LOGIN"Jika suamimu tak berguna, ganti dia." – Kavian Dhirendra Warning 21++ Isla tak pernah tertarik pada cinta sampai kehadiran dan sentuhan kakak iparnya, membuat Isla tak berdaya. Satu tatapan, satu sentuhan, dan desah tak sengaja terlepas dari bibirnya. Hasrat yang seharusnya terlarang kini membakar hatinya, memaksa Isla menyerah pada gelora asmara yang menderanya. Akankah ia menahan godaan, atau jatuh ke dalam perasaan yang tak seharusnya ada?
View MorePernikahan itu seharusnya menjadi hal terindah dalam hidup seorang perempuan. Gaun putih, janji setia, tatapan penuh cinta. Tapi untuk Islani Radneswari, semua itu cuma dekorasi kosong.
Di balik senyum tipis yang ia paksa, jantungnya berdebar tak menentu. Bukan karena bahagia, tapi karena lelaki yang secara sah menjadi suaminya, anak bungsu dari keluarga Dhirendra, Kilan Dhirendra hanyalah suami di atas kertasnya.
“Jangan berharap lebih, Isla. Kita bakal jalani kehidupan pernikahan ini... tapi terbuka. Kamu sendiri tahu aku gak bisa cukup dengan satu wanita dan aku juga gak pernah berpikir untuk setia”
Kata-kata itu jatuh dengan santainya di malam pertama mereka, di antara wangi bunga melati dan kue pengantin yang belum sempat mengering di meja.
Dan sejak malam itu, semua yang seharusnya manis jadi pahit.
Semua yang seharusnya hangat berubah dingin.
*** ***
Selama tiga tahun, interaksi Isla dan Kilan hanya terjadi beberapa kali. Pertama, saat pernikahan terjadi. Kedua, saat Isla membutuhkan tanda tangan Kilan untuk beberapa berkas penting. Dan ketiga, adalah setiap tanggal wedding anniversary mereka.
Tepat tanggal 10 Oktober adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Restoran di lantai atas hotel Dhirendra yang berada di Kuala Lumpur tampak indah dengan kelap-kelip lampu kota. Musik jazz mengalun pelan, dan bunga lili putih memenuhi meja mereka.
Bagi siapa pun yang melihat, pasangan itu tampak sempurna. Suami kaya, istri anggun, dan pesta makan malam kecil untuk memperingati tiga tahun pernikahan mereka.
Tapi bagi Islani, itu hanyalah pertunjukan tahunan.
Pertunjukan yang mereka lakukan agar posisi Kilan tetap aman. Pertunjukan agar nama keluarga Dhirendra tidak tercoreng oleh kabar bahwa putra bungsunya adalah seorang pemain wanita dan pertunjukan agar Kilan Dhirendra dapat kembali pada keluarganya.
“Maaf terlambat” ucap Isla pelan, berusaha terdengar ringan. Ia tiba di restoran itu pukul 8.10. Terlambat sepuluh menit dari waktu yang mereka janjikan.
Perlahan, Ia menarik kursi untuk duduk, tasnya Ia letakkan di atas meja, sementara punggungnya tegak dan senyum sopan. Matanya menatap lilin yang bergetar oleh angin pendingin ruangan. Sementara pria di depannya nampak sibuk menatap layar ponselnya, sesekali tersenyum. Senyum kesenangan dari pesan-pesan yang Ia dapatkan.
“Kilan?” Panggil Isla
Kilan mengangkat kepala sekilas. Ia menatap Isla dengan tatapan tak suka "Ckkk menganggu” Decak Kilan ketus.
Islani hanya tersenyum samar. “Apa aku nggak perlu datang malam ini kalau kamu anggap mengganggu?” Nada suaranya lembut, tapi cukup menusuk.
Kilan terkekeh, meletakan ponselnya dan meraih gelas anggur merahnya. “Nggak dong. Kamu perlu datang. Setidaknya agar orang-orang melihat kalau kita masih menikah. Lagipula, papa sudah berjanji akan menerimaku lagi di keluarga Dhirendra jika aku tetap bersamamu selama tiga tahun”
“Oh.. apa artinya setelah ini kamu akan menceraikanku?” Tanya Isla santai
Dia sudah tak kaget lagi dengan kalimat seperti itu. Selama tiga tahun, Kilan selalu berbicara dengan nada yang sama, seolah pernikahan mereka hanya kesepakatan bisnis, bukan ikatan dua manusia.
Kilan bersandar santai di kursinya, memainkan gelas anggurnya dengan jari panjang yang dulu pernah membuat Isla berdebar... dulu, sebelum ia tahu seberapa murah hati di baliknya. betapa buruk perangainya dan seberapa bejat kelakuan sang putra bungsu yang terbiasa dimanja.
“Kita lihat nanti,” ucapnya ringan, nyaris seperti bercanda. “Tiga tahun cukup lama buat orang sepertimu, kan? Kamu dapat status, nama keluarga Dhirendra, dan hidup nyaman. Aku juga dapat apa yang aku mau. Win–win.”
“Bukannya kepercayaan papa sudah kamu dapatkan?”
Kilan menggeleng “Kepercayaan papa ada padamu. Jika kita berpisah, aku akan diasingkan lagi” ucapnya nampak menimbang.
Isla terkekeh pelan, kekehan hambar tanpa perasaan “Itu karena kamu terus mengandalkanku dan memanfaatkanku sebagai tameng.” ucapnya pelan, matanya masih menatap lilin yang nyaris padam. “Kalau bukan aku, mungkin cabang Dhirendra di Malaysia sudah tutup sejak tahun pertama, benar, kan?”
Kilan mendongak, alisnya terangkat. “Kamu menyalahkanku lagi?” Nada suaranya rendah, tapi mengandung ejekan yang khas, seperti pria yang tahu ia salah, tapi terlalu sombong untuk mengakuinya.
Islani mengangkat bahu. “Aku hanya menyebut fakta. Papamu mungkin mengira kita bekerja bersama di sini. Padahal kenyataannya, aku bekerja sendirian… sementara kamu sibuk memastikan semua kekasihmu di Jakarta tidak merasa ditinggalkan.”
Kilan terkekeh pendek. “Kamu mulai tajam sekarang.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya turun setengah oktaf. “Cemburu?”
Islani menatap Kilan. Tatapan teduh, tapi dingin.
“Cemburu pada siapa? Pada wanita-wanita yang jadi selinganmu? Aku bahkan nggak tahu siapa nama mereka semua. Mungkin kamu bisa buatkan daftar, biar aku hafal satu-satu. Anggap saja hitung-hitungan warisan jika suatu saat kamu meninggal lebih dulu”
Brak!
“Mulutmu!” bentak Kilan, tangannya menghantam meja dengan keras hingga gelas anggur di dekatnya bergetar, menumpahkan beberapa tetes merah di taplak putih.
Beberapa tamu di meja seberang menoleh kaget, tapi segera pura-pura tak mendengar. Mereka tahu siapa Kilan Dhirendra, nama besar yang tak seorang pun ingin ganggu urusannya.
Isla tetap diam. Tidak bergerak, tidak gentar. Ia hanya menatap suaminya dengan tatapan tenang yang justru membuat Kilan semakin gelisah.
“Sudah tiga tahun, Kilan,” ucap Isla pelan. “Aku tidak bisa terus menjadi pionmu”
Kilan terdiam sejenak. Perlahan, ia bersandar kembali di kursinya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum. Senyum yang bukan menenangkan, melainkan merendahkan.
“Andai saja kamu setuju dengan tawaranku, mungkin kamu tidak akan menjadi pion” katanya dengan nada pelan namun menyengat. “Andai kamu sedikit lebih manis, lebih penurut dan menerima pernikahan terbuka, mungkin aku akan berpikir dua kali sebelum mencari pelampiasan di luar.”
Isla terkekeh lirih, tapi matanya menatap kosong. “Jika aku menjadi istrimu seperti yang kamu mau, apa kamu akan berhenti bermain perempuan?” Tanyanya
Kilan menatapnya lama, senyum miringnya semakin jelas.
“Masalahnya aku tak puas hanya dengan satu perempuan Isla.. aku mudah bosan, terlebih denganmu” Jawaban yang sudah pasti bukan keinginan para perempuan namun dambaan para lelaki
Isla mengangguk pelan “Kalau begitu keputusanku untuk berhenti peduli padamu sudah benar,” ucap Isla tenang. Tidak ada amarah dalam suaranya, hanya kelelahan. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama memadamkan api dalam dirinya agar tak lagi terbakar.
