Setelah larut malam, aku akhirnya baru bisa keluar dari kantor. Jalanan sudah sepi, hanya ada lampu jalan yang redup menemani langkahku.Aku menghela napas panjang. Kepalaku masih penuh dengan kejadian yang baru saja terjadi.Jujur, sebelumnya aku sama sekali tidak memiliki bayangan jika sikap Alicia bisa sangat berbeda. Biasanya, aku selalu melihatnya sangat profesional, dingin, dan tidak pernah tertarik pada kehidupan pribadi karyawannya. Namun, malam ini sangat berbeda, dan itu membuatku merasa benar-benar puas.Aku melajukan motorku lebih cepat menuju rumah karena rasa lelah mulai merayap ke tubuhku. Sampai di depan rumah, lampu ruang tamu sudah mati.Aku memang sudah memberi tahu Mama Siska bahwa aku akan lembur, jadi sepertinya semua sudah tidur. Saat aku hendak masuk ke kamar, aku bertemu dengan Nayla yang baru keluar dari dapur."Kok baru pulang, Bang?" tanyanya dengan suara mengantuk.Aku mengangguk. "Iya, kerjaan lagi banyak.""Kasihan banget ih, sekarang jadi sering lembur.
Aku tidak mempermasalahkan ucapan Liana lebih lanjut. Aku langsung duduk di depan komputer Liana, jari-jariku bergerak cepat memeriksa sistem dan memastikan semua data yang ada di flashdisk-nya kembali ke tempat semula. Liana berdiri di sampingku, tangannya sedikit gemetar sambil memegang tepi meja. Wajahnya pucat, tapi ada kilatan lega di matanya saat melihat folder-folder penting mulai muncul kembali di layar. “Raka… makasih banget,” ucapnya pelan, suaranya masih bergetar. “Kalau sampai data ini nggak balik, aku nggak tahu harus bilang apa ke Bu Alicia.” Aku hanya mengangguk, fokusku terpecah antara layar dan firasat buruk yang terus menggerogoti pikiranku. “Ini bukan kebetulan, Li. Seseorang pasti sengaja hapus datamu.” Liana menatapku, matanya membulat. “Reza?” Aku tidak langsung menjawab. Tatapanku beralih ke sudut ruangan tempat Reza biasa duduk, tapi meja kerjanya kosong sekarang. “Kita nggak bisa nuduh sembarangan,” kataku akhirnya. “Tapi, kita harus cari tahu dulu.” Li
“Di kantorku ada sedikit masalah,” kataku di sela-sela makan sarapan.Nayla dan Mama Siska langsung menoleh ke arahku.“Masalah apa, Raka?” tanya Mama Siska dengan tatapan khawatirnya.Aku sedikit ragu untuk mengatakannya, tapi rasanya aku butuh mengatakan ini untuk melihat pendapat orang lain.“Teman kantorku cerita kalau dia… ya, curiga istrinya selingkuh,” kataku, lalu menahan napas sejenak. “Katanya istrinya bilang lagi bisnis di luar negeri, tapi temenku lihat istrinya di salah satu hotel mewah di sini sama laki-laki lain. Menurut kalian… apa dugaan temenku itu benar?”Hening sejenak.Mama Siska menatapku dengan dalam, seperti mencari sesuatu di balik kata-kataku. Namun, dari tatapan matanya jelas terlihat ada rasa tidak nyaman.“Ih jahat banget istrinya! Jelas itu selingkuh lah!” sahut Nayla dengan rasa kesal.“Iya kah? Menurut kamu gitu ya, Nay?” Aku menatap Nayla yang sedang mengangguk yakin.“Kan bilangnya ke luar negeri, kenapa bisa di hotel sini sama laki-laki lain. Ngapain
