Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang.
Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan ia pun masuk. Namun, ia berhenti mengikuti Lyona dan melihat lautan luas dan orang-orang yang sedang bekerja. Ia sepertinya tertarik dengan apa yang dilihatnya. Ia mengambil ponsel dan memotret situasi yang sedang ia lihat. Lalu ia berbalik dan berjalan menuju gapura tadi, kemudian meninggalkan daerah tersebut.
Lyona mencari kunci rumahnya di saku roknya. Lalu memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci dan memutarnya. Ia menghembuskan napas panjang sambil menutup pintu rumahnya kembali. Ia membiarkan kunci pintu tergantung di lubangnya setelah memindahkannya ke lubang pintu di dalam rumah. Ia membuka kamar dan melempar tasnya. Ia langsung melompat rendah ke atas ranjangnya. Entah kenapa, ia merasa sangat lelah hari ini. Entah karena berlari atau yang lainnya.
Ia mengangkat ponselnya dan membuka W******p lalu mencari nomor ibunya. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehnya saat ini. Ia mengetikkan pesan dan mengirimkannya. Terlihat ibunya offline.
Lyona bangkit dan merasakan perutnya seperti tercabik-cabik karena lapar. Lalu ia ingat jika diirnya belum makan kecuali sarapan yang ia makan dengan cepat. Ia pun segera mencari bahan yang bisa ia masak. Lyona memutuskan mengambil telur dan cabai rawit. Ia pun memecahkan telur dan mencincang cabai lalu ia masukkan ke dalam telur, kemudian ia mengambil sejuput garam dan memasukkan ke dalam mangkok. Lyona mengambil sendok dan mengocok-kocok telur tersebut dan bahan-bahan lainnya hingga tercampur. Kemudian ia mengambil penggorengan dan menyalakan kompor. Ia menuangkan minyak dan menunggunya panas, lalu memasukkan telur ke dalam minyak panas. Lyona pun menggoreng telur tersebut, bau yang dikeluarkan telur goreng tersebut sangat enak. Lyona yang tadinya tidak ada nafsu makan seketika sangat lapar. Setelah ditiriskannya, ia mengambil nasi dan menaruh telur di atasnya. Ia mengambil segelas air dan duduk, lalu makan telur gorengnya.
Lyona mencuci piring, gelas, dan penggorengan lalu ia kembalikan ke tempat semula. Lalu ia kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya dan membuka ponselnya, ibunya belum membalas. Ia menghembuskan napas dan mengambil tas yang ia lempar tadi untuk ditaruh ke tempatnya semula. Ia mengeluarkan alat tulisnya dan mengambil diary-nya. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari. Ia pun menuliskan apa yang telah ia lakukan dan alami hari ini.
Ia menutup diary-nya dan menaruh kedua tangannya di atas buku, lalu ia menaruh kepalanya di atas tangannya. Ia memejamkan mata dan tenggelam dalam pikirannya. Hingga ia pun tertidur.
Ponselnya berdering dan membangunkan Lyona. Ia meraih ponselnya dan ibunya yang menelepon, ia pun mengangkatnya.
“Halo bu?” ucap Lyona bersamaan dengan menekan tombol terima.
“Kamu sudah pulang?” tanya ibunya.
“Sudah tadi bu,” jawab Lyona.
“Kirain belum pulang. Sudah makan?” tanya ibunya kembali.
“Sudah bu,” jawab Lyona dengan sabar.
“Makan sama apa?” tanya ibunya dengan nada sedikit khawatir.
“Goreng telur tadi,” jawab Lyona dengan senyuman agar ibunya tidak khawatir.
“Oh iya. Maaf ya ibu belum bisa pulang,” ucap ibunya lirih dan merasa bersalah.
“Kenapa minta maaf? Gapapa kok bu, ibu selesaikan aja dulu,” jawab Lyona dengan sedikit terkejut dan juga merasa tidak enak setelah mendengar ibunya meminta maaf.
“Khawatir sama kamu. Takut kesepian,” terang ibunya yang mengkhawatirkan anak semata wayangnya itu.
“Astaga ibu, aku udah SMA, udah besar. Lagian kalau kesepian kan bisa telepon ibu. Aku juga ada teman-teman. Tenang ajalah bu,” jelas Lyona berusaha menenangkan ibunya dan agar ibunya tidak khawatir dengan dirinya.
“Yaa meskipun begitu, namanya juga ibu. Pasti khawatir sama anaknya,” ucap ibunya lirih.
“Iya ibu. Aku gak papa kok. Cuma kangen aja jadi kirim pesan,” jawab Lyona dengan lemah lembut.
“Iya, ibu juga kangen. Bapak juga.”
“Iya ibu.”
“Ya udah, ibu tutup dulu. Kamu baik-baik.”
“Iya, ibu sama bapak juga baik-baik yaa.”
Telepon pun terputus. Lyona merasakan lehernya kaku karena posisi tidurnya yang tidak nyaman tadi. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 4.30, ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti. Ia kemudian mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, ia pun merebahkan diri di ranjangnya tadi. Lyona juga meregangkan lehernya yang kaku. Ia melihat ponselnya untuk mengecek tugas untuk besok dan ternyata tidak ada tugas untuk besok. Ia pun berlama-lama rebahan. Lyona membuka aplikasi pemutar musik, ia mengetikkan judul dan memutar musik sambil melihat langit.
Saat jam dinding menunjukkan pukul 7.00, ia pun bangkit dan mengambil buku pelajaran untuk besok. Walaupun tidak ada tugas, ia menetapkan komitmen untuk tetap mempelajari pelajaran yang akan ia pelajari besok agar ketika dijelaskan ia akan lebih mudah paham. Ia melihat jadwalnya dan kemudian mengambil buku-buku di raknya. Ia mulai menatapkan niatnya dengan menarik dan menghembuskan napas terlebih dahulu. Gak boleh malas, gak boleh malas ia menekankan dalam hati. Lalu ia duduk dan membuka buku.
Komitmen tersebut mulai ia buat ketika dirinya mendapat nilai dibawah minimum dan ia merasa malu untuk menunjukkannya kepada orang tuanya. Pada saat itu, orang tuanya mengatakan untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri karena nilai itu. Namun ia selalu mendapat nilai yang baik dan hal tersebut membuatnya merasa gagal. Akhirnya tekad untuk selalu menjadi yang terbaik mulai terbesit, namun hal itu pula yang menjadikannya merasa kurang. Akhirnya ia mencari jalan keluar, lalu dirinya memutuskan untuk tidak menjadi yang terbaik namun harus mendapat nilai yang baik. Oleh karenanya, ia membuat komitmen itu.
Satu hal yang bisa ia lakukan untuk orang tuanya adalah melihat anaknya dipanggil sebagai anak yang berprestasi dan tidak pernah membuat masalah. Perasaan bersalah karena dirinya menjadi korban bullying membuatnya merasa mempunyai jejak ‘murid bermasalah’, karena ia yang menjadi korban dan ia pula yang keluar. Lyona malu untuk beberapa hari kepada orang tuanya, ia merasa orang tuanya terlalu baik karena terus mengatakan itu bukan salahnya. Memang bukan, namun tetap saja ia merasa tidak enak.
Tekadnya untuk mengganti pengalaman itu di sekolah barunya pun sudah bulat. Ia ingin menanggalkan namanya di peringkat 5 besar sekolahnya. Untuk apa otak cerdasnya jika ia tidak mampu unggul. Walau ia murid baru, hal tersebut sama sekali tidak membuatnya mundur. Ia bertekad untuk menunjukkan bahwa murid baru juga bisa menjadi 5 besar dan hal tersebut akan ia wujudkan. Ia ingin melihat orang tuanya bangga.
Lyona pun memutuskan untuk sellau belajar dan tidak akan menyerah demi tujuannya tersebut. Semalas apa pun dirinya, ia akan tetap melawannya. Ia tidak boleh kalah dari dirinya sendiri. Ia harus mengalahkan dirinya dahulu sebelum mengalahkan orang lain. Bahkan, ia memasang reminder agar dirinya selalu ingat dan ia menulis catatan kecil di mana-mana yang terlihat matanya. Jadi, ia bisa melihat catatan itu ketika ia mulai bermalas-malasan. Ia akan bermalas-malasan ketika akhir pekan saja. Walau tidak ada tugas, ia harus tetap belajar. Itu tekadnya.
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirka
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi W
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi W
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirka
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan