Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu.
“Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang.
Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang baik atau karena itu sudah menjadi kebiasaannya ketika sendirian di rumah. Lyona sudah bersenandung ketika sendirian, menurutnya hal tersebut bisa membuat rumah menjadi terasa lebih aman. Aman dalam artian dia bisa mengalihkan prasangka-prasangka ada sesuatu yang ia tidak bisa lihat yang menemaninya. Jika ada yang ikut bersenandung dengannya, ia akan segera berhenti dan keluar rumah untuk membeli camilan walau sebenarnya ia tidak menginginkannya.
Setelah 20 menit, ia keluar dari kamar mandi menuju ke kamarnya untuk memakai atribut seragamnya. Ia membuka ponselnya dan melihat notifikasi yang masuk, namun tidak ada yang menarik dan ia pun menutup ponselnya kembali. Ia berdandan seadanya dan menata buku-buku sekolahnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Setelah itu, ia keluar sambil meneteng tasnya dan menuju ke dapur untuk membuat sarapan.
Lyona memakai sepatunya dan berjalan menuju pintu depan rumahnya. Ia pun menutup pintu dan menguncinya. Ia berjalan sambil memasukkan kunci ke dalam sakunya. Ia berjalan santai seperti hari-hari biasa ketika dirinya tidak telat. Terkadang ia masih mengutuk dirinya yang terlambat. Sejujurnya itu bukan pertama kali, namun itu yang paling buruk karena terlambat tidak hanya 10 atau 15 menit saja. Murid pintar pun juga pernah terlambat. Namun, Lyona ingin catatan tepat waktunya selalu terpenuhi. Karena ia sudah SMA ditambah dirinya juga murid baru, jadi ia ingin menjadi murid yang baik.
Lyona pun tersenyum dan memberi salam ramah kepada tetangga-tetangga maupun orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. ‘Anak baik’ selalu menjadi gelarnya di kalangan masyarakat. Kadang itu membuatnya besar kepala, namun ia mengatakan pada dirinya untuk tetap rendah hati. Bagaimana pun anggapan orang bisa berubah sepersekian detik ketika mereka melihat sesuatu yang sangat berbeda dari orang itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana pun anggapan orang tidak terlalu penting. Karenanya, Lyona tidak ingin ambil pusing dengan anggapan-anggapan orang tentangnya. Namun dirinya adalah orang yang suka overthinking. Salah satu hal yang ia benci, karena dirinya merasa rendah diri ketika bertemu dengan orang lain.
Ia berjalan dengan bersenandung pelan. Bahkan, dirinya menyempatkan untuk memotret matahari dan langit pagi. Ketika ia berhenti untuk memotret pemandangan itu, ia merasa ada yang ikut berhenti di belakangnya. Lyona pun menoleh untuk memastikan dan ia melihat ada sekitar 5-6 orang yang berjalan di belakangnya dan 3 orang di antaranya memang sedang berhenti, entah untuk memotret hal yang sama dengan yang Lyona lakukan atau karena hal lainnya. Lyona mulai merasa dirinya terkena paranoid dan bergidik ngeri dengan apa yang ia pikirkan. Mungkin ia terlalu banyak melihat film tentang penguntit.
“Kayaknya aku harus berhenti lihat film penguntit deh. Pagi-pagi udah paranoid aja,” ucapnya pada diri sendiri.
Lyona menaiki tangga menuju kelasnya ketika Jian menepuk tasnya yang membuat langkahnya berhenti. Dalam dirinya, Lyona masih memikirkan penguntit yang mengikutinya tiba-tiba menepuk tasnya. Sampai ia melihat Jian dan tersenyum. Senyum itu sangat riang ketika ia menyadari ia terlalu larut dalam imajinasinya.
“Kaget ya?” tanya Jian dengan jahil.
“Iya, ku kira tadi siapa yang nepuk,” jawab Lyona dengan senyum.
“Ish… ya kali aja kepala sekolah. Hehe,” goda Jian.
“Bukan senyum malah jnatungan kalau itu mah,” balas Lyona dengan tertawa.
Mereka berdua pun berjalan dengan berbincang-bincang sampai ke kelas. Di dalam kelas masih setengah warga kelas yang sudah datang. Tidak heran, mengingat kebiasaan murid yang datang 5 menit sebelum bel masuk sudah menjadi kebiasaan. Jian dan Lyona menarik bangku masing-masing dan duduk. 2 menit kemudian, Okky masuk ke dalam kels dan melambaikan tangan kepada keduanya. Beberapa menit kemudian banyak murid yang masuk. Bel jam pertama pun berbunyi dan guru mata pelajaran masing-masing mulai masuk ke kelas-kelas.
Bel istirahat kedua berbunyi. Lyona menyilangkan tangannya yang kemudian ia taruh di atas meja untuk dijadikan sandaran kepala. Ia merasa mengantuk, padahal masih ada 1 mata pelajaran tersisa. Melihat temannya yang bersiap untuk tidur, Jian menoleh dan menurunkan kepalanya sejajar dengan kepala Lyona.
“Putri kecil mau tidur ya?” goda Jian dengan raut jahil.
Mendengar Jian mengatakan hal itu, Lyona kembali duduk tegak. Ia kemudian menatap Jian seakan-akan rasa kantuknya hilang.
“Enggak kok. Cuma peregangan aja,” jawab Lyona.
