Aku menggeliat, meraba-raba keberadaan guling. Namun, permukaan guling itu kurasakan berbeda di tangan. Sewaktu lengan ini melingkarinya, ada pergerakan yang sama melingkari pinggangku. Mataku mengerjap, mulanya samar-samar hingga lama kelamaan penglihatanku normal saat mendongak. Senyuman indah terbingkai di sana. "Mas!" Nyaris saja kudorong lelaki itu andai nyawaku belum terkumpul separuhnya sehabis bangun tidur. "Kok, kaget, May?" "M--maaf, Mas." Oh, iya. Dia suamiku. Ini enggak mimpi, kan? Masa jomloku sudah berakhir, kan? Buku nikah! Dimana buku nikah? "May!" Mas Gun mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku. "Sebentar. Ini sungguhan kan, Mas? Tolong cubit aku!" Adegan Mas Gun mengobrak-abrik sprei dalam lamunan parahku kemarin seperti nyata sekali. Apa pagi ini dia akan melakukan itu saat kutinggal mandi nanti? Tapi enggak adil banget, dia sudah menang banyak sebelum-sebelumnya. "Enggak mau, May. Mendingan saya cium daripada dicubit." Tahu-tahu hidung bangir itu suda
"Apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja, May. Sepertinya kamu demam." Mas Gun meletakkan telapak tangan di kening dan leherku. "Enggak usah, Mas. Nanti juga hilang sendiri." Aku meringkuk di balik selimut, sedikit menggigil. "Bisa tolong matikan AC-nya, Mas!" Lelaki matangku menekan tombol off pada remote itu lantas berbaring lagi menghadapku. Dia mengusap pipi dan bibir yang sesekali mendesis menahan hawa dingin menusuk hingga ke sumsum tulang meski telah bergulung bed cover. Mas Gun menyelipkan lengan di bawah kepalaku, menjadi tumpuan pengganti bantal. Sedangkan lengan satu lagi memeluk tubuhku. Hangat. "Maafkan perbuatan saya, May." "Perbuatan yang mana, Mas? Kaya aku ini istri yang terdzolimi saja." "Harusnya saya lebih berhati-hati membimbing kamu. Saya lupa kamu masih belum berpengalaman." Astaghfirullah, Bambang! Mentang-mentang aku demam habis begadang. Haruskah dikait-kaitkan juga? Serba salah jadi pengantin baru. Habis keramas arahnya ke sana, bangun kesiangan dibel
Ada pemandangan mengharukan saat aku keluar dari ruang kerja. Ruangan yang akan segera ditempati orang lain setelah aku membulatkan tekad untuk resign. Ya, ini hari terakhir menginjakkan kaki di tempat yang menjadi saksi bagaimana diriku ikut bersinergi mengembangkan perusahaan papi. Staff-ku berdiri membentuk deretan, seperti hendak memberikan penghormatan terakhir. Jangan-jangan! Istilah itu lebih cocok untuk pahlawan yang gugur di medan perang. "Bu May! Bilang ke saya kalau ini cuma mimpi." Vivi--sekretarisku sesenggukan, sedikit emosional memeluk mantan bosnya. Barang-barang penting dalam kardus yang kudekap kuulurkan pada security untuk dibawa ke mobil. Aku segera membalas pelukan wanita muda berhijab pink itu. Vivi adalah tangan kananku, wajar begitu kehilangan. "Sabar, ya! Insyaa Allah pengganti saya pasti jauh lebih baik," hiburku. Tangisan Vivi menular pada karyawan lain, ada sekitar lima orang di sana. Meninggalkan kubikal masing-masing demi perpisahan mendadak ini. Me
"Ayo May!" Sepeninggal petugas resort, Mas Gun membuka pintu kayu selebar dua meter penuh ukiran khas Bali. Aku membuntuti pria yang mengangkut doa koper besar berisi perlengkapan honeymoon selama lebih dari seminggu ke depan. Reservasi kamar kami bertipe single bed private villa. Di dalamnya terdapat satu kamar tidur dengan ranjang super besar. Juga ranjang kecil di sudut ruangan bersebelahan dengan sofa dengan lima bantal berjajar rapi. Fasilitas lain yang bikin betah adalah bath tub yang view-nya menghadap langsung ke alam. Juga kolam renang pribadi dengan suguhan pemandangan areal persawahan terasering hijau di kejauhan. Lelah hampir setengah harian menempuh perjalanan Jakarta-Bali. Aku menjulurkan kaki di gazebo sudut kolam renang. Di sana sudah tersedia dua handuk juga menu untuk lunch yang ditata manis dalam wadah rajutan unik. "Suka suasananya, May?" Suamiku telah berganti pakaian dengan atasan kaos berbahan katun dan celana santai. "Aku langsung jatuh cinta, Mas." "Sam
"Saya ke toilet dulu, May!" Mas Gun berpamit ke arah berlawanan, usai menjalani prosedur pemeriksaan penumpang di bandara. Ruang tunggu keberangkatan mulai dipadati penumpang dengan tujuan sama. Melirik jam di tangan, jadwal take off kurang lebih satu jam lagi. Aku melangkah ke deretan kursi besi yang hanya terisi satu orang. "Permisi Mbak!" Mengempaskan pinggul tepat di sebelah wanita yang tengah menunduk memainkan tablet, aku menyapa ramah. "Silakan!" balasnya. Sekian detik kami bersitatap, dan detik berikutnya saling terperanjat. "Mbak Purnama!" "Mbak Mayra!" Oh Tuhan. Sesempit inikah Indonesia? Yang terdiri dari jajaran pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu. Lantas harus bertemu dengan masa lalu Mas Gun di tempat ini, saat bulan madu pula. "M--mau pulang ke Jakarta juga?" Kenapa aku yang gugup? Indraguna Prawira sudah sah jadi milikku. Namun, aku wajib waspada. Mantan bisa jadi ancaman dan cobaan. "Iya. Kebetulan, sudah seminggu lebih mengurus bisnis di Seminyak.
"Minum dulu, Mas!" Sebotol air mineral kusodorkan pada pria yang baru turun dari treadmill. Napas Mas Gun terengah dengan cucuran keringat membasah di baju olahraganya. "Makasih, May." Kepala pria tampanku terangkat, menenggak air dalam botol hingga jakunnya bergerak-gerak. Seksi. Mas Gun menjunjung tinggi pola hidup sehat. Sekali bangun subuh, dia tidak akan tidur lagi. Langsung berolahraga seperti ini. Kecuali saat-saat tertentu, hari libur misalnya, atau sewaktu cuaca mendukung untuk nganu ... bangun siang. Hayo siapa yang ngeres? Aku menyambar handuk kecil yang tersampir di pundak Mas Gun, lalu mengelap keringat di kitaran kening dan lehernya. Sudut bibir tebal itu tersungging, pasti senang kumanjakan. "Jangan ditertawakan, Mas! Sekarang, aku sedang belajar menjadi istri yang baik dan benar." Sudah kularang tertawa, dia malah cekikikan. Apanya yang lucu? Kugelitiki perut six pack yang terbalut kaus ketat itu. "Kamu mood booster saya, May." Mas Gun merangkulku keluar dari r
"Eh, Mas. Itu mau dibawa ke mana?" Aku berlari dan merebut keranjang mirip ember yang dibawa Mas Gun keluar dari kamar. "Kok, nggak boleh, May? Maksud saya biar dicuci sama Mbak-mbak di bawah sana." Mungkin suamiku berpikir kalau aku masih belum bisa menyentuh barang berharga tersebut. Sehingga dia sendiri harus turun tangan. "Biar aku saja, Mas. Sekarang barang-barang ini adalah kekuasaanku. Enggak rela dipegang-pegang orang lain." "Sungguh, May? Saya tidak mewajibkan itu kalau kamu merasa terpaksa." "Enggak, kok, Mas. Swear!"Niatnya mau cepat-cepat ngacungin dua jari bentuk V. Eh, keranjang dalam dekapan malah lolos. Berhamburanlah isi di dalamnya, yaitu pakaian dalam milik Mas Gun. Bagaimana ini? Kemarin aku memakai penjepit gorengan untuk memasukkannya ke keranjang khusus pakaian kotor. Untung benda itu sudah kuamankan di tempat tersembunyi. Lalu sekarang? Bismillahirrahmanirrahim .... Membayangkan benda segitiga itu diotak-atik orang lain, bisa jadi dibuat mainan, atau d
"Untung mama enggak jadi pesan kue ke langganan, May. Selain masak, ternyata kamu pintar juga bikin macam-macam kue seperti ini."Mama mertua ikut menata potongan brownies dan kudapan kekinian lainnya pada piring-piring porselen yang berjajar di meja. "Enggak jago, sih, Ma. Cuma belajar dari mami saja." Belajar dari jaman SMP karena ingin menikah muda. Enggak tahunya, enam belas tahun kemudian baru berguna. Langsung mendapat pujian mertua pula. "Begini juga bisa bikin Indra betah di rumah. Kamu pintar memanjakan dia. Dulu, rumah ini hanya untuk numpang tidur saja. Sekarang jadi lebih hangat. Apalagi nanti kalau kalian sudah memiliki anak. Pasti ramai sekali." Anak? Aku meraba perut dibalik celemek ini. Masih rata hingga pernikahan ini telah berjalan selama setahun. Pertanyaan usil mulai berdatangan dari segala penjuru. 'Sudah jadi belum, May?' 'Mana, nih, hasil bulan madu?' 'Indra bisa gak, sih, nembaknya?' 'Jangan menunda-nunda. Ingat! Kamu sudah memasuki usia rawan.' Siapa