Bab 161“Kamu tahu dari mana Nak?” tanya Amina dengan ekspresi terkejut, bagaimana anak kecil itu tahu.“Dari You tube.” Fahri mencari Chanel RTV lalu memberikannya pada Amina. Irvan, salah satu host di RTV telah mengumumkan bahwa dirinya, Ayang dan Fahri tidak lagi ada di program acara Asyik Bersama Amina.Amina memejamkan matanya. Meski ia sudah menebak, hatinya tetap sakit. Bu Hesti telah melakukan ancamannya. Beberapa menit, perempuan itu memejamkan mata. Dikuatkan hatinya untuk tidak menangis.Ibarat pepatah, dirinya jatuh dan tertimpa tangga. Hidupnya saat ini benar- benar berantakan. Amina mengurai masalahnya satu persatu.Mula – mula Eril pergi dengan membawa semua uangnya, kemudian bapaknya punya hutang ratusan juta pada Jazuli. Bu Hesti merayu, setelah itu rumahnya dirampok Bapak, sekarang Bu Hesti memecatnya.“Ya Allah Ya Rab. Indah sekali rencanaMU. Tolong beri hamba kekuatanmu untuk melewati masalah ini,” gumam Amina perlahan.“Ibu, apakah kita akan pindah rumah lagi?” se
Bab 162 Amina memalingkan mukanya menghadap ke jendela, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di wajahnya. Berjuta kali ia berharap, berjuta kali pula harapannya runtuh. Masalah yang membelitnya makin lama makin erat memelintir hingga membuatnya susah bernapas. “Kamu jangan begitu. Aku dan Bik Susi akan tetap bersamamu, apapun yang terjadi,” tukas Reynard. “Ini sebagai tanggung jawabku karena membiarkan Eril pergi. Andai aku tahu masalahnya. Aku akan mengikat kaki Eril.” Ia mengumpat pelan. “Terima kasih Rey, tapi kamu jangan berspekulasi. Kamu dan Bik Susi butuh uang untuk hidup. Aku tidak mau kalian berdua terpuruk demi aku. Percayalah, aku bisa mengatasi masalah ini.” Amina berkata dengan tegar dan mata berkaca – kaca. “Semakin keras kamu menolak, semakin kuat aku mau membantumu.” Lelaki itu memperhatikan Amina. “Saya juga seperti Mas Rey. Saya mau membantu Ibu,” potong Bik Susi. “Apapun yang terjadi, kita tetap bersama.” Bik Susi memegang lengan Amina. Air mata Amina
Bab 163“Saya tahu dari Bude Surti. Tadi dia WhatsApp saya,” lanjut Bik Susi.Amina terperangah. Bodoh sekali dia, kenapa dia tidak ingat pada Bude Surti. Sontak, dia mengambil telepon dan menghubungi tetangga dekatnya itu. Lama ia berbincang, setelah selesai ia kembali menemui Bik Susi yang selesai berkemas.“Kurang ajar dia. Seenak udelnya mengambil milik orang. Informasi tentang Asih dan Bapak serta kedua preman yang membantunya sudah saya teruskan ke Reynard supaya dia memberikan informasi tersebut ke pihak Polisi.” Amina tegang sekali. “Setelah ini, Bibidan anak - anak bisa langsung ke kontrakan, nanti saya menyusul. Saya masih ada urusan di RTV.”Bik Susi menolak. “Saya mau ikut Ibu saja. Kita sama – sama ke kontrakan.” Ia ngeri jika harus datang bersama anak – anak tanpa Amina.“Baiklah, terserah Bibi.”Dengan memesan taksi, Amina bersama Bik Susi datang ke RTV. Saat wartawan melihatnya datang, mereka langsung sigap mewancarai Amina. Perempuan itu tak bisa mengelak lagi.“Mba A
Bab 164 “Polisi menangkap Asih dan salah seorang teman prianya di Bandara. Mereka akan terbang ke Thailand, setelah menjual semua barang – barangmu. Sedangkan jenazah bapakmu ada di RSCM.” Amina tercekat. “Jadi, maksudmu Asih memiliki pria lain?” tanyanya terbata – bata. “Iya, salah satu preman yang memukul Bik Susi adalah pacar Asih. Menurut informasi dari kepolisian, dia hanya mengincar harta kamu. Asih mengajak bapakmu pindah ke Jakarta, setelah dia menjual rumahmu di kampung.” “Ya Allah…” Amina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis sesenggukan mendengar rumah masa kecilnya dijual Asih. “Sabar Amina, semua milik Allah,” kata Bu Anom mengelus pundak Amina. “Makasih Bu. Saya mau mengurus jenazah Bapak dulu,” jawab Amina dengan terbata – bata. “Amina, kalau boleh usul, daripada jenazah dibawa pulang ke kampung. Lebih baik dimakamkan di Jakarta saja. Biayanya lebih murah. Toh semua tanah ini milik Allah,” ucap Abah Anom. “Nanti saya bantu pengurusannya.” Amina mem
Bab 165Amina mencibir. “Dasar perempuan tidak punya malu! Enak sekali kamu meminta dibebaskan. Apa kamu sadar perbuatanmu telah merugikan orang lain. Apa kamu sadar ibu dan bapakku meninggal gara – gara kamu!” desisnya geram. Dia mencengkeram terali besi dengan kuat.“Aku punya bukti – buktinya. Semua ada di chat WhatsAppku.”“Mana buktinya?” tantang Amina dingin. Matanya tajam menatap Asih.Asih jengah dengan tatapan dingin Amina. “Nih… baca saja sendiri.” Ia mengulurkan ponselnya.Amina mengambilnya, tapi Asih mulai ragu, ia kembali memegang ponselnya kuat. Kemudian menaruhnya di saku celana. “Apa setelah ini aku bisa bebas?” tanyanya kaku.“Mana aku tahu.” Amina memperhatikan Asih.Asih terdiam, dia kesal karena hidungnya sekarang bengkok. “Aku tidak bersalah. Bapakmu yang mencintai aku dan sekarang kamu harus bertanggung jawab memperbaiki hidungku ini!!”Terdengar tawa dari penghuni lain di sel itu. “Huuuu… mau cantik kok ngerampok. Modal dong. Patahin aja sekalian hidungnya teru
Bab 166 Amina memandang perempuan berpayung itu dengan tatapan datar. “Silahkah duduk,” katanya mempersilahkan sembari mengeringkan dudukan kursi yang basah oleh air percikan air hujan dengan sebuah serbet. Amel gusar dengan sikap Amina yang dingin. “Huh! Sudah miskin, masih sok jaga image,” ucapnya dongkol. Ia duduk sambil mengawasi Amina. Amina tersenyum tipis. “Terus maumu apa? Apa aku harus menyembahmu?” Ia tidak memusingkan perkataan buruk Amel, malah ia mengambilkan sepiring nasi pecel untuknya. Kemudian memberikannya pada Amel. “Kumohon, makanlah dulu, biar tidak masuk angin, walaupun aku tidak tahu kamu suka nasi pecel apa tidak.” Amel melirik sepiring nasi yang disodorkan Amina. Nasi pecelnya dilengkapi dengan lauk ayam goreng, tempe, tahu dan rempeyek teri. Sayurnya ada kacang panjang, bayam dan taoge, kemudian diatasnya diguyur dengan sambal pecel. Wangi sambal pecelnya mengulik indra penciuman artis cantik itu. Sedap sekali! Tak sengaja ia menelan air liur. “Baiklah,
Bab 167 Reynard datang ke apartemen Eril atas undangan Iswati. Ia tidak tahu menahu alasan apa yang membuat perempuan setengah baya itu mengundangnya. “Sore Tante,” sapanya ramah. “Ayo masuk, ada Nenek Eril di dalam.” Iswati membukakan pintu untuk Reynard dan mempersilahkan dia duduk. Reynard memilih duduk di sofa. Sejenak ia memandangi apartemen Eril yang nyaman. “Kamu mau minum apa? Panas apa dingin?” tanya Iswati ramah. “Apa aja boleh, Tan,” sahut Reynard. Pemuda itu melihat Nenek Maisaroh keluar dari salah satu kamar. Orang tua itu lebih kurus dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Dia menyalami perempuan itu. “Apa kabar Nek?” sapanya. Seketika mata Maisaroh berkaca – kaca. “Apa kamu mendapat telepon dari Eril?” tanyanya langsung. Reynard menggeleng. “Dia juga tidak menelpon Nenek.” Mata Maisaroh terlihat sendu. Beberapa kali dia menghela napas panjang. “Nenek dan mamanya Eril bingung. Nenek sampai pergi ke Jakarta karena tidak tahan dengan hujatan tetangga yang bilang kala
Bab 168“S-siapa k-kamu?” tanya Iswati cemas. Bayang – bayang masalah Dokter Kartika menghantuinya.“Perkenalkan saya Adrien, dan ini Jasmine. Saya teman Eril.” Adrien mengulurkan tangan ke arah Iswati. Akan tetapi Iswati telah pingsan. “Tante…” teriaknya.Melihat Iswati pingsan, Reynard dan Maisaroh kaget. Keduanya berlari mendekati Iswati. Reynard buru – buru memindahkan tubuh Iswati ke kamarnya. Maisaroh mengikutinya dan mengabaikan keberadaan Adrien yang masih berdiri di depan pintu.“Aunty, kenapa wanita itu pingsan?” tanya Jasmine.“Aunty juga tidak tahu. Mungkin dia kaget dengan kedatangan kita.”“Apakah kita mau pulang sekarang?”“Tidak, Aunty mau bertemu dengan keluarga Eril. Apakah Jasmine capek?” Adrien menatap wajah keponakannya yang tampak lelah.“Sedikit. Aunty hanya kangen dengan Om Eril. Kenapa Aunty tidak mengajaknya?” Jasmine memainkan rambutnya yang ikal.“Aunty mau memberikan surprised untuknya.” Adrien melongok ke dalam rumah. “Halo, permisi…” katanya menarik perh