“Ah bercanda, bobok aja nanti aku bangunin kalau udah masuk.”
“Aku gak ngantuk kok. Ayo ke kantin.” Seketika Lyona bangkit dari duduknya dan ke empat temannya melihatnya kemudian tertawa. Lyona merasa bingung. “Kenapa ketawa?” tanyanya.
“Kamu lucu deh. Kalau ngantuk mah gak papa tidur. Gak usah malu-malu gitu,” tanggap Karine.
“Bener. Mana ada manusia yang gak ngantuk pas sekolah. Aku aja ngantukan,” imbuh Sekta.
“Kalau kamu mah bukan ngantukan, emang suka tidur,” ucap Okky.
“Nah betul juga tuh,” jawab Sekta dengan tertawa. Mendengar teman-temannya pun Lyona ikut tertawa.
“Ya udah, ayo ke kantin aja kalau Lyona menolak ikut sekte tidur di kelas,” ajak Jian sambil menggoda Lyona.
“Eh, gak gitu maksudnya,” sergah Lyona.
“Udah-udah, ayo ke kantin,” sela Karine dengan menarik Lyona keluar dari kelas dan diikuti teman-temannya yang lain. Lyona masih berusaha membela diri dan ditanggapi dengan candaan oleh teman-temannya di belakangnya.
Waktu pulang pun tiba dan bel berbunyi nyaring. Bu Adila sebagai guru mata pelajaran terakhir pun berpamitan. Semua murid berhamburan keluar dari kelas. Ada beberapa murid yang sudah ditunggu oleh pacarnya di depan kelas untuk pulang bersama dan beberapa ditunggu oleh temannya dari kelas lain untuk pulang bersama. Lyona pun bergegas mengemasi barang-barangnya karena ia sudah mengantuk dan ingin cepat pulang. Ia menyuruh teman-temannya pulang terlebih dahulu. Setelah selesai, ia sedikit berlari menuju tangga dan menuruninya dengan mendahului beberapa murid yang turun dengan lambat. Ia menyapa satpam di pintu gerbang dan berlari kecil ke jalan. Lyona sudah merindukan kasurnya yang seperti memanggil-manggilnya untuk segera pulang. Ia pun mempercepat langkahnya agar segera sampai.
Perasaan itu kembali lagi, Lyona pun memperlambat langkahnya tapi masih berjalan. Setelah beberapa langkah, ia pun menoleh untuk menghilangkan semua prasangkanya. Ia terkejut ketika dirinya melihat Kinan tepat di belakangnya. Ada perasaan bahagia karena akhirnya si penguntit tertangkap basah, namun ia juga merasa ngeri dan bingung. Lyona berharap bahwa ia salah mengira Kinan mengikutinya. Karena menurutnya ia tidak kenal, Lyona pun berbalik dan hendak melanjutkan jalannya ketika Kinan memanggilnya. Bagaimana dia tahu namaku? Pertanyaan pertama yang terlintas di benak Lyona.
“Benarkan kamu Lyona?” tanya Kinan lagi. Lyona masih membeku dna berusaha bersikap biasa saja dengan berbalik.
“Benar. Kamu siapa?” tanya balik Lyona.
“Aku Kinan. Akhirnya kita ketemu secara langsung.” Lyona bergidik ngeri mendengar ucapan Kinan dengan senyumnya.
“Ada apa ya?” tanya Lyona berusaha dingin.
“Gak ada sih. Cuma mau kenalan aja.” Kinan menjulurkan tangannya untuk berkenalan. “Aku Kinan.”
“Aku Lyona.” Tangannya meraih tangan Kinan dan bersalaman. Lyona segera melepas tangannya. “Kalau gitu, aku duluan.”
“Iya, hati-hati.”
Lyona merasa seluruh tubuhnya merinding setelah berpapasan dengan Kinan. Seperti mimpi buruk di siang buta. Ia berpikir apakah dirinya bisa tidur setelah melalui semua ini? Memikirkannya saja membuat bulunya meremang. Jika dia yang mengikutinya pagi ini, itu bisa lebih buruk lagi. Lyona mempercepat jalannya dan melihat bayangan Kinan dari kaca bangunan di depannya. Kinan tetap diam di tempat mereka berkenalan dan berbalik ketika Lyona sudah cukup jauh. Sial, bagaimana bisa bertemu dengannya? Lyona bersumpah dalam hati. Ia melanjutkan perjalanan pulangnya dengan pikiran campur aduk.
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirka
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi W
Hari itu sangat panas di pesisir, orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Orang-orang berlalu-lalang tanpa peduli dengan panasnya udara yang menerpa diri mereka. Bagaimana pun keadaan dan cuacanya mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukannya dengan semangat yang tinggi demi sesuap nasi. Lyona, seorang siswi SMA terlihat keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyum manisnya. “Selamat pagi ibu,” sapanya kepada seorang ibu yang berangkat ke pasar untuk menjual ikan. “Oh. Pagi neng Lyona, mau berangkat sekolah neng?” tanya ibu tersebut. “Iya bu. Ini ibu mau ke pasar?” “Iya neng. Mau jualan hasil tangkapan semalem.” “Oh iya. Semoga laris manis ya bu.” “Amin. Terima kasih neng.” “Sama – sama ibu.” Setelah bertegur sapa Lyona dan ibu tersebut mengambil jalan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Lyona dengan menggendong tas abu-abun
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi W
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirka
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan