk membebaskan para tawanan di rumah ini. Sekarang kita harus pergi." Shaka tak lagi menunggu respon Mentari. Ia langsung menarik tangan gadis itu ke arah pintu. 

Pemuda dua puluh lima tahun itu tidak langsung keluar. Ia membuka daun pintu sedikit kemudian mengintip suasana di luar melalui celah-celah. Setelah merasa cukup aman, ia mengajak Mentari untuk mengikutinya. 

Beruntung, suasana di tengah malam seperti ini tidak terlalu ketat. Hanya beberapa anak buah Max yang berlalu-lalang untuk melakukan patroli. Sementara Shaka sangat lihai dalam menghindar. Ia cepat membaca situasi sehingga akan langsung bersembunyi jika melihat bayangan seseorang yang mendekat. 

Saat ini, yang pemuda itu cari adalah lift atau tangga untuk menuju lantai dasar. Perjalanannya ketika akan dibawa ke ruang penjara dan saat ia ingin menemui Mentari cukup untuk membantunya mengetahui tata letak rumah lima lantai ini. 

"Bersembunyi di balik dinding, ada seseorang yang akan kemari," bisik pemuda itu pada Mentari. 

Mereka merapatkan tubuh. Tangan kanan Mentari membekap mulutnya sendiri karena takut akan mengeluarkan suara dan membahayakan keberadaan mereka. 

Dua pria berseragam hitam dan bertubuh jangkung melintasi mereka. Nasib baik sedang berpihak. Keduanya sibuk berbincang dan tidak menyadari kehadirannya. Mereka bisa bernapas lega.

Shaka dan Mentari keluar dari tempat persembunyiannya ketika situasi sudah aman. Mata mereka menelisik sekitar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga lain yang mendadak datang. 

"Dua penjaga itu datang dari arah sana. Kemungkinan, ada sebuah tangga atau lift dari arah yang sama. Ayo." Mereka kembali melanjutkan perjalanan. 

Namun, baru mengayunkan kaki lima langkah, Mentari mendadak berhenti. Hal itu membuat Shaka berbalik dan menatapnya heran. 

"Ada apa?" 

Mentari melirik Shaka sejenak kemudian berbisik, "Tunggu sebentar. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan." Gadis itu memisahkan diri dan berjalan ke arah lain. 

"Mentari! Hei, kau mau kemana? Jangan gegabah." Pemuda itu panik. Ia menyusul rekannya sambil mengawasi keadaan sekitar. 

Shaka berhenti di depan pintu lalu membulatkan matanya ketika melihat apa yang dilakukan Mentari. Gadis itu memasuki sebuah ruangan lalu tidak lama kemudian ia keluar sambil membawa sepotong kue di tangannya. Mimik wajahnya nampak berseri-seri seperti mendapat hadiah bongkahan emas. 

"Apa yang kau lakukan?" 

"Sesuatu yang darurat. Aku butuh amunisi untuk perutku." 

"Dalam keadaan genting seperti ini?" Shaka nyaris tak percaya saat melihat gadis itu memakan kuenya dengan begitu tenang. 

"Mau bagaimana lagi? Pria gila itu hanya memberiku makanan basi. Coba bayangkan. Bahkan ayamku saja enggan untuk memakan makanan seperti itu." Setelah makanannya habis, ia menjilati tangannya sendiri lalu bersendawa. 

"Sudah selesai?" Mentari hanya menganggukan kepala. "Apa kita bisa pergi sekarang?" 

"Sebenarnya aku butuh minum. Tapi sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin aku bisa minum setelah keluar dari rumah ini." 

"Kita bisa keluar jika kau bergerak cepat. Karena jika kita hanya berdiam di sini, aku bahkan ragu kita bisa berjalan satu langkah saja." Sakha menatap Mentari kesal kemudian berjalan meninggalkannya. Mentari yang masih ada dalam posisinya hanya memajukan bibir bawahnya. 

"Kenapa dia marah? Memangnya aku salah apa?" Satu detik setelahnya ia sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Shaka. 

***

Jonathan menautkan alisnya heran ketika melihat ruangan penjara yang tidak dijaga oleh anak buah Max. Ia menoleh ke sekitar. Suasana sangat lengang. Kemana orang-orang yang biasanya bertugas? 

Pria berambut gondrong itu berbalik ketika mendengar suara langkah kaki. Seorang anak buah menghampirinya dengan mata sayu. Jonathan melipat tangannya di dada kemudian menatap pria itu tajam. 

"Bukankah kau yang ditugaskan untuk berjaga di ruangan ini?" 

Pria itu menunduk lalu berkata, "Benar, Tuan." 

"Lalu kau darimana saja? Bagaimana jika Leader tahu ada anak buah sepertimu? Mungkin kau akan langsung dipecat atau bahkan diterbangkan ke neraka." 

"Ma-maaf, Tuan. Aku ... aku–" 

"Sudah, hentikan. Sekarang katakan, apakah pria itu masih ada di dalam?" Jonathan mengalihkan pembicaraan karena kesal dengan suara gugup lawan bicaranya. 

"Iya, Tuan. Saat aku meninggalkannya, dia sedang tertidur setelah aku memaksanya meminum pil." 

"Baiklah, sekarang berikan kuncinya padaku, aku ingin melihatnya secara langsung." Jonathan mengulurkan tangannya ke arah sang anak buah. 

Yang diperintah langsung meraba sisi kiri ikat pinggangnya. Namun, setelah beberapa saat ia tak kunjung memberi apa yang diminta dan raut wajahnya berubah panik. Jonathan langsung menyadari hal itu. 

"Ada apa?" 

Pria itu meneguk liurnya berat. Ia ketakutan saat melihat wajah Jonathan yang seperti akan memakannya hidup-hidup. 