“Berhenti peduli?” ulangnya pelan, mencondongkan tubuh. “Kamu bicara seolah bisa lepas dariku, Isla. Padahal semua yang kamu miliki di sini, rumah, nama, jabatan, bahkan kejayaan yang didapatkan perusahaan Radneswari sekarang, semuanya ada karena aku!!”
“Ya terima kasih untuk itu” Jawab Isla cepat
Kilan mematung, seolah tak percaya dengan ketenangan yang baru saja ia dengar.
Isla melanjutkan, menatapnya lurus. “Terima kasih karena Dhirendra sudah menolong perusahaan Radneswari saat terancam bangkrut dan terima kasih juga karena sudah menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Setidaknya aku tidak perlu lagi membohongi diriku setiap hari.”
“Kamu bicara seolah dirimu korban” balas Kilan sinis. “Padahal kamu juga menikmati semua ini! Rumah megah, mobil mewah, dan nama Dhirendra di belakang namamu, kau pikir semua itu datang tanpa harga?”
Isla tersenyum tipis, tapi sorot matanya dingin. “Kilan... sebelum menikah denganmu, aku juga anak orang kaya,” ucapnya pelan namun tegas. “Dan jika pun saat itu kamu menolak pernikahan ini, papamu sendiri yang akan menendangmu keluar dari keluarga Dhirendra. Kamu tahu itu lebih baik daripada siapa pun.”
Kilan terdiam. Untuk sesaat, wajah angkuhnya kehilangan warna. Isla jarang berbicara sejelas itu padanya. Wanita itu cenderung menahan dan selalu menjaga wibawa pernikahan mereka. Tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu dalam cara Isla bicara yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
“Jadi jangan pernah berpikir kamu telah menyelamatkanku” Isla menghela napas, matanya menatap lurus ke wajah pria di depannya “Kamu bukan penyelamat, Kilan. Kamu hanya bagian dari kesepakatan kotor dua keluarga yang tidak pernah peduli pada apa yang kita rasakan.”
“Jaga bicaramu, Isla,” desisnya rendah. “Kamu tidak tahu apa yang—”
“Tahu” potong Isla cepat. “Aku tahu semuanya.”
Kilan terhenti. Isla menatapnya tanpa gentar. “Aku tahu kenapa kamu dikirim ke Malaysia, kenapa kamu menuruti perintah Papamu untuk menikah denganku. Karena kamu gagal di cabang Jakarta. Karena kamu membuat kekacauan di proyek Singapura. Dan karena satu-satunya cara agar nama Dhirendra tidak hancur adalah dengan menyingkirkanmu dari pusat perusahaan.”
Kilan mengepalkan tangannya. Napasnya memburu.
“Berhenti bicara, Isla—”
“Terlambat” sahut Isla lembut, seolah bukan sedang menyerang, melainkan mengucapkan kalimat terakhir sebelum berpisah. “Papa bilang kita boleh kembali ke Jakarta besok.”
Kilan mendongak cepat. “A-apa?!” suaranya tercekat. Matanya membola, seolah baru saja mendengar sesuatu yang tak masuk akal.
“Hukumanmu” ucap Isla pelan, menatapnya lurus. “Sudah dicabut.”
Untuk beberapa detik, dunia di sekitar mereka seolah berhenti berputar. Kilan mematung, seakan pikirannya berusaha mencerna kalimat itu. Ia tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar hambar dan penuh tekanan.
“Kamu bercanda, kan?”
Isla menggeleng. “Papamu menelpon sore tadi. Katanya, proyek Malaysia sudah stabil. Aku sudah melakukan bagianku dengan baik. Sekarang, waktunya kita kembali... memperbaiki namamu di pusat.”
Kilan menatapnya dengan pandangan campur aduk. “Jadi selama ini kamu... bekerja untuk Papaku?” tanyanya dengan nada rendah, hampir seperti geraman.
Isla tersenyum tipis. “Tidak, Kilan. Aku bekerja untuk menyelamatkan perusahaan yang kamu rusak.”
Kilan terdiam. Hening menggantung di antara mereka, tebal, berat, dan mematikan.