Suasana seketika menjadi lebih tegang.“Bu, ada insiden kecil. Laporan yang dibuat Liana tidak sengaja terkena tumpahan kopi sampai akhirnya basah. Sedangkan kata Liana, laporan itu seharusnya sudah diserahkan ke Ibu. Kalau boleh, tolong beri waktu Liana untuk mencetak ulang laporannya,” kataku langsung menjelaskan situasi ini.Reza langsung tampak mengerutkan dahinya, seperti tidak menyangka bahwa aku benar-benar akan melakukan ini.“Oh, masalah sepele saja kenapa sampai ribut-ribut?” Bu Alicia menatapku sejenak, lalu beralih pada Liana. “Silakan cetak ulang, saya tunggu sebelum jam kerja berakhir.”Liana langsung tampak terkejut sekaligus senang. Ia mengangguk dengan yakin. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.”Semua langsung kembali ke meja masing-masing. Namun, aku bisa mendengar Reza yang berdecak pelan.***Ketika sore tiba, aku bersama Bu Alicia pergi rapat di luar. Restoran yang kami datangi cukup mewah, lampu-lampu kristalnya membuat suasana terang, tetapi hangat. Aku menjelaskan
Aku terdiam, terkejut dengan ucapan itu. Susah payah aku juga menelan ludah saking tidak menyangka akan mendapatkan tawaran macam itu.“Saya sudah punya istri,” ucapku, mengingatkannya.Alicia tertawa rendah. “Tapi itu tidak menghentikanmu dari tidur denganku,” godanya lagi selagi menggunakan satu jari untuk memaksaku menatapnya lurus.Napasku agak tercekat. Pesona bosku ini sungguh tidak main-main.“Bukankah itu kecelakaan?”Mendengar balasanku, Alicia tertawa agak keras. Saat tawanya mereda, dia dengan sesuka hati mendudukkan diri di pahaku, lalu melingkarkan dua tangannya di leherku.“Oke, anggap itu kecelakaan, tapi itu sudah terjadi, dan aku tidak bisa melupakannya, terlepas statusmu sebagai seorang suami,” ujar Alicia. Menjepit daguku dengan dua jari lentiknya, bosku itu berkata, “Jadi, aku menawarkanmu sebuah jalan keluar, Raka. Jadilah priaku, dan akan kubalaskan dendammu pada dua keparat itu. Bahkan, aku akan membantumu meningkatkan keberhasilan karirmu jikalau kamu mau. Baga
Hari ini pekerjaan di kantor lancar tidak ada halangan apapun. Akhirnya jam pulang kerja tiba. Namun, saat aku baru berjalan ke arah parkiran, ponselku berbunyi.Pesan dari Tiara.[Mas, pulang cepat ya. Aku kangen, ingin makan malam bersama. Kita rayakan kepulanganku.]Aku membaca pesan itu, lalu tersenyum sinis.Kangen? Merayakan?Muak sekali dengan kepura-puraannya, tetapi aku tetap membalas seadanya.[Iya, ini mau pulang.]Kemudian, aku langsung memacu motorku ke arah rumah.Aku sampai rumah saat matahari sudah tenggelam. Meja makan sudah disiapkan, lilin kecil menyala di tengah, menciptakan suasana hangat, tetapi bagiku ini semua terasa hampa.Sementara itu, Nayla tampak sangat antusias. Ia sangat gembira menyambut kedatanganku."Selamat datang Abang, Kak Tiara sudah menunggu dari tadi. Kak Tiara dan Mama memasak untuk Abang, tapi aku juga bantu, kok,” katanya dengan penuh keceriaan.Meskipun usia Nayla sudah hampir 20 tahun, entah kenapa terkadang sisi anak-anak masih selalu mene
Aku membalas senyum, berpura-pura tidak tahu apa-apa. “Iya, Ti. Kamu mengobrol dengan siapa tadi?” tanyaku santai, hanya untuk melihat reaksinya. “Oh… teman kantor. Menanyakan pekerjaan,” jawabnya cepat, matanya berkedip cepat membuat kebohongannya sangat terlihat. “Ayo, Mas, mandi dulu. Aku sudah menyiapkan baju untuk ke mal nanti.” Aku mengangguk, senyumku dipaksakan sampai terasa kaku di wajah. “Iyaa,” kataku, lalu masuk ke kamar mandi. Di bawah semburan air, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang sudah membara. Sabar, Raka. Biarkan ia bermain dulu. Aku akan membalas jauh lebih sakit dari yang ia bayangkan. Saat keluar dari kamar mandi, aku melihat Tiara duduk di meja rias, sedang mengetik pesan di ponsel sambil tersenyum kecil. Ia sudah menyiapkan pakaianku di ranjang, sangat rapi seperti kemarin. “Aku mandi dulu, ya, Mas,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi. Ponselnya tertinggal di meja rias, dan aku mendekat pelan. Aku mencoba membuka pon
Setelah selesai sarapan, aku mengantar Tiara ke mall seperti yang ia minta. Kami berjalan bersama, tangannya memeluk lenganku, dan aku hanya bisa membiarkannya.Saat kami berjalan di lorong-lorong mall, beberapa kali aku melihat banyak orang yang memperhatikanku. Khususnya para perempuan, ada yang menatapku berulang kali, ada yang berbisik dengan temannya sambil tersenyum.Bahkan, aku sempat mendengar dua perempuan di dekat eskalator berbicara cukup keras hingga aku menangkapnya dengan jelas.“Ganteng banget, ya! Kayaknya dia blasteran deh, lihat saja warna rambutnya dan matanya. Dia juga tinggi, putih, badannya uhh seksi sekali… atletis—pria idaman bangeti!” kata salah satu temannya.Temannya menjawab, “Iya, sayangnya sudah bersama perempuan itu.”Tiara pasti mendengar dengan jelas, dia menatapku sambil tersenyum kecil.“Suamiku memang ganteng, pantes semua perempuan sampai seperti itu,” katanya, nadanya manis, tetapi aku tahu itu hanya pemanis bibir.Aku hanya tersenyum kecil, tidak
Seperti malam kemarin, aku sulit untuk tidur. Hatiku belum tenang sebelum meminta maaf pada Mama Siska, aku harus mencari waktu yang tepat agar bisa berduaan dengannya.Pagi ini aku bangun tidur lebih awal dari biasanya, pukul lima pagi aku segera keluar dari kamar dan berniat ingin berolahraga dulu sebentar. Aku melangkah keluar kamar, berharap menemukan momen untuk bicara. Di dapur, cahaya lampu temaram menyala, dan Mama Siska sudah bangun, mengaduk teh di cangkir, wajahnya lembut tapi penuh beban. Ini kesempatanku.“Ma, bisa bicara sebentar?” tanyaku, suaraku pelan, berdiri di ambang pintu.Dia menoleh, matanya ragu, tapi mengangguk, menunjuk kursi di depannya. Aku duduk, menarik napas dalam, dan mulai berbicara. “Ma, soal di pasar… aku tahu Mama lihat aku pelukan dengan seorang wanita. Itu Bu Alicia, bosku. Mama mungkin belum pernah bertemu dengan dia. Dia nggak lebih dari atasan dan temen biasa, Ma. Hari itu, dia lagi patah hati—pacarnya ketahuan selingkuh. Dia menangis, Ma, dan
Aku berdiri di penthouse apartemen keluarga Dupont, jas Armani biru tua membalut tubuhku, kemeja Gucci terasa lembut di kulit, dan aroma Creed Aventus masih menempel. Rolex di pergelangan tanganku berkilau, sepatu Ferragamo mengkilap, dan kacamata hitam Ray-Ban terselip di saku. Aku memandang cermin, nyaris tidak mengenali pria tampan di depan—bukan Raka dari panti asuhan, tapi seseorang yang seperti keluar dari majalah model.Lila bertepuk tangan, “Kak Raka, kayak aktor Hollywood!” katanya, matanya berbinar. Ayah dan ibu tersenyum bangga, dan aku hanya tersipu, masih canggung dengan kemewahan ini.“Ayo, kita jalan-jalan sekarang melihat bisnis keluarga,” kata Ayah, mengambil kunci mobil. Aku menarik napas dalam, berbisik padanya, “Ayah, tolong cuma tunjukan saja tempatnya, jangan mengenalkan aku pada orang lain. Identitas ini masih rahasia, aku takut nanti mereka akan tahu sebelum waktunya.” Ayah mengangguk, matanya penuh pengertian, dan kami turun ke lobi, di mana Rolls-Royce Pha