"Ma-maaf, Tuan, tapi sepertinya aku tidak sengaja menjatuhkan kunci itu. Aku tidak ingat dimana, tapi–" 

Jonathan kembali menurunkan tangannya kemudian mencengkram kerah baju pria itu. Bibirnya menipis dan gurat-gurat di lehernya nampak menonjol. Jelas sekali bahwa pria itu sangat marah dengan apa yang terjadi. 

"Bagaimana kau bisa seceroboh itu?! Bagaimana kalau–" Ucapan Jonathan terhenti ketika ia menyadari sesuatu. Perlahan tangannya mengendur lalu ia mendorong anak buah itu sedikit kasar. 

Jonathan berbalik. Tangannya menyentuh kenop pintu kemudian memutarnya. Ia terhenyak dengan mata membulat ketika pintu berhasil dibuka dengan mudah. Pintu itu tidak terkunci. Jonathan merangsek masuk. Pandangannya mengedar dan tak mendapati seorang pun di ruangan itu. 

"Kemana? Kemana dia? Kenapa ruangannya kosong?!" Jonathan menatap sang anak buah dengan marah. "Kau bilang dia masih ada di ruangan ini 'kan, lalu kemana dia? Kenapa tidak ada?!" 

"A-ampun, Tuan, se-sepertinya pemuda itulah yang telah mengambil kuncinya tanpa sepengetahuanku. Dia ... pasti kabur dari sini." Saat ini, yang bisa dilakukan pria itu hanya menunduk takut. Para atasannya selalu terlihat menakutkan jika sedang marah. 

Napas Jonathan terengah-engah. Kedua tangannya mengepal bersiap untuk meluapkan amarahnya. 

"Dasar payah!" 

Bugh! 

Anak buah Max tersungkur ke lantai saat pukulan keras dari Jonathan mengenai sudut bibirnya. Ia segera bangkit dan mengabaikan darah yang mulai menetes. 

"Bagaimana mungkin ini terjadi? Bukankah kau bilang, kau sudah memberinya pil?" Jonathan terdiam sejenak. Ia berbalik kemudian matanya memindai ke sekitar. Pandangannya berhenti pada sebuah benda kecil berwarna putih di sudut ruangan. Jonathan berjongkok kemudian meraihnya. 

"Tuan, itu adalah pil tidur yang tadi aku berikan padanya." 

Tangan Jonathan mengepal erat. Ia sudah kecolongan. 

"Dia tidak sebodoh yang aku kira." 

***

Jonathan tak berani untuk mengangkat kepalanya saat ini. Detak jantungnya akan berdebar dua kali lebih cepat ketika matanya bertubrukan dengan netra tajam Max. Sejak beberapa saat lalu, ia hanya membisu dengan tubuh kaku. 

"Apa kau akan tetap berdiam di sana sampai aku menghajarmu? Katakan, ada apa kau menemuiku tengah malam seperti ini?" ucap Max di kursi kebesarannya. Di samping kanan dan kirinya, ada si kembar Alvin dan Alvian yang bersikap siaga. 

Jonathan bergerak gelisah. Keringat dingin menetes di dahinya tanpa sadar. Ia meneguk liurnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa menyekat. 

"Maaf, Leader, tapi aku harus menyampaikan kabar buruk ini di tengah malam." Jonathan berusaha mati-matian untuk mengeluarkan suara. 

"Katakan, setelah itu aku akan punya alasan untuk menamparmu." 

Jonathan menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Tawanan kita, pria yang bernama Arshaka, dia–" 

"Leader!" Seorang anak buah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Wajahnya panik dan ia langsung bersimpuh di lantai. "Gadis yang kau minta untuk diletakkan di ruangan terpisah, dia berhasil melarikan diri, Leader." 

Brak! 

Max langsung bangun dari duduknya. Bisa dipastikan, mimik wajah yang semula datar berubah murka saat mendengar kabar dari anak buahnya. 

"Kenapa ini bisa terjadi?! Memang apa tugas kalian selama ini?!" bentak Max seperti sesuatu yang memacu detak jantung semua orang. 

"Maaf, Leader–"

"Leader, tawanan bernama Arshaka juga tidak ada di dalam ruangannya. Sepertinya mereka bekerja sama untuk melarikan diri dari sini." Jonathan menambahkan. Hal tersebut membuat api amarah dalam diri Max semakin berkobar. 

"Brengsek! Mereka berani bermain-main denganku?! Baiklah, aku ingin lihat sejauh mana mereka bisa lari." Max kembali beralih pada orang-orang di hadapannya. "Dan untuk kalian, cari mereka sampai dapat. Aku tidak mau mereka lolos dan menyeretku ke ranah hukum." 

"Baik, Leader," ucap mereka serempak. 

"Tunggu sampai mereka tertangkap, aku akan memberi pelajaran yang tidak pernah mereka lupakan seumur hidup mereka." 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tawanan Mafia   Chapter 41 : Hubungan Gelap

    Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita

  • Tawanan Mafia   Chapter 40 : Kejutan Besar

    Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter

  • Tawanan Mafia   Chapter 39 : Kedatangan Wanita Itu

    Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud

  • Tawanan Mafia   Chapter 38 : Max Sakit?

    Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang

  • Tawanan Mafia   Chapter 37 : Kembali Berdamai

    Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa

  • Tawanan Mafia   Chapter 36 : Melenyapkan'Dia'?

    "A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men

  • Tawanan Mafia   Chapter 35 : Kegilaan Max

    Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi

  • Tawanan Mafia   Chapter 34 : Nasi Goreng

    Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.

  • Tawanan Mafia   Chapter 33 : Serigala dan Tikus

    Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status