“Hallo, kita ketemu lagi”Isla menatap lelaki di depannya dengan ekspresi heran, alis terangkat tinggi.“…kita?” ulangnya pelan, masih mencoba menghubungkan wajah pemuda itu dengan memori yang tak kunjung muncul.Kai, lelaki muda yang masih tersenyum seakan ini skenario yang ia tunggu langsung mengangguk santai.“Tadi pagi. Kita hampir bikin drama kecelakaan” ujarnya sambil menunjuk ke arah luar kafe.Isla spontan melirik ke jendela kaca besar di samping mereka.Benar saja, mobilnya dan sebuah mobil sedan hitam Kai sama-sama terparkir di sana.“Oh…”Ia mendapati suaranya sendiri terdengar bodoh.“Pantas saja wajahmu agak familiar” gumam IslaKai tampak jelas menahan tawa melihat kepolosan kebingungannya.“Aku pikir kamu akan langsung ingat” sambung Kai. “ternyata kamu langsung lupa”Isla membuka mulut ingin menjawab, tapi berhenti saat merasakan hawa aneh menyelimuti tengkuknya.Seseorang… memperhatikannya.Insting Isla otomatis membuatnya menoleh dan jantungnya seakan berhenti.Di su
Isla mengemudikan mobilnya dengan satu tangan di setir dan satu lagi menopang dagu, bibirnya terangkat menjadi senyum paling puas yang pernah ia tunjukkan dalam beberapa minggu terakhir.Jalanan pagi masih ramai, tapi Isla melaju santai, seolah dunia sedang memainkan musik latar khusus untuk kemenangannya.Ia menyalakan lagu, volume dibuat cukup keras sampai bass-nya bergetar ringan di jok mobil.Dan ketika lirik pertama mengalun…Isla tertawa kecil.“Aku akan membiarkan Kilan selalu ada untukmu…” Ia mengulang kata-katanya sendiri dari meja makan tadi dengan nada mengejek. “Tentu saja. Itu kalau dia berani.”Tangannya menepuk-nepuk kemudi mengikuti irama.Bagaimana tidak senang? Ferania benar-benar mengira Isla sedang menyerah.Padahal…“Kunci rantai ada di aku, bodoh” gumam Isla sambil tersenyum sinis.Ia bisa membayangkan wajah Ferania yang memerah karena malu, juga tatapan Kilan yang kosong seperti boneka rusak.Sempurna.Namun ada satu hal lain yang mengusik pikirannya sesaat.Tat
Keesokan paginya, ruang sarapan keluarga Dhirendra agak berbeda dari hari biasanya.Semua itu karena kehadiran Ferania yang ceria.Ceria bukan dalam arti yang menyenangkan, tetapi berisik.Wanita yang kemarin sudah resmi menjadi istri kedua Kilan itu duduk di meja makan dengan santainya. Dia masih mengenakan gaun tidur sutra yang sedikit terlalu mencolok untuk suasana sarapan formal keluarga DhirendraFerania berusaha keras mengisi keheningan dengan cerita-cerita tentang dirinya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berlebihan tentang sejarah keluarga, dan sesekali memanggil Kilan dengan sebutan 'Sayang' dengan volume yang tidak perlu.Sedang Kilan duduk di seberang meja, terlihat seperti mayat hidup. Dia menghindari kontak mata dengan siapa pun dan hanya menyeruput kopinya dengan cepat.Kehadiran Ferania, yang secara resmi adalah istrinya yang baru, di meja sarapan ini terasa seperti duri di tenggorokannya, apalagi setelah malamnya ia habiskan sendirian di sayap timur.Sarai sendiri terl
“Ckkk... sialan!” Maki KilanKilan turun ke lantai bawah dengan langkah tergesa-gesa. Ia tidak jadi mengambil kunci mobilnya. Ia malah beranjak menuju kamar Isla.Sayangnya, begitu pintu kamar Isla terkunci saat dia mencoba membukanya. Saat Kilan mencoba untuk mengetuk pun tetap tak ada jawaban“Isla! Sudah tidur?” Panggil KilanSemenit tak ada respon, Kilan meraih ponselnya dari saku dan menekan nomor Isla, tetapi sang Istri juga tidak mengangkat.“Angkat, Isla! Sial!” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir di depan kamar IslaSementara di dalam kamar, Isla tidak bisa bergerak karena pelukan Kavian yang sangat erat. Sejak tadi, sang kakak ipar membisikkan kata-kata mesra di telinganya“kak.. lepas dulu, Kilan ada di depan” ucap IslaKavian tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Bibirnya menyentuh pucuk telinga Isla, senyumnya terdengar dalam bisikan rendah yang menggetarkan punggung Isla.“Memangnya kenapa kalau ada Kilan?” Tanyanya santaiIsla terkekeh pelan “Nggak takut ketahuan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews