Bab 105“Tante tahu saja maksud saya?” jawab Dokter Kartika tanpa malu – malu.Iswati tertawa terbahak – bahak. Anak sekarang memang lebih berani daripada ia saat muda dulu. Akan tetapi, dia menyukai wanita muda itu yang memiliki masa depan cerah, profesinya Dokter, masih muda, cantik, single pula. Bukankah dia menantu idaman?“Tentu saja. Tante senang dengan keterus teranganmu dan akan mendukungmu 100 persen!” Iswati mengedipkan mata.“Terima kasih, Tante.” Dokter Kartika memeluk Iswati hangat. “Bagaimana kalau kita shopping setelah itu memanjakan diri ke Spa?”“Siapa takut. Tante sudah lama tidak ke Spa.”***Eril mengendarai mobilnya ke studio RTV dengan pikiran melayang. Syutingnya masih 4 jam lagi, dan dia memilih datang sangat awal. Sesampainya di parkiran RTV, ia berdiri di samping mobil, matanya seperti elang menyusuri tiap jengkal sudut mencari sesosok wanita yang amat dirindukannya.Tak jauh dari tempatnya berada, Ibu Hesti yang baru datang dari meeting melewati Eril. “Pak,
Bab 106 Eril menatap punggung Bu Hesti dengan kepala berdenyut. Omongan perempuan itu pedas dan ia bisa menangkap kesakitan luar biasa dalam nada suaranya. Bu Hesti berbeda dari mamanya. Mama yang mengandung dirinya, sering mencemoohnya. Sedangkan Bu Hesti tidak. Meskipun kata – katanya pedas, semua yang diucapkannya mengandung kebenaran. Ia lelaki, dirinya tidak boleh lemah hanya karena cinta. Dia harus bisa membuktikan pada Amina bahwa cinta yang diberikannya bukanlah pepesan kosong. Cintanya agung dan tulus. Sebuah kesadaran muncul. Eril menghembuskan napas ke udara. Kemudian pandangannya tertuju pada sebuah mobil sedan hitam. Seorang wanita turun dengan elegan. Mulut Eril ternganga, dan tanpa sadar mulutnya berteriak. “Amina…!” Amina menoleh, hatinya berdegup kencang. Kerinduan yang dipendamnya selama 3 hari mengulik hati. Perempuan itu mempercepat langkahnya. “Amina! Tunggu!” Eril mengejarnya. Dia lalu menarik lengan perempuan itu. Ia lalu memeluknya erat. “Aku kangen kamu.
Bab 107 Kecemasan Bik Susi sampai di ubun – ubun. Dia berusaha menelpon Amina. Tapi telponnya tidak aktif. Ah dia lupa, Amina saat ini sedang syuting, dan acaranya selesai jam 12 malam nanti. Tak mungkin dia bisa menghubunginya. Di tengah rasa bingungnya, Bik Susi menelpon Eril. Sama saja, telponnya sama – sama tidak aktif. “Duh Gusti, aku harus telepon siapa ini?” Ia berpikir keras. “Apakah aku harus ke RTV?” Tempatnya jauh sekali. Jaraknya kira – kira 2 jam dari tempatnya sekarang. Perempuan itu garuk – garuk kepalanya sendiri. “Sudahlah, aku kesana saja, daripada aku stress sendirian? Tapi bagaimana jika Ayang pulang ke rumah? Dia tidak bisa masuk.” Bik Susi semakin bingung memutuskan. Ia berjalan mondar – mandir di taman. *** Sore itu mendung tebal menggantung di langit. Kepala Ayang mendongak ke atas. “Ya Allah, jangan hujan. Ayang belum sampai di rumah.” Ia memijit kakinya yang letih. Ia tadi nekad pulang ke apartemen lamanya, dan ia sekarang kebingungan mencari jalan untuk
Bab 108 Hujan deras mengguyur, Bik Susi memutuskan untuk pergi menemui Amina. Siapa tahu Ayang mencari ibunya. Dia menempuh perjalanan 2 jam perjalanan itu sambil berlinang air mata. Ia takut sekali Amina menyalahkannya. Sesampainya di RTV, Amina memarkir mobilnya dan menemui satpam yang berjaga. “Pak, saya mau menemui Ibu Amina. Ini penting sekali.” “Gak bisa, Ibu Amina sedang syuting. Saya tidak bisa mengganggunya.” “Tapi Pak… tolong, anaknya Ibu Amina tidak ada di sekolah. Saya dari beberapa jam lalu mencarinya dan saya tidak bisa menghubungi Ibu Amina. Tolong, Pak, tolong!” Bik Susi mulai menangis. “Maksud kamu, Ayang diculik?” tanya satpam kaget. “Saya tidak tahu! Pokoknya saya mau bertemu Ibu Amina sekarang!” Bik Susi mulai kesal. “Apa Bapak tidak kasihan sama saya, saya naik motor 2 jam ke sini hujan – hujan?” “Baik… baik. Ayo ikuti saya,” ajak satpam itu. Pembicaraan antara Bik Susi dan satpam itu didengar oleh wartawan gossip. Lelaki itu mengikuti keduanya diam – diam
Bab 109 Melihat Fahri kesakitan. Ayang bertindak, dengan keberaniannya dia lantang berbicara. “Lepaskan kakakku, Om. Dia tidak menculikku. Kak Fahri membantuku.” Pelayan itu tidak percaya. “Kamu jangan percaya sama pengamen ini Dek. Biar Om bawa dia ke Polisi.” Mendengar nama Polisi, serta merta Ayang menggigit lengan pelayan itu.” “Aduh! Sialan! Sakit tahu!” Pelayan itu melepaskan tangannya ke Fahri. “Ayo Kak, lari!” kata Ayang kencang. Dia lari terlebih dahulu. Fahri mengikutinya. Hujan sudah berhenti lama, malam sudah mulai turun, cahaya bulan terpendar menerangi bumi. Napas Ayang dan Fahri ngos- ngosan. Mereka berhenti di depan sebuah toko mainan anak – anak. Anak lelaki itu tak menyangka Ayang larinya kencang sekali. Hampir kewalahan dia menyusulnya. “Ayang, apakah baik – baik saja?” tanya Fahri melihat Ayang terbatuk – batuk. Dia menempelkan punggung tangannya ke kening Ayang. “Kamu masih demam. Sebaiknya kamu kuantar pulang. Aku tadi melihat ibumu pingsan di televisi.”
Bab 110 “Apakah anak saya tidak apa – apa, Dokter?” tanya Amina cemas seraya memeluk anaknya cemas. “Amina hanya terkena virus. Semoga besok panasnya turun,” ucap Dokter Kamil. Hati perempuan itu lega, dia menciumi wajah Ayang yang pucat. Suhu badannya masih tinggi. “Papa… Papa… Ayang kangen Papa.” Ayang mengingau. Amina tercekat. Mungkinkah dia ke Setia Budi untuk bertemu Eril? Mungkinkah anaknya rindu dengan pemuda itu? Eril yang mendengar suara Ayang merespon. “Papa di sini sayang.” Dia mengecup kening Ayang dengan sayang. Anak kecil itu melenguh. “Papa… Papa…” Eril meminta Amina turun dari ranjang. Dia lalu memeluk Ayang. “Papa di sini bersama, Ayang.” Ayang bangun sebentar, dia lalu tersenyum saat menyadari Eril bersamanya. Dia lalu meringkuk manja di pelukan Eril. Amina dan Bik Susi menyentuh dadanya. Mereka lega Ayang telah ditemukan dan bertemu dengan Eril. “Bu, pengamen dan Mas Ojol yang mengantarkan Ayang ke rumah sakit, masih di depan. Apa Ibu mau menemuinya,” u
Bab 111 Amina dan Eril terperanjat dengan kehadiran Iswati dan Dokter Kartika di ruangan Ayang. Eril reflek mendekati mamanya dan membawanya keluar kamar. Amina mengikutinya. “Amina, kamu menggunakan pelet apa, sehingga anakku bertekuk lutut kepadamu?” tuduh Iswati kejam. Matanya dibakar api kemarahan yang sebentar lagi siap meledak. Amina berusaha sabar, mengingat mereka berada di rumah sakit. Dia tidak mau menimbulkan keributan dan membangunkan Ayang. Wanita itu menarik napas panjang. Dia kemudian melihat Dokter Kartika yang menatapnya dingin, seperti orang asing yang baru mengenal Amina. Ada rasa aneh dan dingin merambat di dada perempuan itu dengan perubahan sikap Dokter Kartika yang di luar kebiasaan. Kenapa dia tiba- tiba berubah? “Mama apa – apaan sih. Ini bukan settingan. Ayang ke Setia Budi mencariku. Dia kangen aku. Ingat Ma, jangan menuduh macam- macam. Amina tidak memeletku, aku yang mengejarnya.” Eril berusaha menjelaskan dengan suara pelan. Iswati tak terima penjela
Bab 112"Aku mencintaimu dari dulu, Ril." Suara Dokter Kartika perlahan melamban. Kemudian disusul isak tangisnya yang terdengar pilu.Eril menggigit bibir bawahnya. "Terima kasih dengan keterus teranganmu, Dok. Sayangnya cintaku hanya untuk Amina. Aku tidak peduli meski tanpa restu Mama. Aku akan tetap mengejar Amina.""Apa kekuranganku Ril? Tidakkah kamu punya rasa sedikit saja untukku?" Dokter Kartika mulai menuntut.Pemuda itu menggelang pelan . "Dokter Kartika wanita hebat, sayangnya hatiku telah tertambat pada Amina."Dokter Kartika memegang tangan Eril. "Ril, ini mungkin terdengar gila bagimu, aku rela menjadi selingkuhanmu. Asal kamu mau memberikan sedikit saja hatimu untukku. Aku tidak menuntut apa - apa," ujarnya memohon.Dia mengabaikan rasa malu sebagai wanita. Cinta membuatnya lupa karena dia sangat memuja pemuda di sampingnya itu. Ia tak mau kehilangan kesempatan."Jangan bodoh, Dokter! Jangan sia - siakan waktumu untuk mencintai orang yang tidak mencintaimu. Aku juga ti