Hari Minggu pagi terasa berat, meski langit Jakarta cerah. Aku duduk di ruang makan, menyeruput kopi, pikiranku terpaku pada Mama Siska. Dia masih marah atas kejadian kemarin—dia melihatku memeluk Alicia—masih menghantui, dan sikapnya yang dingin membuatku gelisah. Aku ingin meminta maaf, menjelaskan bahwa itu bukan seperti yang dia pikir, tapi rumah terasa penuh hambatan. Tiara bersiap pergi, rambutnya diikat rapi, wajahnya penuh senyum palsu.“Mas, aku ada meeting sama klien, mungkin sampai sore,” katanya, mencium pipiku.Aku hanya mengangguk, tidak peduli lagi dengan kebohongannya. Aku tahu dia mungkin bertemu Alex.“Hati-hati, Ti,” kataku, suaraku datar.Nayla, yang libur kuliah, sibuk mengetik di ponsel, berkata akan mengundang teman-temannya ke rumah.“Bang, teman-temanku mau datang, loh! Kita mau bikin pizza bareng,” katanya, ceria."Wah pasti seru, nanti jangan lupa sisain buat Abang." kataku menggodanya."Tenang saja, gak bakal habis di makan semua juga ko."Aku melirik Mama
"Ma, aku pamit dulu, kalau nanti Tiara tanya bilang saja aku sedang meeting bersama Reza." kataku berharap Mama Siska memaafkanku."Iya nanti di bilangin," katanya nadanya datar, tetap sibuk memasak.Nayla sedang ada di kamarnya, tapi tadi aku sudah memberitahunya jadi tidak perlu mengatakannya lagi. Akupun segera pergi, aku memanaskan mesin motorku dan pergi menuju apartemennya Claire yang sudah menunggu di tempat biasa. Ketika aku sudah sampai, dia sedang duduk menungguku tersenyum ketika aku datang. Aku memberikan helm padanya, kita segera pergi menuju bandara.Langit Jakarta malam ini berkilau, tapi hatiku tidak menentu bercampur, rasa haru menanti keluargaku, dan luka karena Mama Siska yang masih belum memaafkanku. Aku berdiri menunggu kedatangan orangtuaku di Bandara Soekarno-Hatta, di samping Claire, yang tidak bisa berhenti tersenyum.“Raka, sebentar lagi kamu bertemu dengan orangtuamu! Lila juga ikut, lho,” katanya, matanya berbinar.Aku mengangguk, tanganku menggenggam gant
Aku duduk di meja makan, aroma rendang buatan Mama Siska menggoda, tapi suasana malam ini terasa berat. Mama Siska, yang biasanya ceria dan penuh cerita, kini pendiam, hanya menunduk menyendok nasi. Matanya menghindari pandanganku, dan setiap gerakannya terasa dingin, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan kami. Tiara dan Nayla, sebaliknya, ngobrol ceria, tertawa tentang drama Korea yang mereka tonton tadi siang.“Bang, kamu harus lihat episode terbarunya, seru banget!” kata Nayla, matanya berbinar.Aku tersenyum kecil, menimpali seadanya, tapi pikiranku hanya pada Mama Siska. Aku kembali teringat kejadian tadi, dia berlari di pasar dengan wajah datar, melihatku memeluk Alicia, terus menghantui pikiranku. Salah paham itu pasti menyakitinya, dan aku benci diriku karena tidak langsung mengejar. Aku ingin menjelaskan, dan mengatakan jika aku dan Alicia tidak ada hubungan apa-apa, tapi Tiara dan Nayla di meja membuatku terkurung dalam diam.“Ma, rendangnya enak banget,” kataku, berh
Pagi Jakarta terasa sibuk, udara sejuk setelah hujan semalam. Aku bersiap untuk meeting di luar kantor bersama Alicia, Claire, Laurent, dan Pierre, membahas proyek iklan dengan klien baru. Di rumah, Mama Siska menyerahkan bekal, senyumnya menghangatkan meski penampilan barunya masih membuatku mencuri pandang. “Raka, hati-hati di jalan,” katanya, tangannya menyentuh lenganku.“Makasih, Ma,” kataku.Tiara seperti biasa pergi duluan, wajahnya penuh senyum palsu. “Mas, aku pergi duluan, ya,” katanya, mencium pipiku.Aku tersenyum, pura-pura ceria, meski hati ini sebaliknya. Aku melaju ke kantor, pikiranku bercampur antara meeting pagi ini, ancaman Alex, dan kedatangan orangtuaku besok.Meeting di gedung klien di Sudirman berlangsung panjang. Kami mempresentasikan desain iklan, mendiskusikan detail dengan tim pemasaran mereka. Alicia memimpin dengan percaya diri, Claire menjelaskan data pasar, sementara Laurent dan Pierre menambahkan sentuhan teknis. Aku mencatat feedback, sesekali menimp
Alicia duduk di sampingku, matanya berbinar. “Raka, sekarang posisimu jauh lebih tinggi dariku. Keluarga Dupont itu terkenal pengusaha sukses—kamu jauh lebih kaya dari aku! Alex juga mengenal Henri, dan dia akan terkejut kalau tahu kamu anaknya. Bukan hanya Alex, tapi dunia bisnis juga akan heboh,” katanya, nadanya antusias. “Identitasmu akan menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan Alex.”Aku mengangguk, merasa lebih tenang. Tapi malam semakin larut, dan suasana apartemen yang hangat, ditambah tatapan lembut Alicia, menciptakan momen yang sulit kuhindari. “Alicia, makasih sudah bantu. Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu,” kataku, suaraku tulus.Dia tersenyum, tangannya menyentuh lenganku.“Raka, kita adalah tim. Aku selalu ada buat kamu,” katanya, nadanya lembut.Kehangatan itu membawa kami lebih dekat, dan kami berbagi momen intim, penuh kelembutan dan kasih. Entah bagaimana awalnya, bibir kita saling menyatu. Ciuman hangat yang awalnya lembut, kini semakin liar. Sentuhan ini mem
"Nanti setelah tiba di apartemen, kamu jangan dulu masuk biar kita tidak sedang bersama." katanya.Aku mengangguk, "Baik, aku mengerti." Setelah mobil Alicia masuk apartemen, aku menunggunya dulu agar dia masuk ke dalam. Setelah dia masuk ke dalam, aku mulai masuk masuk dan memarkirkan motorku. Aku berjalan menuju apartemennya, aku sudah pernah ke apartemennya jadi aku sudah tahu. Ketika sudah di depan pintu, Alicia seakan tahu dan dia membuka pintunya. Aku duduk di sofa, memegang segelas jus mangga yang dia tawarkan.“Raka, makan dulu, aku punya pasta enak,” katanya, tersenyum, tapi aku menggeleng sopan.“Belum laper, Alicia. tadi aku sudah makan banyak cemilan di kantor,” kataku berbohong, tersenyum kecil, meski perutku sebenarnya keroncongan. Alicia mengangguk, duduk di sampingku, dan kami mulai mengobrol. Tapi Alicia tetap memberikan aku makanan kecil, dia terus memaksa dan akhirnya aku memakannya juga. Aku menceritakan rencana baru kami melawan Alex dan Tiara—menggunakan orang
Di rumah, suasana pagi berjalan seperti biasa. Aku lebih dulu menuju meja makan, sementara Tiara masih di kamarnya. Nayla juga belum terlihat, mungkin dia masih bersiap-siap. Mama Siska menyiapkan sarapan, senyumnya membantu bersemangat pagi ini.“Raka, pagi ini Mama bikin ayam goreng mentega, jangan lupa makanannya di habiskan,” katanya, menyerahkan kotak makan."Terima kasih Ma, bekalnya pasti aku makan habis." Dan Tiara datang, dia terlihat buru-buru. Akhir-akhir ini, dia memang sering pergi pagi-pagi sekali.“Mas, hari ini aku ada meeting pagi. aku duluan, ya,” kata Tiara, mencium pipiku, wajahnya penuh tersenyum penuh kebohongan.Aku tersenyum balik, pura-pura ceria, meski hati ini penuh luka karena kebohongannya. Aku ingin hadapi dia soal Alex, rencana balas dendamku nanti harus tetap berjalan apapun yang terjadi.Hingga tak berapa lama Nayla datang, dia memakai pakaian biasa dan katanya hari ini tidak ada jadwal kuliah. Setelah selesai sarapan, aku langsung pamitan pada Mama