Bab 70“Amina, kamu jaga rumah dan Ayang! Biar aku yang mencari Ibu.” Eril bergegas ke luar menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.Amina mengejarnya. “Aku ikut!” teriak Amina.“Tidak! Kamu sebaiknya tetap di rumah.”“Iya Amina. Ajeng juga panasnya tinggi. Bude takut terjadi sesuatu dengannya,” sela Bude Surti panik.Amina bingung. Dia tidak tahu mana yang harus ia dahulukan. “Cepatlah pergi Ril! Tolong cari ibuku,” pintanya dengan suara serak.Namun, Eril terpaku saat menyadari ada yang salah dengan mobilnya. “Sial! Ada yang berbuat jahil. Lihatlah semua ban mobilnya kempes.” Dia menendang ban mobilnya dengan marah.Amina terhenyak. “Astaghfirullah! Siapa yang melakukannya Ril?” tangisnya pecah. Ia sangat frustrasi dengan keadaan yang dihadapinya.Bude Surti memegang dadanya. “Sabar Amina, sabar!” Dia menepuk pundak gadis itu.Eril memandang jalanan yang gelap. Ia berpikir keras. Tidak ada sepeda motor yang bisa ia bawa. Sepeda motor punya Bapak masih dibawa Bapak ke Kantor
Bab 71Pur cepat menghentikan motornya dan mendekati Ibu Amina. Mesin motor, tetap ia nyalakan sebagai penerang.“Mas Pur, hati – hati,” kata Eril pelan. Dia khawatir Ibu Amina yang memegang arit di tangannya. Walaupun ia tahu lelaki itu bisa silat.“Tenang Mas, saya bisa atasi ini.”Penampilan perempuan tua di depannya itu benar - benar berantakan. Rambutnya yang biasa ia gelung dibiarkan terurai dan awut - awutan.Jika saja lelaki itu tidak mengenalnya, ia bakalan lari tunggang - langgang melihat wanita berjalan malam - malam sendirian di tengah sawah."Bude, mau ke mana?" tanya Pur. "Biar saya anterin."Ibu Amina, terkejut melihat kedatangan Pur dan Eril. "Gak, kamu pulang saja. Bude mau bunuh orang!" Mata Ibu Amina menyala merah."Istighfar Bude. Siapa yang mau Bude bunuh? Ayo kita pulang. Mba Amina, Mba Ajeng, dan Ayang menunggu Bude. Pakde juga tadi telpon bingung nyari Bude." Pur memegang tangan kanan Ibu Amina yang memegang arit.Tangan perempuan itu kaku dan tak mau melepaska
Bab 72Sebelum orang lain sadar apa yang dilakukan ibunya, Amina secepat kilat menghambur keluar rumah dan menyambar kain untuk menutupi tubuh sang ibu yang telanjang.Namun, sebelum mencapai sang ibu, kaki Amina terantuk batu, kakinya terkilir dan membuatnya terjatuh terjerembab di atas lumpur. Muka dan sebagian tubuh bagian depan kotor.“Amina!” kata Eril. Dia buru – buru membantu gadis itu berdiri.Amina bangun. “Ibu!” kata Amina sambil menangis dan berjalan tertatih – tatih.Ibu menoleh. Dia tertawa melihat wajah Amina yang belepotan lumpur. “Kamu malam – malam kok malah main lumpur, Nduk. Sana main sama kakakmu di dalam. Bangunkan dia Nduk.”“Oalah, kasihan Bude, dia jadi gila mengetahui anaknya meninggal,” celetuk salah satu pelayat. Tanpa berusaha membantu. Mereka malah asyik menonton aksi Ibu Amina seperti sebuah pertunjukan.Tangis Amina makin deras mengalir mendengarnya. “Pake baju dulu ya Bu, malu dilihat orang.” Amina melilitkan kain menutupi badan ibunya.“Ora! Ibu sumuk.
Bab 73"Maaf sayang, aku tak menemukan ibumu," kata Eril lunglai. Ia keliling desa selama dua jam tapi pencariannya nihil.Amina kasihan melihat Eril yang tampak sangat kelelahan dan kedinginan."Masuklah dan bersihkan dirimu, aku mau buatkan kamu minuman hangat," ucap Amina sabar. Dia kemudian mengambilkan handuk dan baju kering untuk Eril, lalu membuatkan teh hangat."Bapak mana?" tanya Eril melihat rumah Amina sepi dan sedikit menakutkan karena masih ada jenazah Ajeng."Kondisi Bapak drop Ril, dia dibawa ke rumah sakit sama Pakde Sule dan istrinya," jawab Amina serak sambil menyodorkan segelas teh hangat untuknya.Reflek, lelaki itu memeluk Amina. Dia tidak berkata apa - apa selain memeluk tubuh wanita itu erat.Merasa dilindungi Amina menangis tersedu. "Aku takut Ril, aku takut Kak Ajeng membawa Bapak dan Ibu," isaknya tertahan.Berada di pelukan Eril membuat hati Amina nyaman, kehangatan menjalar di hatinya."Tenanglah sayang, kita berdoa semoga Bapak dan Ibu tidak apa - apa," bi
Bab 74Amina mendesah panjang, mungkinkah orang - orang lupa kalau ada jenazah yang harus mereka urus segera."Aneh, sepertinya ada yang tak beres ini," desah Eril. Ia mengerti kegalauan Amina."Mandikan dulu Ayang, biar aku coba cari tahu kenapa orang - orang belum datang ke sini," kata Eril menatap iba pada Amina.Perempuan yang dicintainya itu tampak layu, lingkaran hitam menghiasi wajahnya.Lelaki itu makin salut dengan Amina. Dia masih tenang, meski tengah menghadapi tsunami kehidupan yang memporak - porandakan rasa nyamannya."Bagaimana caranya Ril?""Aku mau ke rumah Pak RT." Tanpa menunggu persetujuan Amina, Eril bergegas mengambil kunci motor Bapak.Baru saja hendak melangkah. Dia mendengar suara Mas. Pur dan Kang Parman di luar."Assalamualaikum...'"Waalaikum salam, mari masuk Mas," ucap Eril senang menyilakan kedua orang itu masuk.Kang Parman dan Mas Pur masuk dan duduk di atas karpet yang telah digelar di ruang tamu."Ada berita gawat ini Mas, Mba Amina mana? Kasihan di
Bab 75Atas kesepakatan Amina, jenazah Kak Ajeng dibawa ke rumah sakit di mana Bapak di rawat.Sesampainya di rumah sakit, Amina dan Ayang bergegas ke ruang operasi.Sementara Eril masih mengurus administrasi Kak Ajeng sekaligus Bapak.Dari jauh dia melihat Bude Surti terkantuk - kantuk menunggu. Dia duduk di kursi panjang. Sedangkan Kang Sule, nampak tertidur di samping perempuan itu."Bude," panggil Amina."Bapak gimana?" tanyanya cemas.Bude Surti yang melihat kedatangan Amina dan Ayang kaget."Lho, Amina, Kenapa ke sini? Bapakmu masih di operasi, mungkin sebentar lagi selesai." Bude Surti masih bingung dengan kedatangan Amina. "Kakakmu gimana? Apa sudah selesai pemakamannya?" tanya Bude Surti. Kantuknya hilang setelah melihat perempuan cantik itu.Amina menggeleng. "Belum Bude, saya membawa Kak Ajeng ke sini," ucap Amina sendu."Apa Ajeng hidup lagi?" Bude Surti seperti orang linglung. "Tidak, saya membawa jenazah Kak Ajeng untuk dimandikan dan dikafani, setelah itu baru saya baw
Bab 76"Owh, cuma segitu saja harganya Pak RT?" jawab Amina dingin. Dia menutup telpon dan memberikannya pada Pakde Sule."Gendeng! Jangan dikasih dia! Amina!" Pakde Sule geram. "Enak saja minta - minta uang seenak perutnya sendiri."Bude Surti ikut dongkol. "Pantes saja, kehidupan Pak RT glamour, wong kerjanya malakin orang, aku jadi ikutan gemas dengannya Pak!""Nanti aku kasih pelajaran di Bu. Biar dia kapok!"Amina menarik napas panjang. "Gak usah Pakde. Nanti tambah panjang masalahnya."Kemudian Eril menelponnya, Ajeng hendak dimandikan. "Bude, Pakde, saya nitip Bapak dulu. Kak Ajeng mau dimandikan." Amina membuka tasnya dan memberikan sejumlah uang di tangan Bude Surti "Pakailah uang ini untuk keperluan kalian." Amina tahu pekerjaan Pakde Sule dan Bude Surti hanyalah buruh tani."Terima kasih Amina. Soal bapakmu, jangan khawatir, serahkan sama kami."Bude Surti melihat ke Ayang, sikap anak itu sangat manis. Dia sama sekali tak rewel. Ada kerinduan di dadanya memiliki anak sendi
Bab 77Hening!Eril bungkam. Dia tidak merespon apapun yang diucapkan Amina sampai mereka tiba di rumahnya.Pria itu tetap diam, dan sibuk dengan ponselnya.Amina kebingungan dengan gelagat tak biasa Eril. Dia menjadi serba salah ketika lelaki itu mendiamkannya. Seribu pertanyaan menyerbu benak Amina. Apakah ada yang salah dengan ucapannya?Usai tahlillan selepas ashar, Eril terlihat bercengkrama dengan Mas Pur dan Kang Parman di teras. Setelah itu dia pergi ke luar tanpa pamit.Amina gelisah.Bude Surti yang datang membantu Amina, diam - diam ia memperhatikan sikap mereka berdua. “Amina, maaf Bude mau tanya?” tanyanya sambil merapikan piring dan gelas.Amina yang sedang menyapu menghentikan aktifitasnya. “Iya ada apa Bude?”“Apa kamu dan Eril sedang bertengkar?” tanya Bude Surti hati – hati.“Gak Bude, kami hanya lelah,” jawab Amina bohong, ia menggigit bibirnya pelan.Bude Surti melihat Amina. “Istirahatlah, biar Bude yang meneruskan menyapu.” Ia kasihan melihat Amina.“Tanggung Bud